Dunia Perpustakaan | Tulisan berjudul “Revitalisasi Budaya Melalui Pemberdayaan Perpustakaan Nasional RI” ini merupakan tulisan akrya Ratri Astutiningtyas, yang sebelumnya sudah pernah dimuat di Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 8 No. 2 – Desember 2006.
Abstrak
Khasanah budaya berupa naskah kuno merupakan salah satu hasil pemikiran gemilang masyarakat Nusantara di masa lampau. Keterbatasan dalam upaya pelestarian warisan budaya tersebut menyebabkan kandungan nilai-nilai dan pandangan hidup yang memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa tergerus arus globalisasi.
Perpustakaan Nasional RI berpeluang mewujudkan upaya pelestarian warisan budaya bangsa yaitu dengan mendukung kegiatan penelitian, pengkajian,dan penyebarluasan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Upaya pelestarian nilai-nilai budaya lebih menjamin keberadaan warisan budaya hingga ribuan tahun yang akan datang.
LATAR BELAKANG
Hasil gemilang yang dicapai masyarakat Nusantara di masa lampau dalam menuangkan hasil pemikiran melalui tulisan telah dikenal luas oleh dunia internasional. Ide, gagasan, dan pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam serta hal-hal yang melingkupinya terekam dalam naskah-naskah kuno yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Naskah yang merupakan warisan budaya masa lalu tentu memuat catatan berharga di masa itu yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan masyarakat sekarang.
Penekanan pada masyarakat mengenai pentingnya menggali nilai-nilai luhur yang termuat di dalamnya akan menumbuhkan pemahaman bahwa kekayaan yang tak ternilai harganya tersebut merupakan khasanah kebudayaan bangsa yang harus dilestarikan.
Upaya pelestarian perlu dilakukan mengingat naskah-naskah peninggalan zaman dahulu banyak dijumpai dalam kondisi tidak utuh. Sebagai warisan budaya yang memiliki wujud konkret, naskah-naskah kuno sering dikategorikan sebagai warisan budaya benda (tangible) dan menuntut penanganan khusus karena mudah rusak. Sayangnya, upaya pelestarian warisan budaya masa lampau yang termasuk warisan budaya benda (tangible) banyak menghadapi kendala.
Hal yang sering diperdebatkan dalam penanganan naskah kuno adalah usaha pelestarian secara fisik yang berkaitan dengan penyimpanan atau pengawetan naskah. Padahal, pelestarian nilai-nilai budaya yang menjadi sumber sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial budaya justru lebih penting.
Terkait dengan hal itu, perpustakaan sebagai tempat untuk menyimpan dan menyebarkan ilmu pengetahuan memainkan peranan yang signifikan. Penyimpanan khasanah budaya bangsa atau masyarakat tempat perpustakaan berada serta peningkatan nilai serta apresiasi budaya dari masyarakat sekitar perpustakaan melalui penyediaan bahan bacaan merupakan fungsi kultural perpustakaan. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sulistyo-Basuki dalam Pengantar Ilmu Perpustakaan (1991) tersebut, perluasan fungsi kultural perpustakaan nantinya harus mengarah pada upaya pelestarian nilai-nilai kebudayaan.
Perpustakaan dari masa ke masa tak terlepas dari perkembangan budaya umat manusia. Budaya yang oleh Koentjaraningrat dirumuskan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar bersifat abstrak.
Bentuk tercetak dari hasil pemikiran orang-orang zaman dahulu yang sekarang dikenal sebagai warisan budaya materi (tangible) dalam bentuk naskah-naskah kuno memuat nilai budaya dan makna simbolis yang berarti bagi pengukuhan jati diri sebuah bangsa. Penyimpanan naskah-naskah kuno oleh perpustakaan memungkinkan budaya masa lalu mendapatkan tempat lagi dalam tatanan sosial budaya masyarakat yang baru. Peran perpustakaan sebagai wadah budaya yang menjadi rantai sejarah masa lalu dan pijakan yang berarti bagi masa depan tak dapat diabaikan.
Berangkat dari wacana untuk memperbaiki kondisi bangsa yang kini tengah dilanda krisis multidimensi, berbagai kalangan mengungkapkan perlunya upaya penggalian nilai-nilai budaya masa lalu. Kebutuhan akan identitas diri atau jati diri bagi sebuah bangsa di tengah maraknya globalisasi menggugah bangsa ini untuk memberdayakan nilai-nilai budaya yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan. Kesadaran untuk menemukan kembali akar kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mengukuhkan gagasan untuk lebih meningkatkan penelitian, pengkajian, dan penyebarluasan khasanah kebudayaan yang tergolong langka tersebut.
Perpustakaan Nasional RI yang mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya dan pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan memainkan peran strategis dalam mewujudkan gagasan tersebut.
Selanjutnya, pelestarian khasanah budaya dapat direalisasikan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada semua kalangan, khususnya para peminat dan pecinta naskah Nusantara, untuk menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah kuno melalui penelitian, pengkajian, maupun pengajaran. Masalahnya, hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk mendukung langkah positif tersebut.
MENUMBUHKAN KEMBALI TRADISI YANG TERPUTUS
Penerjemahan dan penyaduran naskah-naskah kuno dari bahasa aslinya ke dalam bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat modern telah banyak dilakukan oleh para ahli dari dalam maupun luar negeri. Sumbangan mereka sangat besar terutama dalam menghidupkan kejayaan masa lalu.
Masa lalu menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia karena masa lalu adalah sumber inspirasi yang berfungsi sebagai pijakan menuju masa depan. Andil perpustakaan dalam upaya menghidupkan kembali kebesaran masa lalu tampak jelas dalam pengungkapan kembali khasanah kesusastraan purba pra-Kristiani yang menggunakan bahasa Latin kuno oleh kaum humanis.
Penerbitan naskah berbahasa Latin secara besar-besaran yang dilakukan Gereja Khatolik untuk melawan pembaharuan agama yang dipelopori Martin Luther menyebabkan jumlah buku-buku berbahasa Latin melimpah di pasaran. Gerakan Kontra-Reformasi yang berlangsung singkat menyurutkan perhatian kalangan terpelajar di Eropa terhadap naskah-naskah tersebut. Akibatnya, buku-buku yang terlanjur dicetak dalam jumlah besar sulit dijual.
Perpustakaan-perpustakaan Khatolik berusaha menampung buku-buku yang beredar hingga muncul penghargaan terhadap pencapaian kecanggihan gaya penulisan para penulis di masa itu di era selanjutnya (Anderson, 2001). Penyimpanan naskah-naskah berbahasa Latin yang dilakukan perpustakaan-perpustakaan Khatolik memungkinkan naskah-naskah itu menjadi rujukan kaum inteligensia di kemudian hari.
Hal yang sama juga dilakukan di Indonesia. Naskah-naskah kuno dikaji agar semangat kebesaran di masa lampau dapat dihidupkan kembali. Penerjemahan dan penyaduran dilakukan agar masyarakat Indonesia masa kini dapat mempelajari prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang mendukung kemajuan bangsa. Karya-karya pujangga masa lalu yang disimpan di museum atau perpustakaan daerah diteliti, dikaji, dan disebarluaskan melalui pengajaran secara ilmiah.
Perpustakaan Nasional RI jelas memiliki peluang yang cukup besar dalam upaya tersebut. Kedekatan Perpustakaan Nasional RI dengan masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan memungkinkan penerjemahan dan penyaduran naskah kuno ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengesampingkan nilai artistik yang dicapai dalam bahasa aslinya. Naskah-naskah kuno tidak hanya memuat cerita atau pesan tersirat tetapi juga unsur artistik dan estetik yang mencerminkan karakter masyarakat tertentu. Penerjemahan dan penyaduran yang disertai versi aslinya memungkinkan masyarakat menemukan karakteristik tersebut.
Uniknya, hasil penerjemahan dan penyaduran Centhini ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan Galang Press justru berasal dari adaptasi Centhini versi Prancis oleh Elizabeth D. Inandiak (2002). Sebagai hasil penerjemahan dan penyaduran dari sebuah karya adaptasi berbahasa asing, tak ada penuturan versi Jawa yang dicantumkan di dalamnya. Dalam penerjemahan dan penyaduran karya-karya pujangga Jawa, versi asli dalam bahasa Jawa biasanya dicantumkan. Hal itu dianggap penting karena spirit atau nuansa yang melingkupi ketika karya itu dibuat hanya dapat dirasakan dalam penuturan bahasa aslinya.
Koleksi terjemahan naskah-naskah berbahasa Jawa seperti Wedhatama, Kalatidha, Cemporet, dan Joko Lodhang yang disimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta banyak yang masih memuat versi Jawa naskah-naskah terkenal itu. Namun, antusiasme masyarakat terhadap keberadaan naskah-naskah tersebut tak sebesar antusiasme mereka terhadap Centhini adaptasi Inandiak. Kenyataan yang terjadi di masyarakat terkadang sulit diperkirakan. Sambutan mereka terhadap ¿wajah baru¿ Centhini mungkin terjadi karena banyak diberitakan media yang secara tidak langsung mempengaruhi hasil promosi penjualan buku-buku tersebut.
Penerimaan masyarakat terhadap sebuah wacana seringkali hanya sebatas bungkus luarnya saja. Pemaknaan kandungan sebuah naskah kuno secara mendalam hanya dapat dilakukan apabila tradisi membaca dan menulis menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Namun, upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca dan menulis akan sangat sulit.
Tradisi membaca dan menulis yang dulu mengakar kuat di kalangan masyarakat Nusantara telah tenggelam di tengah kesibukan masyarakat masa kini yang semakin terdesak oleh tuntutan ekonomi. Sutarno dalam Perpustakaan dan Masyarakat (2003) bahkan berpendapat bahwa budaya baca tampaknya memang merupakan ¿privilese¿ bagi kalangan tertentu.
Peran Perpustakaan Nasional RI dalam membudayakan kegiatan membaca di tanah air yang telah menjadi begitu mahal perlu disinergikan dengan upaya menumbuhkan kegiatan penelitian dan pengkajian naskah kuno untuk kepentingan budaya jangka panjang. Tujuan dari penelitian dan pengkajian naskah-naskah kuno adalah tujuan jangka panjang yang ditujukan pada upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca dan menulis.
Kembalinya tradisi membaca dan menulis secara tidak langsung akan mendukung pelestarian khasanah budaya berbentuk naskah-naskah kuno dengan sendirinya. Masyarakat yang identik dengan tradisi membaca dan menulis akan mewujudkan kepeduliannya dengan melakukan penelitian dan pengkajian mendalam untuk selanjutnya disalin dan dibukukan kembali agar bisa disebarluaskan.
REVITALISASI NILAI – NILAI BUDAYA
Hal terpenting dalam upaya pelestarian khasanah budaya bangsa adalah pelestarian nilai-nilai luhur budaya yang menjadi petunjuk sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sosial budaya. Pelestarian budaya yang hanya ditujukan pada perawatan fisik benda-benda peninggalan purbakala tidak akan memberikan pengaruh besar pada upaya bangsa Indonesia dalam mencapai kemajuan. Bangsa Indonesia membutuhkan identitas atau jati diri sebagai sebuah bangsa dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran akan pemahaman terhadap kenyataan sejarah dan budaya.
Masyarakat membutuhkan perpustakaan umum sebagai sarana untuk menemukan kembali hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan di masa lalu. Pengembangan peran perpustakaan dalam pelestarian khasanah budaya bangsa akan menemukan saluran yang tepat apabila upaya pelestarian tidak hanya dilakukan pada bentuk fisiknya. Perpustakaan memiliki peran yang lebih penting yaitu melestarikan nilai-nilai moral yang melingkupi warisan budaya tersebut. Kenyataan sekarang menunjukkan adanya keterkaitan antara bobroknya moral masyarakat dan tenggelamnya pengaruh nilai-nilai luhur budaya bangsa di era globalisasi.
