Jalan Sunyi Para Pecinta Buku.
Dunia Perpustakaan | Orang-orang ini tak percaya bahwa minat baca masyarakat sangat rendah. Merekalah orang-orang yang tak mengutuk gelap dan lebih memilih menyalakan pelita: menularkan minat membaca melalui pergerakan swadaya. Mereka menggelar buku di rumah, kedai, kampus.
Jauh dari ingar-bingar kepopuleran, mereka mengajak makin banyak orang membaca, merawat, dan mendiskusikan buku. “Saya meyakini minat baca masyarakat kita tidaklah rendah. Hanya kemampuan memahami bacaan saja yang selama ini kurang.
Maka saya mendirikan Lantai Kota dengan tujuan pembacaan lambat, yaitu memahami kata, kalimat, paragraf dalam setiap buku,” kata Supardi Kafha (36), pengelola Lantai Kota, perpustakaan swadaya yang berbasis di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jumat (5/8). Tempat yang dia gunakan sebagai perpustakaan itu tiada lain adalah rumahnya di Perum Bukit Asri II Blok O Nomor 11, Ungaran Barat.
Dikutip dari suaramerdeka.com, [07/08/16]. Dengan ukuran tak begitu luas, di ruang tamu rumahnya, Kafha mengajak kawan-kawan berkumpul dan membentuk kelompok baca. Ya, orientasi mereka bukanlah pada banyak buku yang dibaca. Namun lebih ke pemahaman setiap anggota terhadap buku yang dibahas.
Untuk menyelesaikan sebuah buku, kelompok itu bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun. Kini, kelompok yang beranggota 10 orang itu sedang mengkaji buku-buku Muhammad Zuhri, sufi asal Pati. Pemilihan nama penulis dan buku yang dibahas juga tak sembarangan.
Kafha juga bukan tak ingin membaca karya sastrawan dan pemikir kelas wahid negeri ini macam Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, atau KH Ahmad Mustofa Bisri. Namun, ujar Kafha, Lantai Kota ingin membaca tokoh-tokoh lain yang cenderung tak banyak dibahas orang. Sebelum Muhammad Zuhri, komunitas itu mengkhatamkan karya Kuntowijoyo.
Membaca Materi
Sepanjang hidup, Muhammad Zuhri menulis lima buku, yaitu Qasidah Cinta (puisi, 1993), Langit Desa (cerpen, 1993), Mencari Nama Allah yang Keseratus (esai, 2007), Menggapai Hidup yang Lebih Bermakna (ceramah, 2007), dan Lantai Kota (cerpen, 2012).
Sebelum berkumpul untuk membaca dan berdiskusi, Kafha biasanya membagikan satu bagian tulisan yang bakal dibahas melalui jejaring sosial.
Setiap anggota, juga siapa pun yang ingin bergabung, diharapkan membaca “materi” itu sebelum datang. Pada saat bertemu, mereka akan membaca kalimat demi kalimat dan mendiskusikan hingga tuntas. “Diskusi akan sampai pada kenapa penulis memilih kata, kalimat, atau istilah tertentu.
Informasi tambahan juga bisa diperoleh dari teman diskusi yang misalnya pernah mengikuti cerama Muhammad Zuhri,” katanya. Bagi suami Rahmatul Istikomah (41) itu, tak adil jika perjuangan panjang seorang penulis menerbitkan buku hanya dibayar dengan membaca dalam tempo sekali duduk.
Membaca lambat lantas tidak hanya menjadi upaya memahami dan membincang pemikiran penulis secara kritis, tetapi juga menghargai penulis. Di rumah, kini, Kafha memiliki sedikitnya 1.500 buku. “Semula saya membatasi hanya pada buku sastra, filsafat, dan pemikiran.
Sekarang malah kebanyakan buku anak. Itu untuk memfasilitasi anak-anak yang acap main ke sini juga pada sore dan malam hari, biar sedikit-banyak mereka gemar baca,” kata ayah Ahimsa Kafabillah (9) dan Rakai Aulia Pranatyastama (6) itu.
Di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang, ada perpustakaan yang hanya digelar setiap Kamis di gazebo B1 Fakultas Bahasa dan Seni. Perpustakaan Swadaya Teman Baca itu berlangsung sejak pagi hingga sore.
Mahasiswa yang menginisiasi perpustakaan itu juga acap menggelar diskusi dan bedah buku. “Bisa dibilang anggota perpustakaan adalah siapa saja yang datang ke sini, entah yang mendonasikan buku, membaca, meminjam, atau sekadar datang diskusi dan mengobrol,” kata Ken Kausar Amar Abdurrakhman (21), pengurus perpustakaan itu.
Bersama kawan sejawat, Dhani Ismail, Ken semula hanya ingin menyediakan referensi bacaan bagi teman-teman di kampus. Dia memandang mahasiswa perlu didekatkan dengan buku agar kecintaan mereka bertambah. Karena itu, dia tak membatasi jenis buku tertentu yang dipajang di gazebo.
“Tidak ada kategori apa pun di perpustakaan kami. Semua buku bisa masuk. Karena mempunyai nama tengah swadaya, sudah cukup kiranya nenjelaskan dari mana saja buku-buku yang ada di sini. Kami kolektif dari beberapa teman, bahkan lintas angkatan dan lintas disiplin ilmu.
Juga ada temanteman dari luar kampus yang membantu,” kata pria kelahiran Semarang itu. Dia menyebut perpustakaan antara lain berisi buku-buku sastra, kajian budaya, sejarah, dan hukum. Kini, setidaknya 500 judul buku digelar setiap Kamis.
Mahasiswa pun bisa meminjam dengan meninggalkan tanda pengenal. “Pinjam hanya satu buku selama satu minggu. Kalau belum selesai membaca, peminjam harus datang lagi minggu depan untuk melaporkan ulang buku yang dipinjam,” katanya. Ken menuturkan minat baca sekarang sudah lebih baik dari 10 tahun lalu.
Sebab, sekarang banyak akses untuk mendapatkan buku melalui toko buku dan bacaan dalam jaringan (online) yang dapat dengan mudah diakses lewat gawai. Namun, setelah banyak membaca, masyarakat perlu memilah bacaan. “Seiring dengan buku yang banyak kita baca, kita akan tahu bacaan mana bermutu.”
Ken dan komunitasnya berharap industri buku terus bergeliat. Selain makin banyak buku diterbitkan, dia berharap lahir banyak penulis muda. Selain itu, gerakan serupa perlu dilakukan pemerintah dengan makin banyak mengadakan perpustakaan keliling ke berbagai tempat.
“Pemerintah semestinya memberikan subsidi untuk buku-buku yang beredar di masyarakat, terutama di daerah-daerah pinggiran. Juga agar tercipta kemerataan akses bacaan. Bukan hanya di kota-kota besar saja. Karena kami percaya, jaminan peradaban yang lebih baik ada pada mereka yang membaca dengan baik.”
Tukar Pikiran
Kegemaran berkumpul bersama kawan-kawan sejawat yang samasama gemar membaca buku memunculkan keinginan Widyanuari Eko Putra (27) membentuk Kelab Buku Semarang. Pada 2013, komunitas itu terbentuk dan menjadi ajang bertukar pikiran perihal buku yang sedang atau telah dibaca serta buku-buku yang baru terbit atau sedang jadi perbincangan publik.
Februari 2014, untuk kali pertama Kelab Buku menggelar diskusi. Buku pertama yang mereka bahas kumpulan cerpen Murjangkung karya AS Laksana.
Forum itu terkhususkan pada obrolan buku. “Kami memberi kebebasan kepada pembaca untuk memasuki teks melalui cara masing-masing. Kami tidak mengkhususkan pada buku apa yang akan dibahas; mengalir sesuai dengan keperluan anggota masing-masing.
Buku-buku itu kami obrolkan untuk menambah referensi dan mengasah kemampuan anggota dalam menulis. Kami membiasakan diri dalam setiap obrolan, hadirin mesti membuat tulisan atau esai pendek, yang kami bundel dan kami bagikan saat acara,” kata Widyanuari, Jumat (5/8).
Acara lebih sering terselenggara di rumah kontrakan Widyanuari di Peterongan Timur Nomor 337-A, Semarang. Karena, dari tempat itulah semula gagasan mendirikan Kelab Buku muncul. Itu pula tempat mereka berkumpul. “Kami memanfaatkan ruang kosong belakang kontrakan dan kamar kosong untuk acara obrolan buku.
Namun kami tak anti menggelar acara di kampus, kafe, atau tempat representatif lain,” kata pengarsip di Universitas PGRI Semarang itu. Meski tak mengkhususkan pada genre buku tertentu, rata-rata anggota komunitas menggemari buku-buku sastra.
Buku yang pernah diobrolkan antara lain kumpulan cerpen Murjangkung (AS Laksana), Surga Sungsang dan Kematian Kecil Kartosoewirjo (Triyanto Triwikromo), Sastra Indonesia Pascakolonialisme (Katrin Bandel), 1948 (George Orwell), Penjagal Itu Telah Mati (Gunawan Budi Susanto), dan Doa untuk Anak Cucu (WS Rendra).
“Kami juga menggelar diskusi cerpen dan obrolan seputar isu sastra mutakhir. Kamis (4/8) kemarin, kami menggelar acara khaul tujuh tahun WS Rendra di Mukti Kafe yang, alhamdulilah, dikunjungi banyak orang,” kata Widyanuari.
Dia menilai tingkat baca masyarakat cukup tinggi. Itu tampak dari pameran buku yang tak pernah sepi. Di lapak dalam jaringan, penjual buku begitu banyak dan buku dagangan itu rata-rata laku. Bahkan pasar buku loak dan lawas masih sangat diminati para pembaca buku. Namun dia menilai persebaran toko buku di kota-kota kecil belum merata.
Itulah yang memicu harga buku dalam jaringan melonjak. “Dan, satu yang perlu diingat, negara dan penerbit belum memberikan apresiasi yang tinggi kepada penulis,” katanya.