Site icon Dunia Perpustakaan

Memberdayakan Perpustakaan Komunitas Sebagai Ujung Tombak Peningkatan Budaya Membaca

ilustrasi

Abstrak

Rendahnya budaya membaca di Indonesia dibuktikan melalui hasil survei tingkat Human Development Index yang dilakukan oleh lembaga PBB, dimana Indonesia menempati urutan ke 111 dari 179 negara.

Budaya membaca sebenarnya merupakan pondasi dasar bagi pendidikan sebuah bangsa sehingga perpustakaan merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Perpustakaan merupakan tempat penggemblengan generasi yang tidak memiliki budaya membaca menjadi generasi tangguh yang menjadikan membaca dalam tradisi kehidupan mereka.

Solusi untuk tetap mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat adalah membuat perpustakaan komunitas sehingga bisa mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat.

Artikel Lengkap

Ironis dan miris jika kita melihat membaca belum menjadi tradisi yang membudaya di masyarakat Indonesia, termasuk kaum intelektualnya. Membaca hanya kebutuhan saja. Misalnya mahasiswa sedang mengerjakan skripsi atau penelitian, maka mereka kerap rajin membaca.

Namun, setelah itu, membaca tidak lagi menjadi kebutuhan. Para ilmuwan berkutat dengan buku jika ada proyek penelitian. Membaca belum menjadi budaya yang melekat pada kaum intelektual di Indonesia.

Sungguh hal itu merupakan sebuah kemunduran yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. 65 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, budaya membaca belum menjadi sebuah tradisi maha agung bagi masyarakatnya.

Padahal, dunia telah mengakui bahwa budaya membaca merupakan tolak ukur yang paling nyata untuk menyebut bahwa sebuah bangsa itu merupakan bangsa yang maju dan beradab.

The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them? (orang yang tidak membaca buku bagus tak ada bedanya dengan mereka yang tak bisa membacanya) seperti yang dikemukakan oleh pujangga, Mark Twain.

Sebuah penghinaan yang diungkapkan oleh Mark Twain bahwa meskipun dia adalah seorang intelektual tetapi tidak memiliki budaya membaca, maka dia disebut sebagai buta huruf. Jika budaya membaca di Indonesia sangat rendah, bisa jadi Mark Twain menjuluki bangsa Indonesia sebagai bangsa yang buta huruf.

Sebuah penghinaan yang sangat memalukan. Masih rendahnya budaya membaca di Indonesia juga dibuktikan dengan hasil survei tingkat Human Development Index (HDI) yang dilakukan Lembaga PBB yang dibentuk untuk menangani masalah pembangunan (United Nations Development Programme/UNDP).

Pada survei yang dilakukan pada 2008, indeks pembangunan manusia menempati urutan 111 dari 179 negara. (http://hdr.undp.org/en/statistics/). Jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, Indonesia kalah jauh. Thailand menempati urutan ke 87 dan Malaysia berada pada peringkat ke 66. Bagaimana dengan Singapura? Negara itu berada pada peringkat ke 23.

Sebagai indikator pembangunan manusia, UNDP telah mengembangkan Human Development Index (HDI) yang mencakup 3 komponen dasar yang secara operasional dapat menghasilkan suatu ukuran untuk merefleksikan upaya pembangunan manusia di suatu wilayah, yaitu:

  1. peluang hidup (longevity) yang diukur berdasarkan rata-rata usia harapan hidup;
  2. akses terhadap pengetahuan (knowledge) yang diukur berdasarkan prosentase kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat partisipasi bersekolah yang diperoleh dari rasio gabungan pendaftaran bersekolah dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas;
  3. standard hidup yang layak (decent living) yang diukur berdasarkan pendapatan per kapita dalam paritas daya beli dalam dollar AS.

Tak bisa dipungkiri memang, budaya membaca menjadi pondasi dasar bagi pendidikan sebuah bangsa. Adalah sebuah kegagalan dari sebuah sistem pendidikan jika tidak berhasil menciptakan sebuah generasi yang memiliki budaya membaca.

Namun, sistem pendidikan juga didukung berbagai elemen lainnya yang mendukung proses pencapaian budaya membaca tersebut.

Selain sistem pendidikan nasional yang digawangi pemerintah, memang sangat dipercayai bahwa peran perpustakaan pun sangat signifikan dalam mendorong budaya membaca bangsa pada bangsa Indonesia.