Di lingkup kebudayaan, kesadaran masyarakat masa kini terhadap manfaat perpustakaan hendaknya ditujukan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya menjadi pegangan hidup. Nilai-nilai budaya yang dapat digali dari tradisi masa lalu tidak hanya nilai-nilai yang bermanfaat untuk mengasah budi pekerti tetapi juga nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan seperti disiplin, gotong royong, dan kerja keras. Upaya itu hanya terwujud apabila perpustakaan juga difungsikan sebagai pusat penelitian dan pengkajian budaya dan ilmu-ilmu yang mendukung. Kegiatan penelitian dan pengkajian akan mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna untuk masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, perpustakaan selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku dan penyedia informasi juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah, perpustakaan umum pada masa kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid yang semula didirikan dengan nama Khizanah al-Hikmah merupakan contoh perpustakaan yang juga difungsikan sebagai pusat kegiatan studi, riset astronomi, dan matematika (Syihabuddin, dkk., 2003).
Ilmu pengetahuan yang dihasilkan di lingkungan perpustakaan pada masa itu memberikan sumbangan pencerahan bagi masyarakat. Seandainya Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan umum terbesar di Indonesia juga mampu difungsikan sebagai pusat penelitian, peran perpustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya akan menjadi wacana.
Peran perpustakaan dalam penelitian dan pengkajian budaya memungkinkan nilai-nilai budaya ditransformasikan menjadi pedoman sikap dan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Revitalisasi nilai budaya dianggap penting karena terbentuknya budaya baru yang berasal dari nilai-nilai luhur tradisi masa lalu diharapkan mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Pelestarian warisan budaya yang hanya ditujukan pada segi fisiknya saja tidak akan ada artinya. Biaya yang dikeluarkan untuk tujuan itu akan sia-sia. Sebaliknya, pelestarian warisan budaya yang menjadikan nilai-nilai budaya sebagai unsur utama jauh lebih berguna.
Revitalisasi nilai budaya adalah tanggung jawab masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri melalui sarana-sarana penyaluran yang telah ditentukan. Perpustakaan umum seperti halnya Perpustakaan Nasional RI adalah sarana penyaluran yang tepat untuk mewadahi kepentingan masyarakat berkaitan dengan hal itu. Perpustakaan menjadi tempat berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat yang peduli terhadap upaya pelestarian harta warisan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Peran Perpustakaan Nasional RI dalam revitalisasi nilai budaya setidaknya akan meredakan kerisauan pihak-pihak yang peduli pada upaya pelestarian warisan budaya bernilai sejarah terhadap keberadaan naskah-naskah peninggalan zaman kerajaan di luar negeri. Henry Chambert-Loir, direktur Ecole Francais d¿Extreme-Orient (EFEO ¿ Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh) boleh berpandangan bahwa kenyataan banyaknya naskah Melayu yang tersimpan di berbagai negara di luar negeri justru menguntungkan mengingat kondisi Indonesia pada masa itu (Kompas, 20 Mei 1999). Akan tetapi, kenyataan akan jauh lebih menguntungkan apabila nilai-nilai luhur yang termuat di dalamnya tetap lestari di negeri asalnya.
APRESIASI MASYARAKAT PENDUKUNG KEBUDAYAAN
Tantangan untuk mengembalikan kebanggaan masyarakat di tanah air terhadap khasanah budaya bangsa yang berupa naskah-naskah kuno memang sulit diwujudkan. Kebanggaan terhadap cagar budaya yang diakui dunia seperti Borobudur dan warisan non-bendawi seperti lagu, tari maupun wayang pun masih tipis. Masyarakat Indonesia saat ini lebih mengagumi budaya yang datang dari luar daripada budaya yang tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. Kecenderungan ini semakin diperparah dengan merosotnya nilai moral, menipisnya solidaritas sosial, menjamurnya praktik politik kotor, dan memburuknya kondisi perekonomian.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini selain kurang dalam memberikan apresiasi terhadap budaya leluhur juga kurang memiliki etos kebudayaan. Padahal, etos kebudayaan itu sendiri bersumber dari nilai-nilai luhur yang terangkum dalam tradisi masa lampau. Bangsa-bangsa Asia lainnya seperti Jepang, Korea, Cina, dan India telah membuktikan bahwa kesadaran akan sejarah masa lalu berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa. Kemapanan ekonomi dan kemajuan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa tersebut tidak membuat mereka melupakan tradisi masa lampau. Sebaliknya, mereka justru berpikir untuk menyebarluaskannya ke seluruh dunia.
