Dunia Perpustakaan | Di hari jum’at ini sangat cocok untuk yang muslim jika ingin merenung. Salah satu bahan renungan yang perlu kami tekankan adalah terkait betapa pentingnya budaya membaca jika umat muslim ingin kembali meraih masa keemasanya.
Jangan pernah lupakan Sejarah!
Pernyataan diatas sangat cocok untuk mengawali renungan kali ini. Sebagai bahan bacaan untuk mengawali renungan kali ini, ada baiknya anda membaca tulisan sebelumnya berjudul “Kemunduran Umat Islam Karena Umatnya Malas Membaca!”.
Jika anda sudah membaca tulisan tersebut diatas, mari kita lanjutkan uraian dari ulasan republika.co.id pada 2 tulisan berjudul “Menjamurnya Perpustakaan di Masa Kejayaan Islam” dan juga “Ketika Dinasti-Dinasti Islam Membangun Perpustakaan”.
Dari kedua tulisan tersebut, akan kami kupas disini dengan sedikit berbeda namun tanpa mengubah pesan di dalamnya.
Kejayaan Islam Ditopang Perpustakaan
Jika kita membaca sejarah kejayaan serta puncak keemasan, maka hal yang tidak boleh dan tidak bisa ditinggalkan adalah, adanya peran perpustakaan, serta banyaknya ilmuwan muslim yang suka menulis.
Bahkan seorang Prof Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2009) sampai-sampai berpendapat, tidak ada yang satu masyarakat pun di atas kaum Muslimin dalam hal kecintaan terhadap buku dan perhatian terhadap perpustakaan.
Hal itu membuktikan, betapa umat islam saat itu merupakan umat yang paling suka membaca dan menulis, singkatnya sangat mencintai ilmu pengetahuan [secara umum], tidak hanya ilmu agama saja.
Lebih lanjut, Prof Raghib as-Sirjani mengatakan bahwa, dunia literasi yang ada pada zaman modern sekarang ini merupakan hasil perkembangan yang telah lebih dahulu dirintis oleh umat Islam sebelumnya.
Hal ini bisa dibuktikan bahwa para sultan Muslim di masa lalu sudah lebih dahulu menghadirkan pelbagai macam perpustakaan di Asia, Eropa, dan Afrika, yang pada akhirnya menginspirasi bangsa-bangsa non-Muslim.
Saat kejayaan umat Islam, hampir di penjuru kerajaan dan pusat pemerintahan hingga ke masjid-masjid, semua berlomba-lomba membangun perpustakaan, serta menggerakan umatnya untuk suka membaca dan menulis.
Saat itu, pusat ilmu pengetahuan tak hanya disandang Baghdad saja, melainkan hampir semua dinasti-dinasti Islam lainnya berlomba-lomba membangun perpustakaan guna menjadi yang terbaik.
Darul `Ilmi, Universitas al-Azhar, yang dipelopori Dinasti Fatimiyyah di Kairo, Mesir, misalnya. Sejak awal, para sultan Fatimiyyah hendak meletakkannya dalam konteks persaingan dengan Dinasti Abbasiyah. Bila Baghdad mampu menjadi permata peradaban umat manusia, mengapa Kairo tidak?
Kunci kemenangan fastabiqul khairatini terletak pada peningkatan mutu perpustakaan. Maka, berdirilah Masjid al-Azhar pada 971 sebagai pusat aktivitas keagamaan dan keilmuan.
Mercusuar lainnya adalah perpustakaan warisan Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol). Perintisnya adalah raja kedua wangsa tersebut di Andalusia, Sultan al-Hakam II. Dia memang terkenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan.
Sebuah sumber menyebutkan, koleksi pribadinya mencapai lebih dari 600 ribu buku. Sosok yang memimpin dalam periode 961-976 ini lantas membangun perpustakaan besar di Kordoba dengan meniru model Bayt al-Hikmah Baghdad.
Saat itu koleksinya melampaui jumlah 400 ribu buku. Letaknya termasuk dalam kompleks istana, tetapi segera menjadi pusat berkumpulnya para ilmuwan dari penjuru dunia, terutama atas undangan Sultan al-Hakam II sendiri.
Kecintaannya terhadap literasi dibuktikan dengan upayanya membeli begitu banyak buku dari Baghdad, Kuffah, Basrah, Damaskus, Konstantinopel (kini Istanbul), Kairo, Mekah, dan Madinah. Lantaran meniru cara Bayt al-Hikmah Baghdad, Sultan al- Hakam juga menggiatkan aktivitas penerjemahan teks-teks dari bahasa Latin dan Yunani ke bahasa Arab.Untuk memuluskan proyek penerjemahan ini, dia membentuk tim yang terdiri atas ilmuwan Muslim dan Katolik. Bahkan, dia sendiri ikut menulis sebuah historiografi tentang Andalusia.
Membuat Jenis-jenis Perpustakaan
Jika saat ini anda tahu adanya berbagai jenis perpustakaan, maka anda harus ingat bahwa di masa keemasan Islam, perpustakaan juga sudah dibuat pengelompokan.
As-Sirjani membuat klasifikasi tentang perpustakaan dalam konteks peradaban Islam sebagai berikut;
Perpustakaan Akademi
Sepemahamannya, jenis inilah yang paling masyhur. Contohnya adalah Baytul Hikmah di Baghdad.
Sifat akademis tampak dari fungsi perpustakaan ini yang tidak sekadar mengoleksi beragam buku-buku atau artefak-artefak berharga, tetapi juga pusat studi dan aktivitas penerjemahan yang dilakukan para sarjana dari beragam bangsa, baik Muslim maupun non-Muslim.
Perpustakaan akademi dapat dianggap sebagai bukti keberpihakan penguasa Muslim setempat terhadap dunia literasi.
Perpustakaan Khusus
Jenis ini lebih bersifat swasta, alih-alih publik. As- Sir jani menjelaskan, di era kejayaan Islam, banyak ilmuwan Muslim yang memiliki perpustakaan dengan koleksi yang berlimpah.
Tidak sedikit pula tokoh-tokoh Muslim yang meyakini derajat sosialnya terangkat bilamana mendirikan perpustakaan besar. Di antara mereka adalah Khalifah al-Muntashir dari Dinasti Abbasiyah, al-Fatah bin Khaqan, Ibnu al-Amid, dan Abu Matraf.
Meskipun hanya berkuasa enam bulan lamanya, Khalifah al-Muntashir merupakan pemimpin populer di tengah rakyat.
Dukungannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu besar, termasuk dengan mendirikan perpustakaan.
Selanjutnya, Ibnu Khaqan dikenal sebagai politikus ulung dan juga pencinta ilmu pengetahuan. Mantan gubernur Mesir dan Suriah pada zaman Abbasiyah itu memiliki perpustakaan megah di pusat kota Samarra (Irak).
Sementara itu, Ibnu al-Amid merupakan pakar tata kota dari Persia. Sosok yang wafat pada 970 itu mendirikan perpustakaan besar di Ray yang pengelolanya antara lain adalah filsuf Ibnu Miskawaih. Adapun Abu Matraf mempunyai perpustakaan pribadi di Andalusia dengan banyak koleksi langka pada zamannya.
Perpustakaan Umum
Perpustakaan umum ini merupakan kebalikan dari jenis yang kedua.
Dengan sokongan pemerintah setempat, perpustakaan umum di zaman keemasan Islam berdiri untuk melayani masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam hal ini, umat Islam meletakkan dasar-dasar manajemen perpustakaan modern.
Sebagai contoh, Perpustakaan Kordoba yang berdiri sejak tahun 961 di Andalusia.As-Sirjani menuturkan, di sana negara mempekerjakan sejumlah pegawai sesuai spesialisasinya. Ada yang bertugas memelihara buku-buku, mengumpulkan naskah- naskah, atau menentukan kapasitas rak dan penggolongan genre. Dengan demikian, publik dapat mengakses semua koleksi yang terdapat di dalamnya dengan mudah.
Perpustakaan Sekolah
Keempat, perpustakaan sekolah. As-Sirjani menerangkan, di negeri-negeri Islam semua sekolah dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan. Sultan Nuruddin Mahmud dari Dinasti Zengid, misalnya, membangun 42 unit madrasah di Suriah. Setengah dari jumlah tersebut bahkan didanai dari uang nya sendiri.
Pembangunan madrasah-madrasah itu seiring dengan penguatan jaringan perpustakaan. Contoh lainnya adalah seorang menteri Sultan Shalahuddin, al-Fadilah. Di Kairo, Mesir, dia menyumbang 200 ribu buku untuk penyelenggaraan perpustakaan yang terintegrasi dengan madrasah.
Perpustakaan Masjid Universitas
Kelima, perpustakaan yang tumbuh dari masjid-universitas. Untuk diketahui, universitas pertama di dunia adalah Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang berdiri sejak tahun 859. Sejarah Al-Qarawiyyin bermula dari sebuah masjid dan perpustakaan yang didirikan Fatimah al-Fihri. Setelah menerima warisan dari ayahnya, seorang pedagang sukses, dia berinisiatif mengukuhkan masjid sebagai pusat kegiatan keilmuan masyarakat.
