Site icon Dunia Perpustakaan

Penulisan Buku Kepustakawanan

Literasi Informasi dan Literasi Digital

ilustrasi

Dunia Perpustakaan | Penulisan Buku Kepustakawanan | Permasalahan terkait budaya menulis, bukan hanya masalah di bidang referensi untuk kepustakawanan tapi pada hampir semua lini bidang. Namun dalam tulisan ini, akan dikupas secara khusus hanya terkait dengan Penulisan Buku Kepustakawanan.

Hampir semua bidang dan profesi di Indonesia, memiliki masalah yang sama terkait minimnya budaya menulis.

Terlalu jauh mungkin, jika kita ngomongin terkait dengan budaya menu8lis, karena untuk urusan MEMBACA saja, di Indoensia masih rendah, bahkan di kalangan Pustakawan saja, yang setiap harinya menjaga dan mengelola buku, tidak semua pustakawan suka membaca, apalagi menulis?

(Baca juga: Minat Baca Rendah, Tapi Cerewet Banget! Itulah Netizen Indonesia?)

Untuk memotivasi agar para pustakawan mau rajin menulis, mungkin ada baiknya para pustakawan, maupun calon pustakawan (mahasiswa di Jurusan Ilmu Perpustakaan) di seluruh Indonesia, bisa membaca tulisan dari Lasa HS ini.

Abstrak

Buku sebagai media rekam, pelestari, dan pengembang ilmu pengetahuan dan bidang tertentu berperan besar dalam pengembangan suatu bidang atau profesi. Tinggi rendahnya penerbitan buku juga merupakan salah satu indikator maju mundurnya suatu bangsa dalam ilmu pengetahuan dan bidang tertentu.

Bidang kepustakawanan berkaitan erat dengan pengembangan perbukuan, karena bidang ini mengkaji rekaman kekayaan intelektual dan artistik umat manusia dari waktu ke waktu. Sedangkan pengembangan bidang kepustakawanan tidak secepat pengembangan bidang lain. Hal ini salah satu penyebabnya adalah minimnya penerbitan buku kepustakawanan.

Rendahnya penerbitan buku termasuk bidang kepustakawanan antara lain disebabkan kurang motivasi, orientasi materi,berbagai  ketakutan, kurang percaya diri, dan terjebak rutinitas. Padahal para pustakawan dan mereka yang bekerja di perpustakaan memiliki banyak kesempatan untuk melakukan penulisan. Mereka setiap hari berhadapan dengan sumber informasi, fasilitas akses informasi, dan bergaul dengan banyak kalangan.

Untuk itu perlu adanya usaha-usaha memotivasi, dorongan, bantuan, dan perhatian serius dalam penulisan buku kepustakawanan, Dengan usaha-usaha ini diharapkan meningkat penerbitan buku kepustakawanan. Hal ini akan lebih meningkatkan usaha-usaha pengembangan ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.

Pendahuluan

Buku dalam bentuk cetak maupun elektronik berfungsi sebagai media penyimpan, pengembang, dan penyebar ilmu pengetahuan. Pemikiran ilmuwan tidak akan hilang berabad lamanya apabila direkam/dicatat. Melalui buku, ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mempermudah pemahaman dan pengembangannya. Kemudian ilmu pengetahuan itu menyebar lebih luas dan  mampu menembus dimensi jaman, generasi, geografi, dan politik.

Pustakawan sebagai tenaga profesional memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan ilmu perpustakaan, perpustakaan, dan profesi pustakawan. Pengembangan ini antara lain melalui penyusunan konsep, melakukan penelitian, penulisan artikel, penulisan makalah, maupun penulisan buku.

Latar Belakang

Perlunya pembahasan, motivasi, dan dorongan penulisan buku kepustakawanan terutama di kalangan pustakawan didasarkan pada pemikirian bahwa:

#1. Rendah kesadaran transformasi bidang  kepustakawanan melalui buku

Transformasi bidang kepustakawanan   selama ini banyak dilakukan melalui seminar, penulisan artikel, lomba karya tulis, perkuliahan, diskusi, dan lainnya. Kemudian transformasi itu dilakukan melalui media elektronik sesuai kemajuan teknologi informasi. Hal ini akan lebih mudah, cepat, dan tanpa seleksi.

Penulisan buku cetak bidang kepustakawanan masih jarang dilakukan oleh para pustakawan. Langkanya buku-buku kepustakawanan menunjukkan rendahnya penulisan buku kepustakawanan oleh pustakawan di negeri ini.

Hal ini dikuatkan antara lain  oleh penelitian Laksmi (2007: 66) bahwa penulisan buku tentang kepustakawanan selama 53 tahun (1952 ? 2005) hanya 237 judul. Ini berarti bahwa penulisan buku kepustakawanan hanya sekitar 4,4 judul per tahun.

#2. Pustakawan kurang percaya diri

Ketakutan dan ketidakmampuan menulis buku dapat disebabkan bahwa para pustakawan itu kurang percaya diri alias penakut. Mereka takut kalau-kalau buku yang akan ditulis itu nanti dibajak, tidak dibayar royaltinya, dikritik, difotokopi, atau dibohongi penerbit.

Bayangan ketakutan ini selalu menyelimuti sebagian besar pustakawan kita. Karena ketakutan yang berlebihan itulah, maka pustakawan itu sampai pensiun tidak pernah menulis buku. Menulis buku tinggal angan-angan belaka dan namapun hilang ditelan masa.

#3. Menulis buku dianggap beban berat

Menulis karya akademik, karya ilmiah, dan buku kadang dianggap sebagai beban tersendiri dalam kegiatan keilmuan. Anggapan ini juga menimpa pustakawan. Mereka terjebak oleh rutinitas kerja yang harus sesuai prosedur yang ditetapkan.

Saking sibuk kerja lalu beralasan tidak punya waktu untuk menulis artikel maupun buku. Menulis buku bagi pustakawan memang seharusnya tidak sekedar untuk mencari angka kredit sebagai salah satu syarat kenaikan jabatan/pangkat.

Penulisan buku maupun artikel seharusnya dianggap sebagai kewajiban moral dan tanggung jawabnya sebagai seorang profesional.

#4. Terbuka peluang penulisan buku kepustakawanan

Pustakawan memiliki banyak peluang untuk menulis buku dengan munculnya beberapa penerbit dalam berbagai bidang akhir-akhir ini di beberapa kota. Penerbit akan bisa melakukan kegiatan penerbitan kalau ada pasokan naskah dari penulis.

Maraknya penerbitan diakui oleh Tuhana Taufiq Andrianto (2003) Selaku  seorang Redaktur Pelaksana Penerbit  Aditya Media Yogyakarta yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini perkembangan penerbitan dan percetakan semakin pesat.

Disamping itu pustakawan memiliki kesempatan besar untuk memilih tema buku yang akan ditulis melalui sumber informasi yang mereka geluti setiap hari. Mereka leluasa memanfaatkan sumber informasi baik cetak maupun noncetak.

Dengan peluang ini sebenarnya pustakawan mampu menulis buku dalam bidang apapun temasuk bidang kepustakawanan. Namun dengan berbagai alasan, kesempatan itu tidak mereka manfaatkan. Akhirnya kehidupan profesinya loyo, kurus kering, dan  tak sehat  akibat kurang asupan gizi. Padahal setiap hari mereka menghadapi makanan yang bergizi.

Tujuan

1. Menumbuhkan keberanian menulis pada pustakawan

Kebanyakan pustakawan dan mereka yang bekerja di perpustakaan takut menulis artikel maupun buku yang diterbitkan. Mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek, salah, takut dikritik, takut dibajak, takut tak dibayar royaltinya, atau takut ketahuan kapasitas keilmuannya.

Padahal bila direnungkan bahwa ilmuwan dan para profesional yang tidak menulis akan terbatas pengembangannya. Hal ini ibarat burung yang bersayap satu yang hanya mampu menggelepar dari satu dahan  ke dahan lain atau dari satu pohon ke pohon lain.

Sedangkan burung yang bersayap dua akan mampu terbang jauh melintasi batas geografi dan dimensi waktu menjelajahi dunia.

2. Mengawetkan, melestarikan, dan mengembangkan ilmu perpustakaan dan Informasi.

Ilmu perpustakaan dan informasi, konsep, teori, maupun hasil penelitian yang telah ditemukan itu lama kelamaan bisa hilang dari peredaran apabila tidak dilakukan perekaman/pencatatan terutama dalam bentuk buku.

Maka buku menjadi prasyarat muncul dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam semua dimensi (termasuk kepustakawanan) (Magnis_Suseso, 1997:21). Ilmu dan informasi kepustakawanan akan cepat dan meluas penyebarannya antara lain perlu adanya sistem pencatatan, pengawetan, dan penulisan dalam bentuk buku.

3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas penulisan buku-buku
Kepustakawanan.

Perkembangan pendidikan kepustakawanan memang meningkat akhir-akhir ini. Perkembangan ini antara lain dengan dibukanya program studi/jurusan perpustakaan diploma sampai pascasarjana di beberapa PTN/PTS.

Hal ini diperkirakan karena adanya kenaikan kebutuhan akan pustakawan oleh beberapa lembaga swasta maupun instansi pemerintah.

Namun demikian perkembangan ini tidka dibarengi dengan peningkatan penerbitan buku kepustakawanan. Hal ini juga diakui oleh Laksmi (2006) yang menyatakan bahwa buku-buku teks tentang kepustakawanan masih jarang.

Lebih  lanjut dinyatakan bahwa jumlah pengajar dan mahasiswa dalam ilmu perpustakaan dan informasi terus meningkat. Demikian pula dengan pertumbuhan teknologi informasi. Namun kenyataan menunjukkan hal yang berlawanan.

4. Meningkatkan kualitas pendidikan kepustakawanan

Meskipun bertambah program studi/jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di beberapa PTN/PTS, namun kenyataannya hanya beberapa program studi/jurusan itu yang terakreditasi dengan nilai A. Hal ini antara lain disebabkan minimnya karya ilmiah baik bentuk artikel apalagi buku oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa).

Dengan meningkatnya penerbitan buku kepustakawanan diharapkan mampu meningkatkan kualitas lulusan. Sebab melalui buku diharapkan tumbuh saling menghargai dan meningkat daya penalaran peserta disik. Mereka akan lebih rasional dan beretika dalam kehidupan kepustakawanan (Andrianto,  2003:7)

Peran Buku Dalam Pengembangan Kepustakawanan

Dengan ditemukannya buku berarti membuka langkah penting bagi manusia dalam cara berpikir dan memahami dirinya dan lingkungannya.

Buku yang dicetak dan disebarluaskan dapat memengaruhi ribuan bahkan jutaan orang sekaligus, dapat dibaca berulang kali, dan sulit untuk dilarang. Bahkan buku semakin dilarang, justru orang semakin penasaran ingin membaca dan membelinya.

Sekedar contoh buku Gurita Cikeas (Galang Press, 2009)  tulisan George Aditjondro yang kontroversial itu justru banyak orang yang ingin membacanya bahkan untuk beli saja harus pesan seminggu sebelumnya (Januari 2010).

Dalam hal ini sebenarnya pengarang dan penerbitnya tak perlu gundah gulana. Sebab di balik pelarangan maupun pencekalan itu nama penulis dan penerbit semakin populer.

Buku memang merupakan salah satu media kecerdasan bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki tradisi baca/akses informasi dan perbukuan yang tinggi.  Kegiatan ini menunjukkan maju tidaknya tingkat keilmuan suatu bangsa.