Keberhasilan mereka dalam menghidupkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya lama untuk mempertegas jati diri bangsa mengukuhkan keberadaan mereka di tengah globalisasi. Prinsip rajin, mandiri, dan bekerja keras bersumber dari tradisi masa lalu menjadi kekuatan vital yang menuntun bangsa-bangsa tersebut mempunyai visi, imajinasi, dan kreativitas tanpa batas.
Individu yang menjadi bagian di dalamnya pun mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri dan menemukan yang terbaik bagi dirinya. Intinya, kebudayaan yang sehat adalah kebudayaan yang memberi kemungkinan dan kesempatan agar mereka yang hidup di dalamnya dapat berkembang menjadi dirinya sendiri (Kompas, 19 Mei 2006). Pernyataan tersebut dikemukakan Myrna Ratna, wartawan Kompas, yang dituangkan dalam lembaran khusus Kompas ¿Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030¿ berkaitan dengan reformasi kebudayaan untuk kemajuan bangsa.
Bercermin dari bangsa-bangsa Asia yang berhasil menjadikan tradisi leluhur sebagai modal dasar untuk membangun, bangsa Indonesia harus mulai memikirkan pentingnya penghayatan terhadap tradisi dan sejarah. Krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang mengungkapkan kebesaran masa lalu. Perpustakaan Nasional RI yang terkenal dengan koleksi naskah kuno dan ribuan buku langka adalah penyedia sarana yang tepat untuk upaya tersebut.
Perpustakaan Nasional RI mempunyai peluang untuk mengembangkan wacana mempelajari budaya melalui karya-karya besar masa lampau sebagai kegiatan intelektual yang membuat setiap individu yang terlibat di dalamnya menemukan hal-hal yang menarik dan juga dapat dibanggakan. Akhir-akhir ini, hal semacam itu telah dimunculkan oleh beberapa kalangan pecinta khasanah sastra Nusantara dengan mengemas hasil pengkajian karya-karya lama dalam konteks kekinian.
Penerjemahan dan penyaduran Chentini dari karya adaptasi Inandiak dalam bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia. Banyak kalangan akademisi dan masyarakat luas yang menyoroti keberadaan buku itu, baik di media massa maupun dalam diskusi-diskusi kecil.
Kenyataan itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap karya-karya gemilang peninggalan masa lampau. Peluang untuk menonjolkan hal-hal menarik dalam pengkajian khasanah budaya Nusantara telah mendapatkan momentum yang tepat.
Keberadaan Perpustakaan Nasional RI di tengah kerinduan masyarakat terhadap kajian tentang kebudayaan mereka sendiri sangat signifikan. Realisasi dari wacana tersebut sebaiknya dimulai dengan mengadakan diskusi-diskusi kecil bersifat terbuka dan yang terpenting mengikutsertakan masyarakat luas dari berbagai kalangan.
Informasi-informasi yang relevan menyangkut pemberdayaan warisan budaya yang berasal dari sumber-sumber terpercaya sebaiknya juga disosialisasikan dalam kesempatan tersebut. Hal itu perlu dilakukan mengingat pemberitaan-pemberitaan di media massa banyak yang menyebutkan bahwa gagasan pemanfaatan warisan budaya yang berkembang di masyarakat cenderung berorientasi ekonomi. Benda budaya materi (tangible) seperti arca dan tulisan-tulisan kuno dinilai menguntungkan karena bisa diperjualbelikan dengan harga bernilai ratusan juta.
