Site icon Dunia Perpustakaan

Perpustakaan Daring di Tengah Pusaran Texting

Dunia Perpustakaan | Menurut data UNESCO, budaya literasi kita masih sangat rendah. Penyebab terjadinya hal ini, masih belum sepenuhnya jelas. Namun, pada kondisi seperti itu, justru muncul tren baru yang membawa bangsa ini kepada budaya yang baru juga.

Kelahiran berbagai macam variasi gadget, entah dalam bentuk tablet maupun smart phone, sudah mengubah gaya hidup kita. Restoran, yang seharusnya menjadi tempat keluarga dan kolega bersenda gurau, sudah menjadi sepi karena semua pelanggannya memainkan gadget masing-masing.

Gadget sudah menjauhkan kita dari buku, dan konsekuensinya menjauhkan kita juga dari perpustakaan. Apakah yang terjadi?

ilustrasi

Texting Tanpa Henti

Sejak lahirnya media sosial (medsos), justru budaya texting yang lahir, bukan literasi. Texting diartikan sebagai menggosip dan meracau di media sosial atau aplikasi chatting, yang merupakan kepanjangan tangan dari budaya lisan/oral.

Dalam satu sisi, texting kelihatan sangat berguna untuk menjalin silaturahmi dengan teman baru dan untuk kepentingan pekerjaan, iklan misalnya. Di sisi lain, texting tanpa kontrol sudah menghasilkan fitnah dan teror yang berkepanjangan.

Sudah sangat jamak kasus pemenjaraan dan kriminalisasi di Tanah Air, karena texting kebablasan di media sosial. Sedihnya, kondisi seperti ini sama sekali tidak memperbaiki budaya literasi kita, dan justru membuat semakin buruk.

Buku, yang merupakan salah satu sumber utama untuk melakukan verifikasi data, ditinggalkan sama sekali ketika medsos sedang panas karena twitwar berkepanjangan. Emosi yang sudah terbawa ketika twitwar, menjadikan verifikasi data dilupakan sama sekali.

Berdasarkan penelitian di Harvard, texting di medsos bisa menjadikan penggunanya kecanduan. Menipisnya kebiasaan melakukan riset dan verifikasi data pada sumber pustaka, tentu saja berakibat peran perpustakaan menjadi semakin di ujung tanduk. Untung saja, perpustakaan juga bertransformasi di era digital ini.

Perpustakaan Daring

Pemerintah kita sebenarnya tidak tinggal diam melihat kondisi ini. Untuk mengintegrasikan perpustakaan kepada web 2.0, maka diperkenalkanlah perpustakaan daring (e-library).

Perpustakaan nasional (perpusnas), yang merupakan pusat rujukan di negara ini terhadap perpustakaan, juga memiliki perpustakaan daring. Untuk bergabung, cukup mudah, yaitu mengakses tautan berikut http://keanggotaan.pnri.go.id/.

Fitur yang ditawarkan sangat menguntungkan terutama bagi siswa dan mahasiswa yang mengerjakan tugas sekolah atau kuliah. Perpusnas online telah berlangganan dengan berbagai jurnal berbayar dan indexing database seperti Proquest, SAGE, Taylor and Francis, EBSCO, Cambridge University Press, dan banyak lagi lainnya.

Jika hal ini disosialisasikan secara optimal, maka akan sangat banyak sekolah dan universitas yang terbantu karena bisa mengakses sumber pustaka terbaru dan aktual.

Kemudian, Pemda DKI merilis ‘ijakarta’, sebuah platform untuk perpustakaan digital. Aplikasinya dapat diunduh di https://ijakarta.id/. Inisiatif Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ini patut dipuji dan ditiru oleh Pemda lain.

Hanya saja, memang ada satu kendala yang dihadapi perpustakaan daring ini. Apakah mereka dapat mengurangi budaya texting yang sudah merajalela ini? Atau justru tidak berdaya menghadapinya?

Saran berikut mungkin bisa membantu.

Paradoks Perpustakaan Daring dan Media Sosial

Di sini, justru kita jangan melawan budaya texting, namun harus kita manfaatkan demi kepentingan budaya literasi itu sendiri. Seakan seperti bersekongkol dengan ‘musuh’, namun sebenarnya tidak demikian.

Justru medsos dapat membantu untuk meningkatkan literasi, sepanjang yang digunakan adalah platform yang terspesialisasi. Kita mengenal Schoology dan Edomondo, media sosial kependidikan yang sudah umum digunakan oleh praktisi pendidik jarak jauh.

Budaya texting tidak sepenuhnya buruk, sepanjang bisa disalurkan kepada hal yang memang benar dan tepat. Mengembangkan modul pembelajaran, dan menggunakan fitur-fitur perpustakaan daring dari medsos kependidikan justru akan meningkatkan budaya literasi itu sendiri.

Sangat menarik jika perpustakaan daring tersebut ditautkan kepada mensos kependidikan. GUI dari aglomerasi tersebut dibuat menarik seperti windowing system milik MacOSX dan Windows.

Namun hal ini memerlukan komitmen sangat kuat dari pengembang perpustakaan daring dan juga komunitas pembaca maupun komunitas open source yang mendampinginya.

Jika inisiatif seperti ini tidak diupayakan, satu hal yang sangat dikhawatirkan bahwa akhirnya medsos konvensional (Facebook, Twitter, Instagram, dll) justru akan semakin mereduksi budaya literasi itu.

Satu hal yang penting, bahwa untuk mengubah budaya diperlukan suatu rekayasa sosial-budaya, tidak hanya rekayasa sistem/teknik informasi an sich saja.

Oleh karena itu, kontribusi ilmu desain/seni rupa misalnya, akan sangat bermanfaat untuk memperkuat integrasi perpustakaan daring dengan medsos. Kemudian pakar advertising/marketing sangat diperlukan untuk mensosialisasikan hal baru ini kepada segenap lapisan masyarakat.

Sumber: detik.com

Exit mobile version