Site icon Dunia Perpustakaan

Sebarkan Budaya Gemar Membaca di Papua Barat, Melalui Noken Pustaka

Dunia Perpustakaan | Untuuk anda yang masih asing dengan kaa Noken, anda perrlu taahu yang namanya Noken yaitu berbentuk tas tradisional yang biasa digunakan oleh masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu.

Nah, jika orang kebanyakan di Papua bawa Noken untuk bawa barang dan sejenisnya, lain halnya dengan yang dilakukan oleh Agus Mandowen, yang justru menjadikan noken bukan untuk membawa barang seperrti orang kebanyakan di Papua, tapi justru untuk membawa buku.

Membawa noken penuh buku, para relawan Noken Pustaka mendatangi kawasan ramai orang dan pelosok yang belum terjangkau perpustakaan.

Tiap orang yang ditemui Agus Mandowen di kampung itu tampak seperti bergegas menghindar. Upayanya menyapa dengan ramah tak membawa hasil. Ada yang langsung masuk ke rumah. Ada pula yang mengibas-ngibaskan tangan, meminta dia pergi.

”Saya heran sekali. Apa yang salah dengan saya,” kenang Agus tentang peristiwa yang dialaminya pada Januari lalu itu.

Baru setelah berhasil mengajak bicara seorang warga di Kampung Arowi, Manokwari, itu, Agus jadi tahu penyebabnya. Ternyata, dia dikira pedagang buku.

Maklum, Agus membawa sebuah noken yang penuh buku.

”Dikiranya saya jualan. Padahal, buku-buku itu untuk dibaca secara gratis,” ujar pria yang juga atlet angkat berat andalan Papua Barat tersebut, lantas terkekeh.

Agus adalah salah seorang relawan Gerakan Ayo Membaca Noken Pustaka Papua.

Agus Mandowen rajin membawa noken yang berisi buku untuk dipinjamkan masyarakat di Papua secara gratis

Gerakan tersebut dipelopori Misbah Surbakti dan resmi dideklarasikan pada 15 Desember 2015. Berbarengan dengan kegiatan Pramuka di SMPN 19 Manokwari, tempat Misbah mengabdi sebagai guru.

Misbah mendirikan Noken Pustaka Papua berdasar rasa keprihatinan. Suatu hari pria asal Medan, Sumatera Utara, tersebut menyaksikan bagaimana seorang siswanya kesulitan menjawab soal ulangan.

Dia menyimpulkan, itu terjadi karena kurangnya kemampuan siswa dalam menyimak soal. ”Ini disebabkan kurang terampil atau kurang membaca. Anak-anak yang biasa membaca lebih mudah menangkap inti pesan dari sebuah tulisan,” tuturnya.

Mengutip Badan Pusat Statistik Papua Barat, angka melek huruf di Papua Barat pada 2015 sebenarnya sudah mencapai 96,88 persen. Tapi, bisa membaca jika tak dibarengi dengan ketersediaan fasilitas untuk membaca tentu percuma.

Juga, Misbah tahu, di lingkungan sekitar Manokwari serta Papua Barat, masih banyak anak yang senasib dengan siswanya tersebut. Karena itu, dia memutar otak. Mencari cara untuk membuat kegiatan nonformal yang melebur di tengah-tengah masyarakat. Misbah lantas berdiskusi dengan beberapa rekan di Jawa Tengah.

Dari sanalah lahir ide melakukan gerakan ayo membaca itu. Kalau kemudian diberi nama Noken Pustaka, alasannya, noken alias tas khas Papua yang merupakan karya budaya kaum ibu tersebut melambangkan harapan hidup.

Agus Mandowen saat hadir di acara Mata Najwa | gambar: akun twitter Najwa Shihab

”Warga pergi ke kebun dengan membawa bekal untuk satu hari gunakan noken. Juga kalau gendong bayi,’’ ujarnya.

Dalam melaksanakan kegiatan yang menyadarkan pentingnya membaca itu, Misbah dibantu beberapa relawan. Sambil membawa buku yang dimasukkan ke noken, Misbah dan ”pasukannya” mendatangi warga.

Mereka menyisir anak-anak ataupun orang dewasa di pelosok atau yang belum tersentuh perpustakan. Juga tempat-tempat di mana anak-anak dan orang ramai berkumpul. Misalnya para-para atau pantai.