Sedangkan, situs budaya seperti candi dan kraton dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata. Situs budaya memang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya tetapi tidak boleh melampaui batas. Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa benda warisan budaya masa lalu merupakan sumber daya yang tak dapat diperbaharui (nonrenewable resources).
Langkah selanjutnya yang perlu diupayakan untuk menumbuhkan ketertarikan dalam pengkajian naskah kuno adalah mendorong orang-orang yang terlibat dalam upaya tersebut agar mampu berkomunikasi dengan baik sehingga menarik perhatian masyarakat. Selain itu, pustakawan dan juga ahli purbakala harus bangga dengan profesi mereka. Dengan kata lain, kebanggaan terhadap profesi akan menumbuhkan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa mereka memang pantas mendapat penghargaan berupa pengakuan dari masyarakat. Apresiasi masyarakat pendukung kebudayaan adalah modal utama yang tak bisa diabaikan.
Berhasil tidaknya wacana berbasis kebudayaan yang cukup inovatif tersebut tergantung pada masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Masalahnya, kegiatan semacam itu umumnya diminati kalangan tertentu saja dan kemungkinan untuk menjadikannya populer sangat kecil. Upaya untuk menjadikan pengkajian naskah kuno sebagai kegiatan intelektual yang mempunyai nilai istimewa di mata masyarakat adalah sebuah pilihan.
Wacana ini berangkat dari tujuan awal menemukan sesuatu yang khas Indonesia yang bersumber dari khasanah budaya Nusantara di masa lampau untuk menegaskan identitas kebangsaan. Koentjaraningrat mengungkapkan dalam Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (1983) bahwa kesenian, termasuk di dalamnya seni sastra merupakan unsur kebudayaan yang dapat menonjolkan kualitas dan sifat khas bangsa Indonesia.
Naskah-naskah kuno yang merupakan buah pemikiran gemilang di masa lampau memang harus digali kandungan isinya agar dapat dikembangkan untuk menegaskan jati diri bangsa Indonesia di tengah kepungan globalisasi. Sayangnya, penelitian dan pengkajian terhadap naskah-naskah kuno yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri masih sangat terbatas. Penyebarluasan di masyarakat pun tidak dilakukan secara menyeluruh dan hanya menyentuh kalangan tertentu saja.
Selain itu, penyajiannya ke tengah masyarakat sering tidak disertai kupasan yang menarik dalam bentuk resensi atau artikel lepas di media massa. Padahal, kupasan semacam itu merupakan suatu bentuk promosi kecil yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mengetahui keseluruhan isinya. Kalau hal seperti itu tidak diperhatikan, upaya untuk menjadikan pengkajian naskah kuno sebagai sesuatu yang memiliki prestise tersendiri akan jauh dari pencapaian.
KESIMPULAN
Perpustakaan dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Perpustakaan memainkan peran penting dalam upaya pelestarian khasanah budaya bangsa. Perpustakaan dapat difungsikan secara optimal dengan melakukan hal-hal yang mendukung upaya pelestarian bentuk fisik warisan budaya sekaligus pesan moral yang melingkupinya. Langkah positif tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatkan penelitian dan pengkajian terhadap naskah-naskah kuno melalui upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca dan menulis, memupuk kebanggaan masyarakat terhadap khasanah budaya yang berupa naskah-naskah kuno, dan lebih mengutamakan upaya pelestarian nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Perkembangan perpustakaan dalam sejarah umat manusia tak terlepas dari hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan yang ada seharusnya diartikan sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan kegiatan di luar visi dan misi perpustakaan sebelumnya.
Upaya mengoptimalkan peran Perpustakaan Nasional RI dalam pelestarian khasanah budaya bangsa seperti yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan saran yang membangun untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang seringkali timbul dalam mengembangkan fungsi kultural perpustakaan. Perpustakaan yang hanya difungsikan untuk tempat penyimpanan tidak akan memberikan pengaruh yang berarti dalam upaya pelestarian warisan budaya berupa nilai-nilai luhur yang berlaku sebagai tuntunan sikap dan perilaku dalam kehidupan sosial budaya.