Dunia Perpustakaan | Data Minat Baca | Saat era digital berkembang pesat seperti sekarang ini, hampir semua lini bidang saling melakukan evaluasi dan beradaptasi. Hingga muncul berbagai istilah baru yang dikaitkan dengan era digital, termasuk diantaranya istilah Transformasi Digital. Istilah transformasi Digital di dunia perpustakaan juga sering kita dengar, bahkan terkadang dijadikan sebagai tema seminar di bidang perpustakaan.
Pengertian Transformasi
Istilah transformasi yang paling populer dan mudah difahami yaitu pengertian transformasi yang disampaikan oleh Anthony Antoniades di tahun 1990. Menurutnya, dimaksud dengan Transformasi merupakan sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate. Perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan.
Arti Digital
Yang dimaksud dengan Digital yaitu suatu bentuk modernisasi ataupun pembaharuan dari penggunaan teknologi yang mana sering dihubungkan dengan hadirnya internet dan teknologi komputer.
Transformasi Digital
Dari dua kata tersebut bisa disimpulkan bahwa maksud dari Transformasi digital yaitu penggunaan teknologi untuk mentransformasi proses analog menjadi digital.
Kita telah mengalami digitalisasi di semua bidang dalam hidup kita mulai dari jam tangan cerdas sampai asisten rumah tangga berkemampuan kecerdasan buatan. Transformasi digital lebih merujuk pada cara teknologi merevolusionerkan bisnis dengan berbagai bidang teknologi yang baru.
Beberapa contoh diantaranya seperti pembelajaran mesin, data besar, dan internet untuk segala hal. Anda mungkin tidak harus mengkhawatirkan tentang topik-topik berat ini saat ini, namun pastinya Anda harus menerapkan strategi transformasi digital.
Dengan demikian, pengertian Transformasi Digital secara umum memang lebih sering dikaitkan dengan dunia bisnis atau pengembangan yang bersifat umum. Sedangkan kalau difahami dan dikaitkan dengan Transformasi Digital Perpustakaan, tentunya yang dimaksudkan adalah semua bentuk transformasi digital yang dihubungkan, dikaitkan, dan berpengaruh pada bidang ilmu perpustakaan.
Dampak Transformasi Digital untuk Perpustakaan
Ketika datang fenomena baru, sudah bisa dipastikan akan memberikan dua sisi dampak, yaitu antara dampak positif dan dampak negatif. Sayangnya, terkadang khusus di bidang perpustakaan, akan sulit memisahkan dampak positif dan negatif dari adanya transformasi digital.
Contoh misalnya, yang paling sering kita dengar saat adanya era digital, maka dampak negatif yang sering dibicarakan. Biasanya pada pengaruh “minat baca” masyarakat terhadap “minat baca” masyarakat yang semakin menurun.
Mendengar pernyataan tersebut diatas, terkesan bahwa pernyataan tersebut benar. Hal tersebut karena diasumsikan gara-gara adanya internet, gadget, dan smartphone, maka masyarakat jadi malas baca buku.
Namun kalau kita teliti dan kupas lebih dalam, memang benar dengan adanya media gadget dan smartphone, banyak masyarakat malas baca buku.
Padahal disisi yang lain, jika mencari ilmu tidak hanya dari buku, maka minat belajar masyarakat dan cara masyarakat mencari ilmu terus meningkat. Namun, media atau alat yang digunakan masyarakat untuk bisa mendapatkan ilmu tidak hanya melalui buku saja tapi lebih banyak menggunakan media digital bernama internet.
Alat untuk bisa menikmati akses internet saat ini yang paling popular yaitu Smartphone, gadget, tablet, laptop, dan sejenisnya. Sedangkan tool atau alat yang paling popular untuk dijadikan media belajar yaitu bernama “Search Engine” seperti Google, bing, dan sejenisnya.
Data Digital
Silahkan anda cek di Google dengen kata kunci “Belajar”, maka ada 181 juta pencarian. Bahkan anda juga bisa cek di Google dengen kata kunci “Belajar Membaca”, ada 108 juta pencarian. Anda juga bisa searching dengan kata kunci yang lain, misalnya belajar komputer, belajar bahasa asing, belajar membuat website, belajar budidaya ikan lele, belajar mendapatkan jutaan ribuan dollar dari internet, dan lain-lain yang semuanya bisa dipastikan jumlah pencarianya mencapai jutaan.