Perpustakaan merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Perpustakaan juga merupakan pihak yang dianggap bertanggungjawab dalam peningkatan budaya membaca. Perpustakaan menanamkan budaya membaca.

Perpustakaan bukan hanya sekedar tempat yang menyediakan peminjaman buku. Perpustakaan bukan hanya menjadi ruang untuk membaca buku. Tetapi, bagaimana seyogyanya perpustakaan menjadi tempat untuk berdialektika dan berwacana dalam perang pemikiran, membangun perilaku positif, dan mengkonstruksi generasi agar menerapkan budaya membaca.

Jadi, perpustakaan adalah tempat penggemblengan generasi yang tidak memiliki budaya membaca menjadi generasi tangguh yang menjadikan membaca dalam tradisi kehidupan mereka. Diharapkan perpustakaan menjadi sebuah ajang kreativitas dan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Kenapa Harus Perpustakaan?

Dalam Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 1 dijelaskan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.

Sedangkan pada pasal 2, dijelaskan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Dalam buku yang ditulis oleh Darmono (2007: 3-5) berjudul ?Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja? dijelaskan dengan gamblang mengenai fungsi perpustakaan. D

armono menganggap bahwa fungsi Perpustakaan, secara umum kepustakaan mengemban beberapa fungsi umum sebagai berikut:

(1) Fungsi informasi, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya agar pengguna perpustakaan dapat:

Selanjutnya adalah fungsi pendidikan; dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya sebagai sarana untuk menerapkan tujuan pendidikan. Melalui fungsi ini manfaat yang diperoleh adalah

Kemudian adalah fungsi kebudayaan, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya yang dapat yang dimanfaatkan oleh pengguna untuk :

Perpustakaan juga memiliki fungsi rekreasi, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya untuk:

Tidak ketinggalan, perpustakaan juga memiliki fungsi penelitian, sebagai fungsi penelitian perpustakaan menyediakan berbagai informasi untuk menunjang kegiatan penelitian. Informasi yang disajikan meliputi berbagai jenis dan bentuk informasi, sesuai dengan kebutuhan lembaga.

Terakhir adalah fungsi deposit; sebagai fungsi deposit perpustakaan berkewajiban menyimpan dan melestarikan semua karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di wilayah Indonesia.

Melihat hal tersebut, jelas sekali bahwa perpustakaan bukan tempat yang angker. Memang mitos di kalangan pelajar dan mahasiswa, bahwa perpustakaan merupakan tempat yang sepi dan angker. Perpustakaan hanya sebagai tempat untuk melakukan hal-hal serius saja.

Padahal, perpustakaan adalah sebuah lembaga yang juga memberikan hiburan dan rekreasi kepada pengunjungnya, hanya saja, perpustakaan identik dengan institusi pendidikan. Sedangkan pendidikan harus berkaitan dengan siswa dan mahasiswa.

Padahal, pendidikan tak mengenal waktu. Bagi mereka yang sudah tak terikat dengan dunia pendidikan, maka sudah barang tentu sering menjauhi perpustakaan.

Perpustakaan Komunitas Jangan Hanya Jadi Tren

Oleh sebab itu upaya untuk mengangkat program peningkatan minat dan kegemaran membaca perlu melibatkan unsur-unsur berikut ini:

Penulis sangat sependapat dengan Darmono. Dimana dibutuhkan semua elemen masyarakat untuk urun rembug dalam peningkatkan budaya. Bukan hanya satu pihak saja yang dianggap bertanggungjawab, tetapi semua pihak harus memberikan kontribusi yang matang.

Jelas sekali bahwa lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah dan lembaga-lembaga masyarakat memiliki peran serta dalam meningkatkan budaya membaca. Kontribusi mereka akan nampak jika mendirikan perpustakaan komunitas sehingga turut andil dalam membantu pemerintah.

Peran serta mereka juga tidak dapat dipandang remeh karena mereka merupakan pendukung yang mendukung karena sebagian besar manusia hidup dalam lingkungan mereka. Sebenarnya, solusi untuk tetap mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat adalah membuat perpustakaan komunitas. Kenapa harus perpustakaan komunitas?