Satu hal yang diakui oleh banyak pihak dan ini merupakan realitas bahwa dunia baca dan perbukuan kita sangat rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia kita.

Beberapa data dapat dikemukakan rendahnya produksi publikasi dan perbukuan kita. Daniel Dhakidae (1997: 187) seorang peneliti, lulusan UGM dan Cornell University itu mengemukakan data;

Menanggapi rendahnya perbukuan kita, Mastini Hardjoprakoso (mantan Kepala Perpustakaan Nasional RI) (1997: 84-85) ) menyatakan bahwa Indonesia dengan produksi buku lebih kurang 5.000 judul/tahun dengan tiras rata-rata 3.000 tiap judul dengan jangka penjualan 2 ? 3 tahun  Hal ini jelas memengaruhi kualitas pendidikan kita pada umumnya.

Ketertinggalan kita dalam hal pendidikan dan kualitas SDM diakui juga oleh Amien Rais (2003: 17). Tokoh reformasi kita itu menyatakan bahwa kualitas pendidikan nasional kita masih cukup payah dan parah. Tingkat kemahiran membaca anak di usia 15 tahun masih sangat menyedihkan.

Dari 41 negara yang diteliti, kemampuan baca anak-anak Indonesia jatuh urutan ke 39. Sekitar 37,6 % anak-anak Indonesia hanya bisa membaca tanpa mampu menangkap maknanya. Dalam kaitan ini ada ironi yang sulit dipahami.

Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menyebutkan:?Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional?.

Fenomena Penulisan Buku Kepustakawanan

Iklim penulisan buku pada umumnya memang masih rendah dalam masyarakat kita, baik masyarakat pada umumnya maupun masyarakat intelektual. Selama ini para intelektual melakukan kegiatan penulisan karya akademik maupun karya ilmiah seolah-olah merupakan keterpaksaan atau dipaksa oleh aturan.

Mereka memang telah menulis karya akademik seperti tugas akhir, skripsi, tesis, maupun disertasi. Namun setelah mereka menyelesaikan tugas-tugas akademik tersebut lalu berhenti tidak menulis, apalagi menulis buku berdasarkan kesadaran.

Kondisi seperti itu juga melanda pustakawan yang mengaku dirinya sebagai seorang profesional. Keadaan ini antara lain dibuktikan oleh penelitian Laksmi (207: 74) yang menyatakan bahwa lebih dari 20 penulis yang menulis sebanyak dua sampai empat judul buku.

Penulis aktif yang paling banyak memberikan kontribusinya adalah Sulistya-Basuki (UI), Soejono Trimo (almarhum, UNPAD), dan Lasa Hs (UGM) masing-masing menulis lebih dari 10 judul buku.

Rendahnya penulisan buku kepustakawanan di negara kita kecuali disebabkan ketidakmampuan, juga sebagai akibat rendahnya minat baca masyarakat, pelanggaran hak-hak intelektual, kurang percaya diri, kemalasan, dan lemah berbahasa asing.

Sebagai seorang profesional, tenaga kependidikan, dan intelektual seharusnya pustakawan  mampu melahirkan pemikiran, penemuan, maupun penelitian di bidangnya yang terekam dan bentuk tulisan terutama buku cetak maupun elektronik.

Sebagai karya ilmiah, buku memuat gagasan-gagasan individu dalam disiplin tertentu. Gagasan-gagaan ini diorganisir secara sistematis dalam suatu struktur, didukung oleh analisis, konsep, argumentasi, dan data (Laksmi, 2007: 63).

Diakui bahwa penulisan buku-buku kepustakawanan masih sedikti. Hal ini dapat dilihat dari penulisan buku ajar bidang perpustakaan.

Pada kurun waktu 1991 ? 2001 (sepuluh tahun) tercatat 89 judul buku yang terbit yang berarti bahwa rat-rata setiap tahun terbit 9 judul buku (Marzuki, 2002). Dikatakan selanjutnya bahwa dari 89 judul buku terdapat 27 judul buku (30%) ditulis bersama termasuk karya terjemahan.

Rendahnya penulisan buku di kalangan pustakawan ini juga ditunjukkan oleh kegiatan pengembangan profesi para pustaakwan utama.

Mereka yang telah mencapai kedudukan jabatan setingkat guru besar itu ternyata hanya beberapa orang saja yang menulis buku. Sebenarnya melalui buku-buku mereka itu diharapkan lahir pemikiran-pemikiran visoner, solusi, dan rekaman penemuan mereka sebagai dasar pengembangan bidang kepustakawanan.

Keberhasilan mereka menduduki jabatan fungsional tertinggi itu ternyata diperoleh dari kegiatan penulisan makalah. Ada juga diantara mereka yang menduduki jabatan struktural dan menjelang pensiun lalu pindah ke jabatan fungsional. Hal ini dilakukan untuk memperpanjang batas usia pensiun.

Dari 15 orang pustakawan utama yang telah melakukan orasi ilmiah di Jakarta dan Yogyakarta ternyata sebagian besar mereka tidak menulis buku. Dari data yang diperoleh ternyata seorang menulis 5 judul buku, 2 orang menulis 6 judul buku, seorang menulis 9 judul buku, dan hanya seorang yang menulis lebih dari 25 judul buku yang diterbitkan oleh 14 penerbit.

Rendahnya penulisan buku kepustakawaan nampaknya tidak sendirian. Sebab kondisi umum penulisan buku di berbagai bidang memang rendah. Gibbs (dalam Hernandono, 2008) mendaftar negara-negara penghasil tulisan ilmiah, maka Indonesia termasuk satu negara yang dikategorikan ?kehilangan ilmu pengetahuan?.

Sebab secara keseluruhan Indonesia hanya mampu menghasilkan tulisan/ilmu pengetahuan 0,012 % diantara negara-negara lain. Kondisi inipun ternyata paling rendah di tingkat ASEAN. Sebab Singapura mampu menerbitkan 0,179 %, Thailand menerbitkan 0,084 %, Malaysia menerbitkan 0,064 % dan Filipina 0,035 %.

Pustakawan sebagai tenaga kependidikan seharusnya mampu berkomunikasi secara lisan maupun tertulis. Untuk itu pustakawan harus memiliki people skill (Akernathy, 1999) yakni;

1) kemampuan pemecahan masalah; 2) memiliki etika profesi; 3) terbuka; 4) memiliki ketrampilan; 5) memiliki kepemimpinan dan;  6) belajar terus menerus. Oleh karena itu, pustakawan perlu responsif, inovatif, dan adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki soft skill.

Pustakawan hendaknya mampu merespon perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang menantang. Kiranya perlu disingkirkan sikap mempertahankan paradigma lama.

Dalam hal ini Feret dan Marcinek (1999) dalam Ahmad (2001) menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya Peningkatan Penulisan Buku Kepustakawanan

Untuk meningkatkan aktivitas penulisan terutama penulisan buku kepustakawanan kiranya perlu adanya motivasi, peninjauan nilai AK, pemberian penghargaan, pemberian stimulan, penyelenggaraan, maupun penyelenggaraan sarasehan.

1. Memotivasi

Motivasi merupakan proses pengembangan dan pengarahan perilaku individu maupun kelompok agar mereka menghasilkan produk yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran organisasi/lembaga (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990: 378).

Motivasi merupakan upaya penggunaan hasrat yang paling dalam untuk mencapai sasaran, membantu inisiatif, bertindak efektif, dan bertahan dalam menghadapi kegagalan. Orang yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha keras dan penuh kreativitas dalam mencapai sasaran. Mereka yang memiliki motivasi tinggi tidak mudah goyang, bahkan mereka mampu bertahan dalam menghadapi kegagalan.