Dari DATA tersebut membuktikan sebenarnya minat baca belajar masyarakat tetaplah tinggi dan terus meningkat. Hanya saja selama ini media belajar masyarakat yang membaca melalui media digital seperti Google, YouTube, dan sejenisnya tidak pernah didata oleh para pustakawan. Selama ini pustakawan hanya punya data berdasarkan pengunjung di perpustakaan mereka saja.
Tidak Adil
Pustakawan selama ini hanya sibuk mengandalkan data berdasarkan minimnya jumlah masyarakat yang datang ke perpustakaan. Minimnya jumlah masyarakat yang pinjam buku di perpustakaan, yang menurut saya “tidak adil” untuk era secanggih sekarang. Sehingga menurut saya, ketika data tersebut dijadikan acuan untuk menvonis “Minat Baca Masyarakat Rendah”, itu sungguh sangat tidak adil.
Mungkin Data tersebut akan akurat jika digunakan saat internet belum ada. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu alat untuk bisa seseorang mendapatkan ilmu paling akurat yaitu melalui alat bernama buku. Namun setelah era internet datang, dimana orang bisa belajar apapun dengan cepat melalui internet, maka buku memang mulai ditinggalkan.
Pembuktian
Mari kita uji kebenaran pernyataan saya diatas dengan cara membuat simulasi dua peristiwa berikut.
Ada dua siswa SMA yang sama-sama ingin belajar “cara merakit komputer dengan cepat”, tapi dengan dua cara yang berbeda.
Siswa A harus pergi ke Perpustakaan yang jarak dari rumahnya misalnya lebih dari 3 KM. Siswa A ini harus datang langsung dengan pakaian rapi dan sopan ke perpustakaan. Dia juga Wajib daftar jadi anggota perpustakaan jika ingin pinjam buku di perpustakaan. Setelah itu, siswa ini harus cari di katalog buku tentang cara merakit komputer. Setelah dicek di katalog buku tersebut ditemukan ada di Rak Buku dengan nomor panggil sekian (itupun kalau perpustakaanya punya koleksi buku yang dimaksud).
Setelah menemukan buku yang diinginkan, siswa A kemudian membaca lembar demi lembar buku tersebut. Siswa yang ini lalu mempraktekan ilmu yang dia baca dari buku tersebut, dengan harapan bisa merakit komputer dari nol hingga bisa menjadi komputer yang bisa digunakan.
Disisi yang lain ada Siswa B yang sama-sama ingin bisa merakit komputer, tapi dengan cara yang berbeda. Siswa tersebut langsung buka di YouTube dengan kata kunci “Cara Mudah dan Cepat Merakit Komputer”. Siswa B tak perlu keluar rumah, hanya pakai kolor sambil rebahan, sambil ngopi, tapi tetap bisa dapatkan ilmu Cara merakit komputer.
Data sepihak
Usai baca ulasan diatas, rata-rata siswa atau orang pada umumnya, akan melakukan seperti siswa A atau siswa B? Saya pikir anda akan menjawab dan mengikuti cara si siswa B kan?
Cerita kedua siswa tersebut, siswa A datanya bisa digunakan untuk keperluan data jika minat baca siswa A baik. Hal tersebut karena dia masih mau datang ke perpustakaan dan baca buku.
Sedangkan siswa B, datanya tidak pernah tercatat oleh pustakawan. Akibatnya siswa ini akan dianggap sebagai siswa yang minat bacanya rendah karena tidak baca buku dan datang ke perpustakaan.
Disinilah menurut saya penggunaan data untuk menentukan minat baca rendah atau tinggi kurang adil. Agar adil, seharusnya dibandingkan dengan data-data digital seperti saya ulas diatas.
Penutup
Kami khawatir, memang minat baca melalui media buku yang memang menurun (rendah). Namun disisi yang lain, media atau alat baca masyarakat yang saat ini beralih ke internet melalui gadget dan smartphone setiap detik terus meningkat.
Menurut saya disinilah pentingnya para pustakawan dan pegiat literasi lebih giat lagi belajar untuk meningkatkan SDM para pustakawan. Bagaimana supaya di bidang Dunia Perpustakaan ini, khususnya dalam transformasi digital lebih giat ditingkatkan.
Harapan saya pustakawan dan pihak-pihak terkait yang punya wewenang dalam pengembangan perpustakaan di era digital semakin lebih baik lagi dalam mengelola perpustakaan. Termasuk khususnya dalam transformasi digital di era seperti sekarang ini, sehingga mampu mengambil data digital juga.
Sudah bukan saatnya lagi para pustakawan hanya sibuk menyalahkan minat baca (buku) masyarakat rendah. Apalagi hanya mengandalkan dari satu sumber data dan mengabaikan data yang lain.