Perempuan ini pun mengundang para sarjana terkemuka dari penjuru negeri ke Fez untuk mengajar. Selanjutnya, perpustakaan Al-Qarawiyyin dilengkapinya dengan buku-buku koleksi pribadi. Belakangan, tiap sultan penguasa Fez terus menyokong warisan keluarga Al-Fihri itu sehingga tumbuh besar. Langkah-langkah yang ditempuh Al-Qarawiyyin belakangan ditiru pelbagai lembaga pendidikan Islam dan Eropa Kristen.
Kondisi Umat Islam saat ini
Inilah yang menurut kami sangat menyedihkan, saat membaca uraian diatas terkait dengan kejayaan islam, kita sangat bangga dan bahagia membacanya.
Namun saat kita melihat hari ini di sekitar kita, sungguh teramat sangat memprihatinkan.
Memprihatinkan karena begini,
Dahulu, umat islam belum kenal yang namanya teknologi mesin ketik dan kertas sebagus sekarang apalagi komputer, mereka hanya mengenal tinta dan kulit hewan, daun kurma, kain, tapi mereka begitu bersemangat menulis banyak buku.
Anda bisa membayangkan, orang dahulu saat buat buku yang sama, mereka harus tulis ulang berkali-kali sesuai dengan jumlah yang ingin mereka gandakan.
Sungguh jauh berbeda dengan sekarang, dimana orang mau nulis begitu mudah, bisa tulis di ekrtas, komputer, bahkan menulis dimanapun dari handphone juga mudah, yang selanjutnya juga sangat mudah dicopas dan dicetak ribuan kali juga mudah.
Namun anehnya, kita masih sulit menemukan tulisan-tulisan dari umat muslim yang mendunia. Memang ada, tapi jumlahnya tak sebanding dengan yang seharusnya.
Hal ini mungkin dikarenakan sesuai yang dikatakan orang Yahudi, bahwa umat islam saat ini memang MALAS MEMBACA. Bahkan saat sudah dihina oleh orang Yahudi sebagai orang yang malas membaca sekalipun, bukanya sadar dan koreksi, kita justru tetap adem ayem tak mau perbaiki diri.
Bahkan yang menyedihkan lagi jika kita melihat ada orang yang mengaku sebagai muslim, tapi justru lebih suka membuat tulisan HOAX, atau provokasi di sosial media. Sudah begitu, yang lainya juga tanpa mau teliti dan baca kebenaranya, sudah langsung main komentar dan share, yang akhirnya menimbulkan saling cela di sosial media.
Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan.
SOLUSI
Bicara solusi atas kondisi ini, maka tidak ada cara lain selain kita harus BERGERAK dengan tindakan nyata, supaya umat islam kembali suka membaca dan menulis sebagaimana saat kejayaan islam di masa lalu.
Tanamkan Kecintaan Membaca dari Keluarga
Langkah-langkahnya bisa dimulai dari menanamkan budaya baca dari keluarga kita tercinta. Sebelum orang tua menanamkan budaya baca kepada anak, maka orang tua harus memberikan contoh bahwa dirinya adalah teladan bagi anak bahwa orang tua juga suka membaca.
Jangan sampai menyuruh anak membaca buku, namun orang tuanya justru terlalu asyik main sosmed dan nonton TV saat di rumah.
Bangun Perpustakaan di Masjid dan Mushola
Jika saat kejayaan umat Islam ada perpustakaan di setiap masjid, bahkan mereka selalu berlomba-lomba untuk menjadikan perpustakaan masjid di tempat mereka adalah perpustakaan terbaik.
Jika di setiap masjid dan mushola sudah ada perpustakaan, maka buatlah kegiatan-kegiatan yang positif yang bisa bangkitkan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bentuk Komunitas Baca dan Tulis
Saat perpustakaan sudah ada di setiap masjid dan mushola, maka buatlah komunitas atau kelompok di masyarakat mulai dari komunitas baca hingga komunitas menulis.
Kegiatan dari komunitas tersebut juga harus dibuat semenarik mungkin, dan kalau bisa lakukan aktivitas yang lebih berbau aplikatif atau tindakan nyata sehingga manfaatnya bisa langsung terasa.
Misalnya saja membuat pelatihan menulis, membuat pelatihan yang terkait skill sehingga bisa diterapkan saat bekerja, pelatihan komputer, pelatihan bercocok tanam, les bahasa asing gratis, dan aktivitas yang bermanfaat lainya.
Mungkin masih banyak lagi solusi untuk memajukan kembali kejayaan islam, namun dari beberapa solusi diatas, jika bisa dilakukan dengan konsisten dan terus menerus, maka bukan tidak mungkin kejayaan islam bisa kembali diraih oleh umat islam.
Wallohu’alam