Menulis itu merupakan kreativitas yang didasarkan pada fungsi berpikir, merasa, mengindera, dan intuisi. Unsur-unsur ini diperlukan agar orang tidak kehabisan tema yang akan ditulis.

Kreativitas dalam hal ini bukan sekedar menciptakan tema-tema baru, tetapi juga diperlukan kemauan dan keberanian berpikir divergen. Yakni suatu pemikiran yang tidak seperti biasanya, bahkan dalam keadaan tertentu harus berani melawan arus.

Oleh karena itu tanpa motivasi yang tinggi pustakawan tidak akan mampu menulis apalagi menjadi penulis yang profesional.

Memang bermacam-macam motivasi orang dalam melakukan kegiatan penulisan atau menjadi penulis, misalnya mencari urang, ingin dikenal atau mencari angka kredit. Biasanya motivasi yang bersifat materi ini tidak akan lama. Karena begitu sesuatu itu tercapai lalu berhenti menulis.

Apabila ditinjau dari teori Abraham H. Maslow, maka kegiatan tulis menulis itu mampu memenuhi kebutuhan fisik/physiological needs, kebutuhan sosial/social needs, kebutuhan penghargaan/esteem needs, dan kebutuhan rasa ingin berkembang/sense of achievement.

2. Peninjauan Angka Kredit

Kecilnya angka kredit penulisan artikel, makalah, dan buku bagi pejabat fungsional pustakawan merupakan hambatan psikologis tersendiri bagi mereka. Angka kredit penulisan bagi pustakawan dan dokter memang lebih rendah bila dibanding dengan angka kredit penulisan bagi guru, dosen, maupun peneliti.

Tidak diketahui secara pasti letak perbedaan angka kredit yang sangat menyolok itu. Apakah kualitas tulisan para guru, dosen, dan peneliti itu lebih bagus daripada tulisan pustakawan dan dokter. Ataukah para tenaga pendidik itu banyak yang menulis. Padahal kenyataan betapa banyak para guru dan dosen yang tidak mampu menulis apalagi menulis buku.

Kenaikan jabatan/pangkat para guru dan dosen itu diperoleh melalui pengumpulan angka kredit dari kegiatan mengajar, melakukan penelitian, menyampaikan makalah, dan menulis artikel ilmiah di jurnal tertentu saja. Semantara itu menulis buku hanya menjadi angan-angan kosong semata.

Menulis buku bagi pustakawan dan para profesional lain, seharusnya tidak sekedar untuk mencari angka kredit sebagai syarat kenaikan jabatan/pangkat tertentu. Menulis buku hendaknya dipandang sebagai tanggung jawab moral  seorang ilmuwan dan profesional.

Untuk lebih menggairahkan pustakawan dalam melaksanakan kegiatan penulisan perlu ditinjau kembali angka kredit penulisan/pengembangan profesi pada SK Menpan No. 132/12/2002 itu. Sebab angka kredit untuk butir-butir kegiatan pengembangan profesi sejak SK MENPAN No. 18 Tahun 1988 belum dirubah.

Padahal untuk butir-butir kegiatan bersifat ketrampilan sudah dua kali mengalami perubahan yakni pada SK Menpan Nomor 33/1998 dan SK Menpan No. 132/2002.

3. Pemberian penghargaan

Untuk mendorong minat menulis, selama ini telah dilakukan lomba penulisan artikel. Namun realita bahwa para juara-juara itu rata-rata muncul bila ada kejuaraan. Malah ada beberapa pustakawan yang hobinya mengikuti kejuaraan tulis menulis. Sedangkan di majalah-majalah kepustakawanan nama-nama itu tak pernah muncul.

