Dunia Perpustakaan | Refleksi Hari Pahlawan | Setiap tahun, tepatnya 10 November, bangsa ini memperingati Hari Pahlawan dengan upacara, pidato, dan tabur bunga. Namun, setiap kali peringatan itu datang, saya justru merasa hampa. Sebab, di balik simbol dan seremoni, semangat kepahlawanan justru makin jauh dari wajah bangsa kita hari ini.
“Jika negeri ini menghargai darah dan nyawa para pahlawan, hukum matilah para koruptor negeri ini di tengah perayaan hari pahlawan di setiap tahunya. Hal itu menjadi pengingat bahwa koruptor adalah penghianat bedebah bangsa yang mengkhianati pahlawan dan bangsanya”.
Saya membayangkan, jika Bung Tomo dan pahlawan yang sudah berjuang mati-matian demi NKRI mengorbankan jiwa dan darah mereka masih hidup, lalu melihat kebiadaban para koruptor, saya sangat yakin, koruptor akan menjadi musuh pertama bangsa dan negara. Hukuman mati saja sepertinya tak cukup untuk menghukum mereka yang berhianat pengorbanan darah dan nyawa para pejuang kita.
Para pahlawan dulu berjuang bukan untuk gaji atau fasilitas. Mereka tidak meminta tunjangan, tidak menuntut mobil dinas, dan tidak hidup di rumah mewah. Mereka bertempur dengan idealisme, ilmu, dan pengorbanan.
Soekarno dan Hatta misalnya, bukan hanya pejuang politik, tetapi juga pemikir dan pembaca buku sejati. Mereka menulis, berdiskusi, dan membangun konsep bangsa dengan kecerdasan. Mereka memahami bahwa kemerdekaan sejati lahir dari kesadaran dan akhlak, bukan dari kekuasaan. Sedangkan bedebah koruptor yang tak pernah berkorban dan berjuang untuk negeri ini, mereka justru beramai-ramai mengeruk habis-habisan uang rakyat melalui gaji dan tunjangan yang terus naik. Padahal kinerja mereka sangat mengecewakan!
(Baca juga: Mengenang Bung Karno, Sosok yang Gemar Membaca)
Ironi Setelah Merdeka
Sayangnya, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, banyak pejabat dan aparatur negara justru menodai makna kemerdekaan itu sendiri. Alih-alih mengabdi, mereka menumpuk fasilitas. Alih-alih bekerja keras, mereka sibuk memperjuangkan kenaikan gaji dan tunjangan. Padahal, uang yang mereka nikmati bersumber dari keringat rakyat melalui pajak.
Sementara itu, kinerja yang dihasilkan tidak sebanding dengan beban fiskal yang ditanggung rakyat.
Korupsi masih menjadi penyakit menahun birokrasi kita, dan ironi terbesar terlihat di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya 212 kasus korupsi di lingkungan BUMN sepanjang 2016–2023, dengan kerugian negara mencapai Rp 64 triliun (kompas.com).
Kompas mencatat, dalam dua dekade terakhir, 16 perkara besar korupsi BUMN menimbulkan kerugian sekitar Rp 83,3 triliun.
Belum lagi praktik rangkap jabatan pejabat tinggi di komisaris BUMN yang menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun.
Namun, yang menyakitkan adalah, di tengah semua kerugian itu, gaji direksi dan komisaris tetap tinggi.
Sebuah ironi yang mencerminkan betapa tidak rasional dan tidak bermoralnya pengelolaan aset negara.
Bagi saya, di titik inilah kebusukan itu tampak telanjang.
Betapa banyak pejabat yang berbicara soal menghormati jasa pahlawan, padahal perilaku mereka jauh dari semangat perjuangan. Mereka tampil rapi di depan kamera, bicara santun di forum publik, tapi di balik meja kekuasaan, mereka menindas rakyat secara halus melalui korupsi dan kebijakan yang tidak adil untuk rakyat.
Lebih Licik dari Penjajah
Penjajah dulu menindas rakyat secara terang-terangan. Kita tahu siapa musuhnya, sehingga rakyat mudah tahu dan jelas untuk melawan dan memeranginya. Tapi pejabat kita hari ini menindas dengan cara yang lebih licik: dengan senyum, dengan seremonial, dengan bahasa birokrasi yang halus, dan dengan kebijakan yang menyengsarakan. Itu sebabnya, saya menilai bahwa pengkhianatan terbesar terhadap jasa para pahlawan adalah ketika bangsa ini berhenti memiliki rasa malu.
Bangsa yang kehilangan rasa malu akan terbiasa dengan kebohongan, terbiasa dengan korupsi, dan terbiasa dengan kemunafikan moral. Sudah saatnya bangsa ini menjadikan Hari pahlawan sebagai Refleksi Hari Pahlawan yang tak hanya ceremoni tapi dalam perbuatan.
Solusi: Akhlak, Ilmu, dan Budaya Literasi
Meski demikian, bangsa ini masih punya harapan — asalkan kita mau belajar kembali dari para pendiri republik ini.
Soekarno dan Hatta mengajarkan bahwa ilmu dan akhlak adalah fondasi utama membangun bangsa.