Perpustakaan komunitas lebih dekat baik secara fisik yakni kedekatan lokasi dengan masyarakat. Perpustakaan komunitas juga lebih dekat secara batin karena dikelola dengan manajemen kemasyarakatan sehingga tidak terlalu birokratis dan tidak banyak aturan serta pengekangan.

Perpustakaan komunitas tidak dijelaskan dalam UU Perpustakaan

Namun, menurut penulis, perpustakaan komunitas digolongkan kepada perpustakaan khusus yang dijabarkan dalam hukum tertulis tersebut. Pada Pasal 25 UU No 43 tahun 2007 itu dijelaskan bahwa perpustakaan khusus menyediakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya.

Pemerintah juga ikut membantu perkembangan perpustakaan komunitas seperti tersurat dalam Pasal 28 dengan bunyi ?Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan berupa pembinaan teknis, pengelolaan, dan/atau pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan khusus?.

Ini menjadi sangat jelas bahwa pemerintah juga berkewajiban untuk membantu perkembangan perpustakaan komunitas. Meski, perpustakaan komunitas tetap tidak terikat dengan pemerintah. Bantuan pemerintah sangat diperlukan untuk memberdayakan dan meningkatkan peran serta perpustakaan komunitas dalam pembangunan bangsa.

Stian Haklev (2008) dalam hasil penelitian yang berjudul ?Mencerdaskan Bangsa – Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di Indonesia? mengungkapkan bahwa perpustakaan komunitas diselenggarakan terutama bagi diri komunitas itu sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam upaya memberdayakan dirinya.

Pendekatan dalam pembangunan perpustakaan yang dilakukan oleh masyarakat atau komunitas itu tidak lagi dilakukan secara struktural dan birokratis melainkan melalui pendekatan kultural yang cair.

Pengelolaan perpustakaan komunitas lebih bersifat independen, dalam arti tidak bergantung pada pemerintah, terutama pada masa awal keberadaannya dengan slogan dan semangat budaya perlawanan atau do it yourself.
Menurut penulis, sungguh menarik bahwa dasar dari perpustakaan komunitas ada unsur pemberontakan. Para pengelola perpustakaan komunitas ingin membuat suatu gerakan yang ingin melawan paradigma mengenai perpustakaan yang selama ini telah tertanam di masyarakat.

Perlawanan itu bersifat positif karena mereka menganggap bahwa mereka adalah pihak yang paling mengetahui siapa sebenarnya komunitas mereka. Itu pun tidak salah. Karena pada dasarnya, dalam niat mereka tertanam bahwa mereka ingin memberikan kontribusi lebih bagi komunitas mereka. Tentunya dengan cara mereka sendiri.

Dalam sebuah buku bertajuk ?Perpustakaan dan Masyarakat? yang ditulis oleh Sutarno NS (2006: 67) dijelaskan mengenai sebuah perpustakaan di dalam suatu komunitas masyarakat karena hal-hal sebagai berikut:

pertama, adanya keinginan yang datang dari kalangan masyarakat luas untuk terselenggaranya perpustakaan, karena mereka yang membutuhan;

kedua, adanya keinginan dari suatu organisasi, lembaga, atau pemimpin selaku penanggungjawab institusi di suatu wilayah untuk membangun perpustakaan;

ketiga, adanya kebutuhan yang dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu tentang pentingnya sebuah perpustakaan;

keempat, diperlukannya wadah atau tempat yang bisa untuk menampung, mengolah, memelihara dan memberdayakan berbagai hasil karya umat manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan, sejarah penemuan, budaya dan lain sebagainya.

Berdasarkan pengalaman dan observasi, penulis mengerucutkan bahwa perpustakaan komunitas memiliki lima prinsip yang menjadi fondasi. Jika fondasi itu terus dipertahankan dan dipupuk akan akan menjadi sebuah perpustakaan komunitas yang memiliki peran yang maksimal.

Pertama, perpustakaan komunitas adalah bentuk inisiatif dari masyarakat atau komunitas untuk saling membantu dan tolong menolong untuk mewujudkan akses buku yang mudah diakses.

Ketika ada inisiatif, maka di situ ada niat baik. Selanjutnya adalah konsistensi dalam melanjutkan inisiatif. Salah satu penyakit perpustakaan komunitas adalah inkonsistensi.

Biasanya hanya perpustakaan komunitas sangat atraktif dan aktif pada awal-awal pendiriannya, namun selang beberapa terkendala oleh beberapa hal termasuk dana, inkonsitensi pengurus, monoton karena tidak ada kegiatan, dan diorientasi.

