Perihal Membaca dan Kegemaran akan Buku.
Dunia Perpustakaan | Sebagai bangsa, Indonesia sesungguhnya tak hanya memunggungi laut dan maritim tapi juga menafikan buku dan budaya membaca.
Ada banyak sekali alasan mengapa membaca itu penting. Mulai dari meningkatkan dan merawat mutu ingatan, mengurangi stres, memperkaya perbendaharaan kata, menambah pengetahuan, hingga mengembangkan kemampuan menulis.
Karena itu membaca menjadi keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang. Seseorang yang punya kemampuan membaca dengan sendirinya memiliki perkakas sangat penting untuk bertahan hidup.
Indonesia sebenarnya telah relatif berhasil memberantas tuna aksara. Tingkat tuna aksara di Indonesia sudah menyusut drastis hingga tersisa sekitar 5-6 persen saja. Dari 140 negara, Indonesia ada di peringkat ke-3 sebagai negara yang paling berhasil menurunkan angka tuna-huruf.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2004 angka tuna-aksara di Indonesia mencapai 15,4 juta penduduk, namun pada pada 2012 angkanya hanya tersisa 6,4 juta saja.
Kendati demikian, meningkatnya angka melek huruf itu tidak serta merta meningkatkan kegemaran baca. Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.
Peringkat ini sepertinya tak meleset. Survey “Most Literate Nations in the World,” yang diterbitkan oleh Central Connecticut State University awal tahun ini juga menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara terkait budaya literasi dan dukungan sistem yang mendorong kegemaran membaca.
Ketika semua negara mewajibkan siswa SMA membaca sejumlah buku sastra, Indonesia tak merasa perlu. Dengan pengecualian sejumlah kecil sekolah elite swasta, siswa Indonesia kebanyakan tak wajib membaca buku sastra. Penyair Taufik Ismail menyebut kondisi ini sebagai “Tragedi Nol Buku.”
Pramoedya Ananta Toer menuliskan sepucuk kalimat dalam roman Bumi Manusia, salah satu karya paling indah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, “Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.”
Dari sana tampak jelas betapa kemampuan membaca alias melek huruf adalah satu hal, dan gemar membaca adalah hal yang lain. Padahal, seperti diungkapkan penyair dan esais Goenawan Mohamad, “jika kemampuan membaca adalah rahmat, maka kegemaran membaca adalah kebahagiaan.”
Tentu saja ini menyedihkan. Saya percaya bangsa besar dengan sendirinya punya tradisi literasi yang kuat. Setiap bangsa besar niscaya ditopang oleh penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan itu berarti, menghargai dan mencintai literasi.
Tanpa tradisi literasi yang kokoh, sebuah bangsa rentan menjadi bangsa kelas teri: perundung, pemaki, dan mudah diprovokasi tanpa keluasan hati dan imajinasi.
Lalu bagaimana solusinya? Sudah banyak formula yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan rendahnya minat baca ini. Namun, izinkan saya mengisahkan pengalaman sendiri yang mungkin relevan dalam diskusi meningkatkan minat membaca ini.
Saya beruntung menemukan sahabat dalam bentuk buku sejak usia dini. Saya dituntun mencintai buku oleh keluarga. Saya melihat bagaimana ayah saya mencintai buku. Sejak kecil dibacakan buku. Ia yang pertama mengajak saya ke toko buku.
Saking cintanya pada buku, dulu saya punya perpustakaan kecil di rumah dan membuka penyewaan buku dengan harga Rp25 per buku. Rumah kami dari dulu dipenuhi buku. Mengenal dunia pun awalnya lewat buku dan dari sanalah saya mencari jawaban atas beragam pertanyaan yang muncul di kepala.
Dari pengalaman ini saya percaya bahwa rumah dan keluarga adalah tempat paling tepat yang bisa menuntun kita mencintai buku. Dan ada satu rahasia: hanya butuh satu buku untuk dapat jatuh cinta membaca. Saya meyakininya sepenuh hati.
Situasi sekarang memang lebih menantang ketimbang pada zaman saya kecil. Sekarang, apalagi pada era digital, masa anak-anak dimanjakan dengan beragam gadget. Menghabiskan waktu bermain game Minecraft lebih menyenangkan daripada membaca novel Harry Potter. SpongeBob SquarePants lebih memikat daripada buku serial Diary of a Wimpy Kid, apalagi dibandingkan buku-buku sastra.
Membuat masyarakat Indonesia jatuh hati pada membaca adalah bagian dari tugas saya sebagai Duta Baca; menjadi mak comblang bagi mereka yang belum menemukan cintanya pada buku. Tugas berat, namun bukan mustahil untuk dicapai.
Saya bersedia memanggul tugas berat itu karena percaya pada ungkapan “buku adalah sebaik-baiknya sahabat”. Ia menemani kita saat sadar dan tidur. Ke manapun kita pergi ia bersedia mengikuti. Dengan caranya sendiri, buku bisa menasihati kita.
Saat kita bersedih, buku mampu membuat kita tertawa. Lantas menangis ketika buku menyentuh perasaan yang paling dalam. Jika kita memintanya diam, ia akan patuh. Sebaliknya jika kita mencercanya, ia tak akan balik mengecam. Buku tak besar kepala. Jika kita memujinya ia sedikitpun tidak akan terpengaruh. Tidak ada teman yang lebih pandai dan lebih setia daripada buku.
Najwa Shihab – Duta Baca Indonesia 2016-2020 [sumber: metrotvnews.com]