”Agus Mandowen yang paling rajin mengunjungi anak-anak untuk membimbing membaca,’’ kata Misbah.

Beragam pengalaman, baik yang lucu, menguji kesabaran, maupun mengharukan, dialami Misbah dan para relawan. Agus, yang rutin mendatangi lokasi rekreasi Pantai Pasir Putih, Manokwari, misalnya, harus berkali-kali menjelaskan bahwa buku-buku yang dibawanya tidak dijual.

”Di awal-awal dulu, entah berapa kali dalam sehari saya harus jelaskan bahwa buku-buku yang saya bawa ini tidak dijual,” kata Agus.

Agus adalah atlet angkat berat kelas 105 kg. Pada pra-PON di Bandung tahun lalu, dia menduduki posisi keenam.

Bagi dia, berkeliling membawa buku bak pemanasan untuk menjaga kondisi fisik. Karena itu, dia dengan senang hati melakukannya kendati tak dibayar sepeser pun.

Dia juga tak mengeluh ketika peminat buku-buku yang dibawanya ke suatu kampung ternyata sedikit. Misalnya yang dia alami di Kali Dingin, Distrik Manokwari Barat, pada suatu siang pertengahan April lalu. Hanya tiga anak yang menghampiri.

Militansi Agus juga ditunjukkan para relawan lain seperti Novela, Yohana, dan Grisella. ”Relawan kami beragam. Ada yang atlet, ibu rumah tangga, remaja, dan mahasiswa. Mereka punya minat baca dan tertarik menyalurkannya kepada suadara-saudaranya yang lain,’’ ujar Misbah.

Dukungan untuk Gerakan Ayo Membaca Noken Pustaka kian luas setelah Misbah mengunggahnya ke Facebook. Budayawan Nirwan Ahmad Arsuka yang turut menggerakkan Kuda Pustaka di Jawa Tengah dan Perahu Pustaka di Sulawesi Barat menghubungi Misbah. Dia memuji Noken Pustaka.

”Teruskan saja dilaksanakan di tengah masyarakat, jangan hanya di sekolah,’’ ujar Misbah, mengulangi pernyataan Nirwan.

Dengan mendapat dorongan dari budayawan nasional, Misbah tambah bersemangat. Dia meminta dukungan Nirwan agar membantu menyedikan buku-buku  pelajaran, cerita bergambar, dan lainnya.

Noken Pustaka memang tak punya donatur tetap. Buku-buku berasal dari sejumlah pihak yang memiliki kepedulian dan keprihatinan yang sama. Di antaranya, alumni SMA Lab School Jakarta, penulis, pegiat literasi, penerbit Gramedia, Komunitas 1001 Buku, dan perorangan lain.

Koleksi mereka beragam. Mulai buku pendidikan usia dini, SD, SMP, SMA/SMK, hingga perguruan tinggi. Juga novel dan literatur bagi guru-guru muda plus buku-buku untuk ibu-ibu. Khususnya buku keterampilan memasak.

Uluran tangan para donatur masih diharapkan. Terutama buku-buku cerita ringan bergambar. Semakin beragam buku yang disumbangkan semakin baik. Sebab, karakter masyarakat yang didatangi para relawan juga macam-macam.

Mereka yang bermukim di pesisir pantai, misalnya, lebih cocok dikenalkan dengan lingkungan perairan dan pesisir. ”Buku-buku tentang laut, tentang ikan, supaya anak-anak bisa mengembangkan diri. Murid SD juga umumnya lebih suka membaca buku pelajaran atau cerita bergambar,” katanya.

Misbah sebenarnya sudah melaporkan Noken Pustaka kepada pemerintah setempat. Dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manokwari dan perpustakaan daerah.

Dia berharap perpustakaan daerah dapat menghibahkan sejumlah buku untuk disebarkan kepada warga. ”Tapi sayang, sampai hari ini belum ada respons,” tuturnya.

Tapi, tanpa uluran tangan pemerintah pun, Noken Pustaka terus berkembang. Secara bertahap, gerakan tersebut menjangkau semua distrik/kecamatan di Manokwari.

Cara menjangkau warga pun semakin beragam. Mulai dengan Para-Para Noken, Rumah Baca Noken, Posko Noken, Motor Noken, Sepeda Pustaka, Pondok Noken, sampai Perahu Noken yang kini sedang diupayakan.

Sumber: pontianakpost.com

Exit mobile version