Kedua, perpustakaan komunitas menjadi ajang eksistensi dan jati diri sebuah organisasi atau kelompok masyarakat tertentu dengan tujuan pemberdayaan anggotanya.

Tak bisa dipungkiri jika setiap komunitas, kelompok masyarakat atau pun organisasi tertentu selalu mengedepankan eksistensi.

Eksistensi itu dilakukan bukan hanya dengan mengibarkan bendera kelompok mereka tetapi salah satunya dengan perpustakaan. Dengan perpustakaan, maka jalinan antara anggota pun akan semakin erat.

Ketiga, perpustakaan komunitas adalah ajang untuk pengembangan kreativitas masyarakat dengan membaca buku dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti diskusi, bedah buku, dan workshop yang disesuaikan dengan kebutuhan anggotanya.

Menariknya lagi jika perpustakaan komunitas dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Itu sangat menarik karena perpustakaan menjadi tempat belajar seperti Kejar Paket A, B dan C.

Perpustakaan juga dapat bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan pelatihan kewirausahaan, misalnya membuat kue, manajemen bisnis, dan pelatihan montir mobil serta sepeda motor.

Jika perpustakaan komunitas memiliki berbagai kegiatan, maka anggotanya pun akan terikat dan semakin aktif. Salah satu penyebabnya banyaknya perpustakaan komunitas yang tidak langgeng karena tidak adanya kegiatan yang menarik bagi anggotanya.

Keempat, perpustakaan komunitas memiliki prinsip idealisme yakni ikut membudayakan tradisi membaca di kalangan masyarakat. Misi tersebut adalah misi mulia yang harus dimiliki oleh seluruh perpustakaan. Tapi misi untuk membudayakan membaca, maka itu bukanlah perpustakaan.

Namun, perpustakaan komunitas kerap terjebak dengan paradigma tradisional dalam mengembangkan budaya membaca. Mereka kerap hanya menyediakan buku-buku semata. Padahal, peningkatan budaya membaca bukan hanya identik dengan buku.

Paradigma perpustakaan komunitas modern yakni melakukan pendekatan people to people sehingga terjalin emosional yang solid. Dengan pendekatan tersebut, maka akan terjalin kepercayaan sehingga memudahkan kelangsungan perpustakaan komunitas.

Selain itu, perpustakaan komunitas juga harus akrab dengan teknologi informasi. Banyaknya perpustakaan komunitas yang tak bertahan usianya karena tidak menyesuaikan teknologi. Mereka ditinggal anggotanya. Jika ingin mendekatkan teknologi, perpustakaan komunitas membutuhkan biaya besar.

Kelima adalah jaringan. Di sinilah, perpustakaan komunitas mampu menggaet pemerintah atau pun program coorporate social responsibility ikut membantu operasional mereka.

Untuk memasuki jaringan tersebut, maka perpustakaan komunitas pun harus masuk ke jaringan perpustakaan yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dengan jaringan tersebut, maka pengelolaan perpustakaan akan menjadi lebih mudah dan banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Jika kelima prinsip tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh perpustakaan komunitas, kemungkinan mereka akan eksis dan anggotanya akan semakin fanatik. Pasalnya, anggota perpustakaan mendapatkan sesuatu yang berbeda dari perpustakaan yang tidak didapatkan dari tempat lainnya.

Mengemas Ulang Perpustakaan Komunitas

Untuk bertahan dengan kafe, dan warung internet, serta menyadarkan kembali masyarakat, mau tak mau perpustkaan komunitas harus berubah. Perubahan memang merupakan hal yang sangat sulit. Tetapi, jika tidak ada perubahan maka akan selalu tertinggal. Apalagi, perpustakaan komunitas adalah lembaga nirlaba.

Tujuan utama mengemas ulang perpustakaan komunitas adalah memberdayakannya sebagai sebagai unjung tombak peningkatan budaya baca masyarakat. Pengemasan itu dilakukan dalam beberapa tahap dan beberapa proses demi tercapainya perpustakaan komunitas yang memiliki daya saing tinggi serta kompetitif dengan persaingan dengan kafe dan pusat perbelanjaan.

Beberapa perubahan yang harus dilakukan adalah promosi perpustakaan komunitas. Menurut Darmono (2007; 208), perpustakaan sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang jasa tentunya dapat mengadopsi prinsip-prinsip promosi dalam bidang kegiatannya.

