Dunia Perpustakaan | Open Access | Informasi adalah kekuasaan. Tapi seperti juga kekuasaan, ada orang yang ingin menyimpannya hanya untuk diri mereka sendiri. Begitu tulis Aaron Swartz dalam artikel “Manifesto” pada tahun 2008 yang lalu.
“Dia dibunuh oleh pemerintah,” gumam Robert Swartz tak henti-henti, di tengah kerumunan pelayat, dengan suara bergetar dan tercekat. Buah hatinya sekaligus penulis “Manifesto”, Aaron, terbujur tak bernyawa di peti mati. Penemu RSS dan mengggiat open source dan open access, serta salah satu pendiri situs Reddit ini tewas gantung diri di apartemennya, [13/1/2013].
Swartz, seorang aktivis internet, dirudung depresi terkait kasus hukum yang membelitnya. Ia sebelumnya meretas server institut teknologi ternama, Massachusetts Institute of Technology, dan mencuri jutaan artikel serta jurnal yang semestinya hanya bisa diakses dengan membayar. Atas nama akses terbuka terhadap informasi yang diperlukan publik, ia menggansir data berbayar.
Pecandu internet sejak usia belia ini bukan anak bawang di jagat maya. Ia mendapat banyak pujian sebagai pencipta format web feed RSS 1.0, yang dia kerjakan saat berusia 14 tahun. RSS, kependekan dari Rich Site Summary, adalah format berbagi pengiriman kepada pengguna isi dari laman yang berubah terus, seperti blog dan laman berita.
(Baca juga: Pesan Terakhir Aaron Swartz untuk Pustakawan)
Bertahun-tahun setelahnya, dia menjadi buah bibir karena membantu menyediakan segunung informasi maya secara gratis bagi masyarakat umum, termasuk 19 juta halaman dokumen pengadilan federal yang selama ini hanya bias diakses dengan membayar.
“Seluruh warisan budaya dan ilmu pengetahuan dunia yang disiarkan selama berabad-abad di dalam buku dan jurnal, makin sering didigitalkan dan dikunci oleh segelintir perusahaan swasta. Cuma mereka yang dibutakan oleh kerakusan yang menolak membolehkan orang lain untuk menyalinnya.” bunyi pernyataan Aaron yang juga tertuang di Manifesto
Keyakinan bahwa informasi wajib dibagi dan tersedia bagi semua orang memicunya mendirikan kelompok nirlaba DemandProgress yang kemudian berhasil melancarkan aksi menghalangi golnya rancangan undang-undang Stop Online Piracy Act (SOPA) pada tahun 2011 oleh Parlemen AS.
Rancangan yang ditarik di tengah tekanan masyarakat itu semestinya mengizinkan pengadilan memerintahkan pencegahan akses ke jejaring tertentu yang dipandang melibatkan kegiatan berbagi hak intelektual secara tidak sah. Meski tak langsung disebut, jelas orang-orang seperti Swartz dan para penggiat keterbukaan informasi maya adalah sasaran tembak utama UU ini.
Bagian Kedua
Ketika aktivis berusia 26 tahun ini meninggal, ia menghadapi tuduhan serius di pengadilan federal, situasi yang menuntun pada simpulan mengapa ia memutuskan untuk bunuh diri. Anak muda yang dianggap “jenius” oleh sebagian orang ini berkontribusi dalam proyek-proyek teknologi, termasuk menjadi bagian dari penemuan RSS, yang kini digunakan oleh jutaan website.
Persinggungannya dengan hukum dimulai dengan insiden PACER pada tahun 2008. Public Access to Court Electronic Records adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua dokumen pengadilan federal AS, dan bisa diakses hanya dengan membayar.
Karena berada dalam domain publik, Aaron berpendapat informasi di situs itu semestinya tersedia secara gratis.
Benar, dia kemudian membeli akses untuk bisa masuk. Namun ibarat bertamu, dia tak hanya duduk manis di ruang tamu. Swartz menyusup secara maya hingga ke lorong-lorongnya dan menggondol 20 persen dari seluruh database, atau sekitar 18 juta dokumen, dan menyodorkannya pada pengakses Internet secara gratis.
Sudah ditebak, mereka yang ada di balik PACER meradang. Investigasi FBI dilancarkan, tapi setelah dua bulan, kasusnya ditutup. Ia dianggap tidak pernah melanggar hukum apapun. Tak ada yang dirugikan dengan menggratiskan informasi ini.
Sempat diinterogasi FBI tak membuatnya jera. Diam-diam ia mengakses database JSTOR, yang menyediakan jurnal penelitian berbayar. Lagi-lagi di situs ini, dia mengunduh 4 juta dokumen dari server MIT, dan menyimpannya pada hard drive-nya. Bukan untuk dirinya sendiri; ia mempublikasikannya secara gratis.
Kali ini, tak ada ampun baginya. Ia menghadapi ancaman hingga 35 tahun penjara. Meskipun setelah kematiannya, ada kesepakatan untuk memperpendek hukuman hanya 6 bulan ditambah masa percobaan.
Sebetulnya, apa yang menyeretnya ke penjara juga masih sumir. Masalah utamanya sebenarnya tak lebih hanyalah pelanggaran kebijakan layanan situs web. Setiap website utama memiliki link di bagian bawah halaman yang mengantarkan pembacanya pada aturan ToS, term of service, yang menentukan apa yang Anda bisa dan tidak bisa lakukan di situs tersebut.
Umumnya pengakses situs, kemungkinan Anda juga, tidak pernah meperhatikannya. ToS juga bukan aturan hukum, sehingga dan tak ada konsekuensi hukum bagi pelanggarnya. Itu sebabnya pelanggaran ToS jarang bermuara ke pengadilan.
Namun Kejaksaan AS tampaknya tak ingin pemuda 26 tahun ini kembali membuat ulah. Mereka memilih memperkarakannya.
Bahkan setelah JSTOR menolak mengajukan tuntutan, jaksa bukannya menghentikan kasusnya, namun melanjutkan dengan tudingan lain, yaitu menyembunyikan identitasnya dan karenanya dibawa pada pasal kejahatan cyber. Konsekuensi hukumannya, tentu saja, tidak main-main dan jauh lebih berat.
Bagian Ketiga
Berkacamata kuda, begitu aktivis maya menyebut hukum yang diberlakukan terhadap kasus Aaron Swartz. Semua berangkat dari premis bahwa laptop yang digunakan Swartz menggunakan identitas palsu.
Ini yang mendasari penilaian bahwa dari awal dia memang sudah beritikad tidak baik. Di mata hukum semua titik sampai di sini.
Walau sebenarnya, bagi para pecandu Internet, apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa dan tak istimewa. Bagi sebagaian orang, mengubah alamat MAC atau IP adalah hal sepele.
Banyak adapter yang menawarkan pilihan untuk itu, dan di layar Windows, Anda hanya perlu mengklik beberapa tombol untuk memuluskan tujuan. Masalahnya di sini adalah memodifikasi alamat MAC bukan masalah keamanan.
Jika Anda mengambil kursus jaringan, seperti sertifikat Cisco atau CompTIA, salah satu hal pertama yang Anda pelajari dalam modul keamanan adalah penyaringan alamat MAC merupakan proposisi yang sama sekali tidak berguna.
Hal yang sama berlaku untuk alamat IP. Apakah menggunakan server DHCP atau mengatur alamat Anda sendiri dengan cara yang statis, siapa pun dapat mengkonfigurasi adaptor untuk menggunakan alamat yang mereka inginkan, dan selama router menerimanya, maka tak akan ketahuan siapa yang menggunakannya.
Jadi intinya adalah: apa yang didakwakan jaksa pada Swartz sudah terlalu jauh. Fakta bahwa mengubah sesuatu seperti alamat MAC untuk menyembunyikan keberadaan sebuah laptop adalah kejahatan, harus dikaji ulang dengan hati-hati.
Dari informasi yang beredar luas, pada kondisi ini tidak pernah ada sistem dalam JSTOR yang meminta Swartz untuk mengidentifikasi dirinya, dan memblokir akses berdasarkan alamat MAC.
Bahkan MIT, untuk kasus pertama, juga demikian. Misalnya, jika Anda pergi di kampus itu, Anda dapat melihat dua hotspot wi-fi “0:21: d8: 49:98:61” dan “0:21: d8: 49:98:62” yang dipilah menjadi untuk “Warga MIT” dan “Tamu MIT”. Namun, kedua alamat sebenarnya bermuara pada adaptor yang sama.
Inilah sebabnya mengapa kasusnya menjadi sangat penting, dan mengapa hal itu tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut.
Teknologi dapat menjadi rumit, terutama untuk orang non-teknis. Untuk orang awam, spoofing–istilah teknis internet untuk mengubah atau mengkamuflase identitas–alamat MAC mungkin tampak seperti kasus penipuan, sebelum Anda menyadari bahwa sebenarnya teknologi itu tidak pernah dirancang seperti itu.
Tak berlebihan jika serangan hukum terhadap Swartz sebenarnya adalah wujud dendam kesumat pada sejumlah orang yang seide dengannya, yang telah membocorkan informasi penting ke ranah publik. Singkat kata, pemerintah AS seolah ingin membuat terapi kejut bagi mereka, dengan cara mem–‘bully’ Swartz.
Siapa saja mereka? Sederet nama pasti Anda ingat. Yang paling terkenal barangkali adalah Bradley Manning, serdadu dalam Perang Irak yang dituduh membocorkan informasi militer rahasia pada situs WikiLeaks.
Dokumen kebijakan luar negeri AS yang bersifat terbatas, berjumlah lebih dari 92 juta item, diobralnya pada situs itu. Ia kini meringkuk di tahanan militer, menunggu kasusnya berkekuatan hukum tetap.
Lalu ada Jeremy Hammond, pemuda 28 tahun, yang pada tahun pertamanya di Universitas Illinois meretas home page Departemen Ilmu Komputer. Meski kemudian ia mengatakan kepada mereka bagaimana mereka bisa memperbaiki masalah tersebut.
Dia dikeluarkan dari universitas itu dan sekarang meringkuk di penjara federal menghadapi tiga puluh sembilan tahun penjara. “Dosa” terbesarnya justru bukan pada meretas situs di kampusnya, melainkan membocorkan 5 juta email internal Stratfor, sebuah perusahaan keamanan swasta yang disewa oleh perusahaan.
Khusus bagi Swartz, ia bak memborong semua dakwaan. Setidaknya ada 13 dakwaan yang ditudingkan padanya, mulai dari penipuan hingga kejahatan cyber. Jika dijumlahkan, dia harus menghabiskan 35 tahun hidupnya di penjara, dan membayar denda 1 juta dolar AS. Hukuman yang terlalu mahal “hanya” untuk kesalahan peretasan dan tak ada pihak yang dirugikan.
Bagian Empat
Datang dari seluruh penjuru Silicon Valley, mereka memenuhi bangku gereja tua untuk memberikan penghormatan kepada Aaron Swartz, di hari jazadnya diantar ke pemakaman. Mereka yang tak mendapat tempat duduk, rela berdiri bahkan hingga di pelataran gereja.
“Kami datang bukan untuk berkabung. Kami datang untuk meneruskan perjuangannya,” ujar salah seorang dari mereka.
Di gereja yang telah dialihfungsikan sebagai markas Internet Archive, sebuah kelompok nirlaba yang didirikan para penggiat internet AS, suasana tampak lebih seperti “rapat umum” aktivis maya ketimbang perkabungan dalam suasana duka.
“Dia bukanlah penjahat. Dia adalah seorang warga negara dan seorang prajurit pemberani dalam perang yang terus berlangsung sampai sekarang, perang di mana para pencatut dan koruptor informasi mencoba untuk mencuri dan menimbun sementara yang lain dahaga dan kelaparan hanya demi untuk keuntungan pribadi mereka sendiri,” kata Carl Malamud, teknolog dan advokat vokal untuk akses terbuka terhadap informasi.
Yang tak bisa hadir, mengirimkan kawat duka melalui surat elektronik. “Kematian Aaron Swartz adalah kerugian bagi seluruh umat manusia,” tulis Jacob Applebaum, seorang hacker terkenal, melalui pesan email.
Dia adalah seorang “jenius Web,” tulis Lawrence Lessig, profesor hukum di Harvard Law School dan direktur Edmond J. Safra Center for Ethics di Harvard University. “Dunia kehilangan dia.”
Akademisi yang mendukung gerakannya, aktif memposting penelitian mereka secara online dan membebaskan siapa saja untuk melihat dan bahkan mengunduhnya. Beberapa perguruan tinggi ternama di AS juga mulai membuka akses gratis bagi penelitian mereka.
“Saya pikir banyak orang yang akan terinspirasi oleh Aaron untuk bertindak,” kata Peter Eckersley, ditektur Electronic Frontier Foundation yang juga mantan teman sekamar Swartz.
Perang perebutan akses terbuka telah berkecamuk selama bertahun-tahun, dan kematian Swartz alih-alih memberangus, malah bak menyiram bensin dalam bara.
Pertempuran bahkan akan lebih panas, seorang aktivis mengatakan. “Kematian Aaron justru akan meradikalkan gerakan kami,” kata Taren Stinebrickner-Kauffman, programer yang juga kekasih Swartz, seolah bersumpah. Slogan Swartz bahwa informasi harus dibebaskan dari cengkeraman para pemikir korup yang haus uang, menggema sepanjang acara. ** | sumber: republika.co.id