Disamping itu, ternyata banyak para juara itu hanya muncul saat itu. Lain kali tak pernah lagi mengirim naskah ke majalah-majalah kepustakawanan. Mereka dapat diibaratkan lahir sekali untuk mati selamanya. Pola ini perlu perlu dirubah. Sebab sistem penyelenggaraan ini tidak mampu melahirkan penulis-penulis produktif. Mereka ternyata kurang memiliki kesadaran berprofesi dan tanggung jawab moral.

Dalam pemilihan penulis produktif dapat dinilai dari seberapa banyak artikel yang pernah dimuat oleh media cetak atau seberapa buku yang pernah diterbitkan oleh penerbit profesional dan bukan penerbit lembaga.

4. Memberikan Stimulan

Pihak-pihak tertentu seperti Perpustakaan Nasional sebagai pembina perpustakaan dan pustakawan maupun lembaga terkait seperti Depdiknas dan Depag dapat memberikan bantuan stimulan penulisan buku. Bantuan stimulan ini dapat diberikan setelah buku itu terbit atau sebelumnya.

Hal ini akan lebih mendorong penulisan buku kepustakawanan. Pemikiran ini dikemukakan karena motivasi penulisan bagi sebagian pustakawan masih bersifat kasat mata/tangible seperti angka kredit, jabatan/pangkat, nama, hadiah, dan lainnya. Kadang motif-motif jangka pendek ini kandas di tengah jalan.

5. Lomba penulisan buku kepustakawanan

Lomba penulisan kepustakawanan telah sering diselenggarakan baik oleh lembaga kepustakawanan, organisasi profesi, maupun pegiat pendidikan lain. Penyelenggaraan lomba ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran menulis.

Penyelenggaraan lomba ini dapat ditingkatkan menjadi lomba penulisan buku (teks, referens, bunga rampai, dll.) bidang kepustakawanan. Adapun penilaian naskah buku ini dapat dilakukan dengan :

Dalam hal pemilihan ini tentunya skor buku yang diterbitkan penerbit profesional harus lebih tinggi daripada buku yang diterbitkan oleh instansi. Sebab buku-buku terbitan instansi ini kadang tidak dilakukan seleksi maupun editing yang ketat.

Buku-buku ini terbit kadang hanya karena ada anggaran yang nylonong atau atas pertimbangan pertemanan. Kemudian buku-buku seperti ini tidak laku dijual di toko-toko buku meskipun katanya berkualitas. Maka buku mutu belum tentu mutu. Lalu apa fungsi buku mutu itu kalau hanya sekedar dicetak dan menumpuk di lemari lembaga.

Kiranya masih banyak cara untuk meningkatkan penulisan buku kepustakawanan di negeri ini seperti meningkatkan frekuensi pameran buku, penerjemahan, membebaskan pajak-pajak perbukuan dan penerbitan, maupuan kegiatan bedah buku.

Penutup

Buku dan media rekam lain berpengaruh terhadap perkembangan suatu bidang. Melalui media ini ilmu pengetahuan, bidang, maupun profesi akan terrekam lebih awet, dan berkembang menembus dimensi geografis, waktu, generasi, dan batas-batas aliran politik.

Tinggi rendahnya penerbitan buku dan publikasi lain merupakan salah satu indikator kemajuan keilmuan suatu masyarakat. Oleh karena itu tinggi rendahnya penerbitan buku kepustakawanan menunjukkan tinggi rendahnya kualitas keilmuan bidang kepustakawanan.

Banyak cara untuk meningkatkan penulisan & penerbitan buku antara lain menumbuhkan motivasi pada para pustakawan, pemberian bantuan penerbitan buku, memberikan stimulan, peninjauan angka kredit jabatan fungsional pustakawan, penyelenggaraan lomba penulisan buku, melakukan penerjemahan, maupun peningkatan bedah buku kualitas dan kuantitasnya.

Daftar Pustaka

Penulis: Lasa Hs [Sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 12 No. 2 – Agustus 2010]

Exit mobile version