Tujuan promosi perpustakaan sebenarnya adalah untuk memperkenalkan perpustakaan, koleksi, jenis koleksi yang dimiliki, kekhususan koleksi, jenis layanan dan manfaat yang dapat diperoleh pengguna perpustakaan. Melalui kegiatan promosi diharapkan masyarakat mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan sehingga membuat mereka tertarik dan mengunjunginya.

Sebenarnya secara sadar atau tidak, pustakawan sudah melakukan kegiatan promosi, akan tetapi kegiatan yang mereka lakukan kebanyakan tidak terencana, karena memang kegiatan ini bukan tujuan utama mereka.

Seperti halnya melakukan pameran buku baru, peningkatan kualitas layanan, penampilan citra perpustakaan merupakan aspek-aspek kegiatan promosi yang sudah diterapkan di perpustakaan, meskipun dilakukan secara tidak sadar tadi. (Darmono: 2007; 2008).

Metode memamerkan jasa perpusataan baik dengan menggunakan bantuan alat elektronik maupu yang tidak menggunakan bantuan peralatan elektroniok, sebagai berikut: (1) nama dan logo; (2) poster dan leaflet; (3) pameran; (4) press realease; (5) siaran radio; (6) ceramah; dan (7) iklan. (Darmono: 2007; 210-213).

Menurut penulis, perpustakaan komunitas harus dapat melaksanakan metode perpustakaan yang dikemukakan oleh Darmono. Yang paling efektif adalah menjalin komunikasi dengan radio komunitas yang telah memiliki pendengar dan pasar telah pasti. Kemudian, perpustakaan juga dapat membuat leaflet atau buletin yang berisi informasi kepada pelanggan setianya.

Setelah promosi, dalam buku berjudul ?Inside, Outside, and Online: Building Your Library Community? karya besar Hill Chrystie (20090 mengutip pendapat Menurut Profesor Joe Jones dari University of Washington iSchool mengemukakan bahwa apa yang dimaksudkan perpustakaan adalah Adanya barang atau buku, tempat, pelayanan, interaksi, dan nilai-nilai.

(Hill:2009; 20)

“Think outside the box! Don’t get hemmed in by thingking things aren’t “what libraries do.” We don’t just provide books or internet service – we help the community. And we can do that in more ways than we’re use to doing (Mary Doud, Deputy Director, Kalamazoo Public Library, Michican dalam Hill: 2009;22). Apa yang diungkapkan Mary Doud adalah benar adanya.

Apalagi sesuai dengan konteks perkembangan perpustakaan komunitas di Indonesia. Doud mengajak para pengurus perpustakaan komunitas untuk berpikir di luar konteks atau kelaziman. Dia mengajak agar pengurus perpustakaan tidak hanya menyediakan buku atau internet. Dia menggarisbawahi bahwa perpustakaan juga membantu komunitas. ?

Kita menemukan bahwa pelayanan perpustakaan yang memiliki komunitas mengijinkan para pustakawan secara sistematis untuk mengevaluasi dan memberikan pelayanan berulang kali untuk memenuhi keinginan individu dan komunitas. Pendek kata, pendukung kita dan komunitas harus dilayani dengan baik dan harus dijalin komunikasi, itulah tugas perpustakaan.?

(Hill:2009;22-23)

Hill (2009: 22-23) pun menggelar survei, wawancara, dan mengunjungi ratusan pustakawan untuk belajar bagaimana mereka membangun komunitas mereka di dalam perpustakaan. Ternyata mereka menjalankan prinsip-prinsip prediksi, penyampaian, pendekatan, pengulangan atau evaluasi, dan mempertahankan.

Pertama adalah prediksi. Di dalamnya ada pemahaman mengenai kebutuhan utama pelanggan dan itu menjadi pelayanan utama perpustakaan yang fokus terhadap komunitas. Penilaian kebutuhan itu memainkan peranan signifikan agar terjadi kesesuaian antara pelayanan perpustakaan dan kebutuhan komunitas. (Hill:2009;23).

Kedua adalah penyampaian. Komponen ini melibatkan pelayanan strategi terhadap basis komunitas sesuai dengan kebutuhan utama mereka. Elemen ini termasuik perencanaan strategi, pengembangan koleksi, pelayanan program dan pengembangan, serta manajemen sumber daya. Kemudian, memperhatikan pengalaman para anggota perpustakaan dan mengadaptasi sesuai dengan keinginan komunitas. (Hill:2009;23).

Ketiga adalah pendekatan. Komponen ini meliputi berkomunikasi langsung dan melayani komunitas secara efektif. Komunikasi meliputi pesan-pesan mengenai perpustakaan, misi kita, dan penawaran kita. Itu juga termasuk komunikasi yang terus berjalan dengan para anggota dan diterimanya umpan dari mereka dalam hal persepsi, pemahaman, dan pengalaman. (Hill:2009;24).

Keempat adalah pengulangan atau evaluasi. Evaluasi merupakan kunci untuk mengetahui apakah kita telah melakukan tujuan kita untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Dari ? Kepercayaan penuh? dan standar perpustakaan?, tetapi dengan evaluasi dan prediksi perpustakaan untuk mengetahui dampak atau hasil pelayanan terhadap komunitas. (Hill:2009;24).

Kelima adalah mempertahankan. Menganggap bahwa implikasi jangan panjang dan medium dari pelayanan menjadi kunci dari apa yang disebut dengan ?bukti masa depan? perpustakaan. Pendek kata, jika Anda ingin tetap dapat diakses, fleksibel, dan mudah beradapatasi maka pelayanan perpustakaan harus relevan dan selalu memenuhi kebutuhan anggota, dan ibarat feshyen selalu mengikuti mode. (Hill:2009; 25).

Penulis berpendapat, jika perpustakaan komunitas menerapkan kelima hasil penelitian yang dilakukan Hill, maka perpustakaan mereka akan selalu dinanti oleh para anggotanya. Dibutuhkan proses yang cukup matang untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut pada perpustakaan komunitas. Dibutuhkan pelatihan dan pemahaman lebih dalam mengenai prinsip tersebut hasilnya lebih memuaskan.

Menurut Andy Barnett (2002) dalam bukunya berjudul ?Libraries, community, and technology? memaparkan perpustakaan memiliki tiga kekuatan utama yang menunjukkan seperti apa sebenarnya perpustakaan itu. Barnett menjelaskan ketiga kekuatan tersebut dengan detail.

Pertama, perpustakaan sebagai lembaga publik memiliki misi sosial yang bersejarah. Fase teknologi telah mengacaukan misi tersebut, apalagi kebanyakan pengelola telah mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. Misi mereka pun telah menjadi strategi besar perpustakaan. (Barnett: 2002; 6)

Kedua, kepustakawanan telah mengajarkan serangkaian nilai yang memandu langkah-langkah para pustakawan. Saat ini, nilai-nilai itu tersebut berubah dan mendatanya pun berujung kepada kebuntuan tetapi yang lebih penting adalah mengabaikan aspek terpenting dari nilai-nilai tersebut. Aspek terpenting itu adalah membuat pendekatan bagi orang-orang yang aktif dalam perpustakaan dan mengimplemetasikan misi. (Barnett: 2002; 6)

Ketiga, perpustakaan dikenal karena masyarakat menginginkan sesuatu dari sebuah perpustakaan yakni pelayanan yang mapan dan tidak mahal. Kemudian adanya aplikasi tegas dianggap sebagai taktik bagi anggota perpustakaan untuk memenuhi misi yang juga bertujuan untuk menarik perhatian pasar. (Barnett: 2002; 6)

Bagaimana pun juga, masyarakat tetap mengandalkan perpustakaan, terutama perpustakaan komunitas karena tidak ada biaya dan relatif lebih murah dibandingkan mereka harus pergi ke toko buku. Seyogyanya perpustakaan komunitas harus menjadi tempat rakyat untuk mengakses ilmu pengetahuan.

Hingga tujuan utama perpustakaan komunitas menjadi ujung tombak peningkatan budaya membaca perpustakaan pun tercapai. Caranya adanya pelaksanaan berbagai prinsip yang telah dijelas tersebut sehingga ada parameter dan acuan dimiliki perpustakaan komunitas. Satu hal yang harus ada perpustakaan komunitas adalah konsistensi dalam melaksanakan prinsip-prinsip tersebut.

Referensi:

Penulis: Andika Hendra Mustaqim [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 12 No. 3 – Desember 2010]

Exit mobile version