Pesantren Literasi untuk Anak Putus Sekolah.
Dunia Perpustakaan | Banyak cara bagi umat muslim untuk mengisi keberkahan bulan Ramadan. Di Gorontalo, penggiat minat baca membentuk Pesantren Literasi untuk anak putus sekolah. Anak putus sekolah di sana diajak membaca, bacaan islami.
Seperti itulah yang dilakoni penggiat Perpustakaan Taman Limboto yang mengajak sejumlah anak jalanan dan putus sekolah untuk mendapatkan pendidikan moral dari membaca beragam buku dengan kisah-kisah islami.
Penggagas Perpustakaan Taman Limboto Milastry Muzakar mengatakan, kegiatan Pesantren Literasi itu untuk memberikan pembelajaran baca tulis iqra kepada sejumlah anak-anak.
Di samping belajar membaca iqra, para anak didik binaan pesantren literasi Gorontalo ini juga diajak untuk menuliskan pesan moral islami dengan apa yang didapatkan selama mengikuti proses belajar di taman.
“Minat baca dapat dibentuk oleh budaya di suatu tempat. Budaya pun sebetulnya bisa dibentuk, kalau kita mau. Sayangnya perpustakaan sekolah sering terlupakan dalam perencanaan pendidikan di negara kita,” ujar Milastry Muzakar kepada Gorontalo Post (Jawa Pos Group) dilansir Kamis (16/6).
Milastry Muzakar berpendapat, minimnya minat baca membuat anak-anak di Indonesia khususnya di Gorontalo karena kurang mengapresiasi keberadaan sebuah perpustakaan.
Hal itu itu terjadi karena mereka sejak usia dini tidak pernah melihat dan berada dalam sebuah perpustakaan. Sehingga pemahaman mereka terhadap perpustakaan selalu hanya diidentikkan dengan buku-buku di rak.
Ketua Rumah Pintar Gorontalo Wawan Muhamad mengatakan, masalah utama yang ada di Indonsia sebetulnya bukanlah iliterasi (buta aksara). Kalau masalah itu jumlahnya semakin lama semakin mengecil.
Namun masalah masalah utama yang dihadapi anak-anak negeri ini mereka sudah bisa membaca tetapi tidak mau membaca. Dalam ilmu informasi, ketidakmauan untuk membaca disebut aliterasi. Masalah ini terjadi karena tidak adanya pendorong atau penggerak untuk membaca serta lingkungan yang memang tidak membaca pada saat orang sudah bisa membaca.
“Mengembangkan minat baca di usia dini lebih mudah dibandingkan dengan mengembangkan minat baca di usia dewasa atau bahkan usia senja. Kita ingat, dulu ada program yang dilaksanakan untuk membuat orang-orang tua bisa membaca,” ujarnya
Wawan menambahkan, membaca sangat erat dengan menulis. Menulis dan membaca harus merupakan suatu paket yang saling mendukung. Selain itu, media untuk menulis dan membaca sangat diperlukan.
“Saya berpikir bahwa mengembangkan minat baca justru dimulai pada usia dini. Saat anak berusia 2 tahunan, sudah harus dikenalkan dengan media tulis dan mendapatkan media untuk menulis,” ungkapnya.
Apabila tidak ada media, maka anak akan menulis dimana pun, seperti di tembok, di lemari, di pintu dan sebagainya. Media tulis dimaksudkan agar anak mengenal batas-batas dimana mereka diperbolehkan menulis. Pada usia dini tersebut, anak juga sudah harus dikenalkan dengan media seperti buku.