Maka, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kembali moral dan akhlak generasi muda.
Sekolah, guru, dan lembaga pendidikan harus menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab, bukan hanya mengejar angka dan nilai ujian.
Kedua, kita harus memperkuat budaya literasi nasional.
Bangsa yang tidak membaca akan mudah diperdaya, dan bangsa yang tidak belajar akan mudah dijajah ulang, bukan oleh bangsa lain, tapi oleh kebodohannya sendiri.
Perpustakaan harus dihidupkan sebagai pusat pengetahuan, bukan sekadar formalitas. Buku harus menjadi bagian dari kehidupan, bukan pajangan di ruang tamu.
Dan yang ketiga, pemerintah harus membangun sistem meritokrasi yang menghargai integritas dan kompetensi, bukan koneksi politik. BUMN harus dikelola oleh orang yang ahli dan berjiwa nasionalis, bukan sekadar loyalis kekuasaan yang rakus memperkaya diri dan kelompoknya.
Meneladani Pahlawan dengan Tindakan, Bukan Pidato
Peringatan Hari Pahlawan seharusnya bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi refleksi moral nasional.
Sudah saatnya pejabat berhenti berakting sebagai “penghormatan pahlawan” di depan kamera, sementara di belakang layar mereka menggerogoti hasil perjuangan itu sendiri.
Menghormati jasa pahlawan berarti melanjutkan cita-cita mereka: membangun bangsa yang berilmu, beradab, dan berkeadilan. Karena bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang tidak hanya mengenang pahlawannya, tapi meneladani nilai-nilai perjuangannya.
Menurut saya, untuk memperbaiki kemerdekaan yang sejati, yakni kemerdekaan pikiran, kemerdekaan moral, kemerdekaan bangsa, kita perlu melakukan tiga hal besar yang berjalan bersama:
Mendidik Akhlak Generasi Bangsa
-
Sekolah harus menjadi tempat di mana moral dan karakter ditanam kuat: kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, integritas.
-
Para pejabat dan ASN perlu memberi contoh nyata, bukan hanya kata-kata di setiap gelaran upacara, tapi perilaku sehari-hari yang bisa diteladani masyarakatnya secara transparan dan akuntabel.
-
Budaya penghargaan tidak hanya kepada mereka yang “rajin”, tetapi mereka yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
-
Fokus pendidikan harus tidak hanya mempersiapkan lulusan mengejar nilai, tetapi membentuk intelektual yang berpikir kritis dan memiliki kecintaan terhadap ilmu.
-
Perpustakaan dan literasi harus diperkuat: membaca bukan hanya hobi, tapi bagian dari kewajiban kebangsaan. Karena, seperti para pendiri bangsa kita: mereka bukan hanya membaca buku, tapi juga menulis buku.
-
Dalam dunia BUMN/ASN, seleksi dan promosi harus berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan hanya koneksi atau jabatan politik.
Membangun Budaya Baca dan Ilmu sebagai Fondasi Kemerdekaan
-
Masyarakat harus didorong agar budaya baca tumbuh: perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, literasi digital harus makin diperkuat.
-
Pemerintah dan lembaga publik harus membuka data dan informasi secara transparan sehingga masyarakat dapat berpikir kritis dan turut mengawasi.
-
Pesan saya: jika generasi muda terbiasa membaca dan berpikir, maka mereka akan menuntut pejabat yang benar-benar tidak punya skill dan kemampuan menjadi pejabat negara. Semua kinerja pejabat negara dalam pengawasan rakyat karena dari rakyatlah para pejabat itu bisa makan enak.
Hari Pahlawan seharusnya bukan hanya momentum untuk mengenang, tetapi juga untuk bercermin. Tulisan ini mengajak untuk refleksi Hari Pahlawan tak hanya berhenti dalam perayaan upacara seremonial.
Para pahlawan telah menumpahkan darah dan air mata demi kemerdekaan yang kini dinikmati seluruh bangsa. Namun, kenyataannya, cita-cita mereka mulai dikotori oleh tangan-tangan kotor yang rakus, oleh perilaku pejabat yang menjadikan jabatan sebagai ladang keuntungan pribadi, bukan ladang pengabdian.
Bangsa ini tidak akan maju hanya dengan upacara tahunan dan slogan heroik. Ia hanya akan bangkit jika pejabatnya bekerja dengan hati yang jujur, ASN-nya bermental melayani, bukan dilayani, dan rakyatnya dididik untuk memiliki akhlak, integritas, serta kecerdasan moral.
Solusi jangka panjang bukan sekadar mengganti orang, tapi membangun sistem pendidikan karakter dan budaya baca yang kuat. Sebab, bangsa yang berilmu dan berakhlak tak akan mudah ditipu, tak akan rela dijajah kembali—baik oleh bangsa lain, maupun oleh bangsanya sendiri yang berwajah penjajah modern.
Maka di tengah gegap gempita peringatan Hari Pahlawan, mari kita bertanya dalam hati:
Apakah kita benar-benar mewarisi semangat juang mereka, atau hanya menodai pengorbanan mereka dengan perilaku culas dan kemalasan yang berseragam?
Dunia Perpustakaan Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan

