Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional 2025: Jadilah Santri yang Suka Baca Al-Qur’an dan Baca Buku


Dunia PerpustakaanSetiap tanggal 22 Oktober, bangsa ini memperingati Hari Santri Nasional. Tapi menurut saya, peringatan itu sering kali hanya berhenti di acara seremonial — pawai sarung, doa bersama, dan pidato yang mengulang kisah heroik masa lalu. Jarang sekali kita melihat refleksi mendalam tentang masa depan santri di tengah derasnya arus perubahan zaman.

Tahun ini, saya sengaja ingin mengusung tema “Jadilah Santri yang Suka Baca Al-Qur’an dan Baca Buku.”
Tema ini lahir dari keresahan pribadi saya melihat kecenderungan sebagian santri hari ini yang masih belum menyeimbangkan antara bacaan wahyu dan bacaan ilmu.

Banyak yang tekun membaca Al-Qur’an, tapi jarang membaca buku-buku pengetahuan umum.
Sebaliknya, ada pula yang gemar membaca buku, tapi mulai renggang dari Al-Qur’an.

Menurut saya, inilah akar dari ketimpangan besar antara iman dan ilmu, antara spiritualitas dan rasionalitas, yang perlahan mengikis kekuatan umat Islam.

Mungkin sebagian besar anda akan berpendapat, jangan tuntut santri kuasai semuanya, kemampuan orang ada batasnya. Seandainya cara berfikir anda langsung seperti itu, maka sebaiknya anda berhenti membaca tulisan ini sampai disini. Tapi jika anda berfikir menginginkan kejayaan Islam di masa lampau, maka santri hari ini harus belajar dan mengikuti cara umat Islam dahulu mencapai puncak kejayaanya.

Untuk meraih sukses yang besar, memang harus dilakukan perjuangan dan usaha yang lebih besar pula.


Refleksi dari Kejayaan Islam dan Semangat Literasi yang Hilang

Generasi muslim terdahulu, menurut saya, benar-benar menggambarkan sosok umat Islam yang sesungguhnya. Mereka bukan hanya umat yang rajin membaca Al-Qur’an, tapi juga generasi yang sangat mencintai membaca dan menulis.

Saya sering membayangkan, bagaimana luar biasanya kehidupan ilmiah pada masa Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi. Generasi Mereka bukan hanya hafal ayat, tapi juga menulis ratusan buku di berbagai bidang. Mereka mengajar di masjid, meneliti di perpustakaan, dan berdiskusi lintas ilmu tanpa rasa takut dianggap keluar dari jalur agama.

Mereka adalah contoh santri sejati — pencinta Al-Qur’an sekaligus pencinta ilmu.

Hari Santri Nasional - Ilmuwan Muslim
Saat zaman serba keterbatasan alat dan belum ada teknologi, Ilmuwan muslim mampu menciptakan banyak temuan dan sains. Kini, di era teknologi semakin canggih, tak terdengar tokoh muslim di bidang sains yang mendunia?

Itulah yang membuat Islam di masa lalu begitu disegani dan dikagumi dunia.

Banyak bangsa non-Islam saat itu iri dan berbondong-bondong datang untuk belajar dari dunia Islam.
Padahal, ketika itu teknologi belum secanggih sekarang — tak ada mesin cetak, tak ada komputer, tak ada internet. Namun Islam mampu membangun peradaban besar dari tanah Arab yang tandus dan gersang, hingga memancar ke Eropa, Afrika, bahkan Asia.

Kini, ironinya, di zaman teknologi yang begitu maju dan serba mudah ini, Islam justru seolah terkubur dan tersungkur kemajuannya. Menurut pendapat saya, penyebab utamanya sederhana: banyak umat Islam meninggalkan literasi dan ilmu itu sendiri.

Islam hari ini lebih dikenal dengan kegiatan membaca dan menghafal Al-Qur’an. Di televisi dan berbagai media, banyak acara lomba hafalan, tilawah, dan musabaqah. Semua itu baik, saya akui, dan saya pun bangga melihatnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan Islam yang saya baca dan pelajari dari sejarah kejayaannya.


Belajar dari Para Ulama: Ketika Al-Qur’an dan Ilmu Saling Menyatu

Saya sering membayangkan, bagaimana luar biasanya kehidupan ilmiah pada masa Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi.

Mereka bukan hanya hafal ayat, tapi juga menulis ratusan buku di berbagai bidang. Mereka mengajar di masjid, meneliti di perpustakaan, dan berdiskusi lintas ilmu tanpa rasa takut dianggap keluar dari jalur agama.

Masjid saat itu bukan hanya tempat shalat, tapi juga pusat literasi dan diskusi. Tempat di mana ayat-ayat dibaca, buku-buku dibedah, dan ide-ide lahir. Menurut saya, di situlah letak rahasia kejayaan Islam — ketika akhlak dan sains tumbuh bersama, saling menguatkan.


Santri dan Ketimpangan Literasi Zaman Sekarang

Sayangnya, keadaan santri hari ini jauh berbeda. Banyak pesantren yang masih kuat dalam kajian kitab, tapi lemah dalam literasi umum. Perpustakaan di pesantren sering kali hanya menjadi simbol, bukan pusat pengetahuan. Masjid jarang dijadikan tempat berdiskusi, apalagi untuk bedah buku.

Menurut saya, ini adalah tantangan besar. Santri yang hanya membaca Al-Qur’an akan saleh tapi bisa tertinggal. Santri yang hanya membaca buku akan cerdas tapi bisa kehilangan arah. Menurut saya, Santri sejati adalah mereka yang membaca keduanya — dengan hati dan akal.


Saatnya Pesantren Kembali Menjadi Pusat Ilmu dan Peradaban

Saya percaya, sudah saatnya pesantren dan masjid kembali pada peran aslinya: menjadi pusat ilmu dan peradaban. Pesantren harus mendorong santri untuk tidak takut membaca buku sains, sejarah, atau filsafat.
Masjid harus kembali menjadi ruang terbuka untuk diskusi dan literasi.

Saya membayangkan suatu hari nanti, santri bisa membaca tafsir Al-Ghazali di pagi hari, mempelajari fisika di siang hari, menulis esai di sore hari, dan berdiskusi di masjid pada malam hari.
Sebuah keseimbangan indah antara iman dan pengetahuan.


Penutup: Kembalilah pada Semangat Iqra’ yang Sebenarnya

Menurut saya, peringatan Hari Santri Nasional 2025 ini seharusnya menjadi titik balik.
Sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat Iqra’ yang sesungguhnya — bukan sekadar membaca huruf, tapi membaca semesta.

Islam tidak akan berjaya lagi hanya dengan hafalan, tapi dengan penghayatan dan pembacaan yang luas.

Jadilah santri yang membaca Al-Qur’an untuk menuntun hati, dan membaca buku untuk menuntun masa depan.

Karena menurut saya, hanya dengan itulah kita bisa mengulang kejayaan Islam — masa ketika iman dan ilmu bersatu, melahirkan peradaban yang mencerdaskan dan memuliakan manusia.


profil penulis: Ari Suseno

Founder CV. Dunia Perpustakaan Group. Pernah mengenyam pendidikan Jurusan Ilmu Perpustakaan (S1) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. #ContentCreator, #Affiliate, #Blogger, #PegiatLiterasi, #SocialActivist Konsultasi dan Sharing Follow Us

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *