Larangan Guru Jualan Buku

Reaksi Guru Terkait Larangan Guru Jualan Buku


Dunia Perpustakaan | Larangan Guru Jualan Buku | Di tengah semangat membenahi dunia pendidikan, larangan guru menjual buku pelajaran kepada siswa sebenarnya bukan hal baru. Aturannya jelas, pesan moralnya pun terang: guru tidak boleh mencari keuntungan dari muridnya sendiri.

Namun di lapangan, implementasi aturan ini menghadirkan beragam respon. Dari diam-diam patuh hingga terang-terangan mencari celah. Menarik jika kita membaginya ke dalam beberapa karakter guru dalam menyikapi larangan ini—agar kita bisa belajar, merenung, dan memperbaiki.

Guru yang Taat dan Teguh Prinsip

Pak Guru A adalah tipe guru yang benar-benar menjaga integritas. Meski tahu gajinya pas-pasan dan banyak tawaran dari penerbit, ia tak pernah tergoda untuk menjual buku kepada murid.

Ia berkata:

“Tugas saya mendidik, bukan berdagang. Kalau saya ingin tambahan penghasilan, saya cari di luar, bukan dari siswa saya.”

Ia lebih memilih membuat bahan ajar sendiri, dibagikan gratis dalam bentuk fotokopi atau file PDF. Tidak mewah, tapi fungsional. Dan hasilnya? Murid-muridnya tetap belajar dengan semangat.

Apresiasi: Inilah guru sejati. Sosok seperti Pak Guru A layak dihormati dan dijadikan teladan. Pendidikan butuh lebih banyak guru seperti ini.

Bu Guru yang Bingung, tapi Tak Berani Melanggar

Bu Guru B adalah guru honorer. Gajinya kecil, dan kadang merasa tergoda ketika melihat guru lain menjual buku dan mendapat “tambahan” tanpa ditegur siapa pun. Tapi ia tetap menahan diri.

“Saya tahu itu salah. Saya butuh uang, tapi saya juga takut merusak kepercayaan anak-anak saya.”

Bu Nisa mencari cara lain: membuka les tambahan sepulang sekolah, menjual makanan ringan di koperasi guru, atau membuat video pembelajaran dan membuka donasi sukarela. Dia masih berjuang, tapi dia tidak melanggar.

Apresiasi: Bagi guru seperti Bu Nisa, keteguhan moral di tengah tekanan hidup adalah bentuk perjuangan yang patut dihargai.

Guru Nekat, Banyak Akal

Pak Guru C tahu larangan menjual buku, tapi dia merasa itu bisa disiasati. Maka dia tidak menjual langsung, melainkan mengatur agar ada wali murid yang mengoordinir pembelian.

Kalimat andalannya:

“Buku ini hanya pendamping. Yang mau beli silakan, yang nggak juga nggak apa-apa…”

Tapi faktanya? Anak yang tidak beli buku diperlakukan berbeda. Mulai dari tidak mendapatkan perhatian, sering dimarahi tanpa alasan yang jelas, dianggap malas, hingga dipandang sinis dan sebelah mata.

Pak Guru C mungkin berpikir itu “cara aman”, tapi yang terjadi justru mencederai kepercayaan murid dan merusak nilai moral profesinya sendiri.

Peringatan: Untuk guru seperti Pak Guru C, penting diingat: wibawa guru dibangun dari keteladanan, bukan kelicikan. Sekecil apa pun keuntungan, jika diraih dari cara tersembunyi dan membebani murid, itu adalah pelanggaran etika.

Guru Senior yang Pura-pura Tak Tahu

Pak Guru D sudah puluhan tahun mengajar. Ia tahu aturan melarang guru menjual buku, tapi memilih diam ketika guru lain melakukannya.

“Selama orang tua nggak keberatan, ya biarkan saja…”

Pak Guru D bukan pelaku, tapi juga bukan penegak. Ia lebih memilih netral. Tapi di dunia pendidikan, diam kadang berarti membiarkan yang salah terus terjadi.

Refleksi: Ketika guru senior tak memberi teladan, maka murid—dan guru muda—tak punya arah. Diam bukan netral. Diam bisa menjadi pembenaran atas pelanggaran yang semakin masif.

Di Mana Kepala Sekolah?

Semua karakter di atas akan terus ada jika kepala sekolah tak tegas. Banyak kepala sekolah tidak membuat aturan internal yang jelas, membiarkan celah abu-abu tetap terbuka.

Jika kepala sekolah diam, guru merasa bebas mencari cara. Maka yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang berani:

Tegaskan larangan jual buku, baik langsung maupun terselubung

Dorong guru membuat bahan ajar mandiri atau memanfaatkan sumber digital

Buat sistem pelaporan yang aman bagi orang tua atau siswa yang merasa terbebani

Pendidikan Butuh Guru Jujur, Bukan Guru Pandai Bersiasat

Kita tahu kesejahteraan guru belum ideal. Tapi jawabannya bukan menjual buku secara sembunyi-sembunyi kepada siswa. Pendidikan akan kehilangan rohnya ketika guru yang seharusnya menjadi panutan, justru ikut merusak sistem secara diam-diam.

Jika Anda seorang guru, pertanyaannya sederhana:

Ingin dihormati karena teladan, atau karena kekuasaan di kelas yang digunakan untuk menekan?

Karena pada akhirnya, yang kita wariskan kepada murid bukan hanya ilmu, tapi juga integritas. Dan itu tak ternilai oleh harga sebuah buku. Dari banyaknya reaksi guru terkait dengan adanya Larangan Guru Jualan Buku, kita bisa tahu dan faham karakter guru yang sebenarnya.


profil penulis: Dunia Perpustakaan

duniaperpustakaan.com merupakan portal seputar bidang dunia perpustakaan yang merupakan bagian dari CV Dunia Perpustakaan GROUP. Membahas informasi seputar dunia perpustakaan, mulai dari berita seputar perpustakaan, lowongan kerja untuk pustakawan, artikel, makalah, jurnal, yang terkait bidang perpustakaan, literasi, arsip, dan sejenisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *