Dunia Perpustakaan | Ada sebuah tulisan yang menarik, dan cukup ideal untuk menggambarkan pentingnya peran Perpustakaan Nasional.
Tulisan berjudul “Peningkatan Daya Saing Bangsa Lewat Program Literasi Informasi – Sebuah Peran Perpustakaan Nasional di Era Informasi” ini ditulis oleh Salmubi dan sudah pernah dimuat di Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 – Desember 2007.
Berikut tulisan selengkapnya,
ilustrasi |
Abstrak
Perkembangan bidang teknologi informasi dan komunikasi atau Information and Communication Technologies (ICTs) berdampak luas terhadap penyelenggaraan perpustakaan, yaitu berupa peningkatan jumlah dan jenis sumber-sumber informasi yang didukung dengan adanya peningkatan kepemilikan personal computer (PC) dan tersedianya sofware yang memberi kemudahan menghasilkan informasi. Program literasi informasi dibutuhkan agar setiap orang (pengguna informasi) mampu mengetahui kapan informasi diperlukan, mampu menemukannya, mengevaluasinya, dan menggunakan secara efektif.
A. Pendahuluan
Dunia perpustakaan Indonesia sebenarnya telah lama mengenal dan melakukan aktivitas yang berkenaan dengan literasi informasi, meskipun dengan istilah yang berbeda pendidikan pemakai. Literasi informasi dikembangkan di Amerika Serikat sejak akhir 1980-an, yang memberikan penekanan kembali pada kegiatan “bibliographic instruction” yang diselenggarakan di perpustakaan-perpustakaan akademik.
Di Inggris istilah “bibliographic instruction” ekuivalen dengan “user education”. Sekarang, penggunaan istilah literasi informasi menjadi lebih populer dibanding dengan user education, karena telah terjadi perubahan agenda dalam dunia pendidikan dan juga karena dari perkembangan hybrid library yang kemudian dikenal dengan digital library.
Tidak hanya sampai pada konsep pengembangan digital library, sesungguhnya perkembangan pesat yang terjadi di dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi atau Information and Communication Technologies (ICTs) berdampak luas terhadap penyelenggaraan perpustakaan.
Dampak itu, terutama berupa peningkatan jumlah dan jenis sumber-sumber informasi atau dikenal dengan istilah “banjir informasi”. Banjir informasi adalah suatu keadaan di mana informasi yang tersedia sangat banyak jumlahnya, baik sumber maupun formatnya.
Banjir informasi terjadi karena setiap orang dimungkinkan menghasilkan informasi dengan lebih mudah dan dalam berbagai format tanpa harus melibatkan banyak orang atau institusi lain.
Keadaan tersebut didukung pula oleh adanya peningkatan kepemilikan personal computer (PC). Harga komputer relatif lebih murah dan terjangkau oleh kebanyakan orang di seluruh dunia.
Sementara, software yang tersedia semakin memudahkan pemakai bekerja dengan komputer untuk berbagai macam keperluan, termasuk kemudahan menghasilkan informasi. Sehingga, kemudian muncul prediksi bahwa produksi dan akses informasi dari rumah, tempat kerja, dan perpustakaan serta dari pusat-pusat informasi akan terus meningkat seiring perjalanan kita pada abad 21 ini.
Hal ini sangat sejalan dengan dikemukan oleh Deegan dan Tanner (2002) dalam bukunya “Digital Futures: Strategies for the Information Age”. Mereka memberikan perkiraan bahwa produksi informasi dunia sekitar 1,5 juta milyar informasi per tahun. Jumlah tersebut kira-kira sama dengan 250 MB atau ekuivalen dengan 250 buku yang dihasilkan setiap orang di planet bumi ini.
Selanjutnya, keuntungan lain yang diperoleh dari perkembangan dan keberadaan ICTs sekarang ini, adalah memungkinkan informasi disimpan, diakses, dan disebarkan dengan lebih mudah dan cepat. Hal ini pun menyebabkan informasi yang tersedia melimpah ruah sehingga pemakai informasi mengalami kesulitan untuk menemukan informasi yang lebih spesifik untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan atau pekerjaannya.
Kondisi ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa program literasi informasi semakin dibutuhkan dalam era informasi ini. Pada hakikatnya, tujuan penyelenggaraan program literasi informasi adalah agar setiap orang (pengguna informasi) mampu mengetahui kapan informasi diperlukan, mampu menemukannya, mengevaluasinya, dan menggunakannya secara efektif.
Di Indonesia, selama ini, program literasi informasi belum diposisikan sebagai agenda utama dunia perpustakaan. Namun, usaha-usaha ke arah pemasyarakatan dan implementasi program tersebut telah dimulai. Bahkan, ada sejumlah perpustakaan perguruan tinggi, seperti Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) telah mendisain program kurikulum literasi informasi dan mengajarkan kepada pemakai perpustakaannya. Sementara, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sekitar 2 tahun lalu juga telah memperkenalkan program information skills kepada sejumlah pustakawan perguruan tinggi di tanah air.
Masih di tingkat nasional, Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Bali tahun 2006 juga bertemakan literasi informasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan hal positif guna memperkenalkan program literasi informasi kepada pustakawan sebagai salah satu ‘lokomotif’ utama di dalam mensukseskan implementasi program itu. Tentu saja, usaha-usaha yang telah kita lakukan belum sebanding dengan apa yang telah dikerjakan oleh negara lain seperti Australia, Amerika Serikat, atau bahkan negara tetangga seperti Singapura.
B. Latar Belakang
Dunia pendidikan menjadi tumpuan dan harapan negara-bangsa Indonesia untuk dapat duduk sejajar dengan negara-bangsa lain. Sebab, kemajuan suatu negara-bangsa tidak bisa dicapai tanpa didukung oleh sistem pendidikan bermutu.
Sistem pendidikan bermutu akan berkontribusi besar terhadap lahirnya SDM bermutu yang dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban. Sistem pendidikan dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan informal, seperti lewat berbagai layanan yang diberikan oleh perpustakaan.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, disebutkan bahwa salah satu arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing, karena hal ini menjadi kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional jangka panjang diarahkan pada beberapa hal, dua di antaranya adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing dan meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan. Sementara, di dalam KPPTJP IV atau HELTS, visi pengembangan pendidikan tinggi diarahkan untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing bangsa (nation competitiveness).
Perkembangan ICTs yang berlangsung cepat dan pesat atau biasa diistilahkan dengan nama “revolusi teknologi” mendorong dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi melakukan pendekatan baru terhadap sejumlah isu penting, salah satu di antaranya adalah tentang lifelong learning.
Sehingga, revolusi teknologi harus dimaknai dengan sikap positive thinking, karena teknologi itu merupakan salah satu usaha untuk memberdayakan orang (empowerment process) agar dapat memanfaatkan informasi yang diperolehnya dengan lebih efektif lewat penggunaan teknologi yang tersedia dan proses lifelong learning.
Informasi adalah fondasi untuk memberdayakan masyarakat. Informasi digunakan untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan pribadi seseorang dan atau untuk memainkan peran lebih aktif dan positif di dalam pembangunan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Informasi memberikan kontribusi terhadap pembangunan demokrasi, pemberdayaan ekonomi, peningkatan nilai-nilai professional, dan lain-lain. Di sinilah sesungguhnya tanggung jawab sosial pustakawan yang dapat dilakukan lewat berbagai layanan (service) dan ketersediaan sumber-sumber informasi perpustakaan dalam berbagai ragam, format, dan konteks.
Selain pemanfaatan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan pada era global ini juga sangat identik dengan adanya kompetisi dan kerjasama (competition and cooperation). Kompetisi ketat seperti yang terjadi sekarang ini, mengharuskan kita bekerja lebih keras guna mempersiapkan SDM yang sanggup dan mampu bersaing secara global. Implikasinya, sistem pendidikan kita (termasuk juga perpustakaan) sekarang harus segera dibenahi, sehingga lebih representatif untuk mendukung pembangunan SDM yang berkualitas.
Dengan kata lain, institusi pendidikan kita harus dikembangkan berdasarkan trend global yang berstandar internasional. Tujuannya, agar institusi pendidikan dan juga produknya (alumni) mampu dan sanggup bersaing secara global. Secara sederhana, perpustakaan sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran harus segera diberdayakan guna memberikan kontribusi optimal terhadap pengembangan SDM yang berkualitas.
Sangat tepat, kalau dari sekarang kita menempatkan pengembangan SDM sebagai prioritas utama dalam pembangunan di negara ini. Sebab, SDM yang berkualitas dan berdaya saing yang akan menjadi penggerak utama pembangunan dalam berbagai sektor kehidupan. Hal ini sangat realistis. Kita memiliki potensi kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Tetapi, tidak didukung dengan ketersediaan SDM yang berkualitas dalam jumlah yang memadai.
Sementara, SDA akan habis karena tidak terbaharukan. Karenanya, kita harus melahirkan SDM yang berkualitas, trampil, dan profesioanal yang akan mengelola dan memberikan nilai tambah (value-added) dari kekayaan SDA yang kita miliki. Kondisi ini akan mengurangi ketergantungan kita terhadap negara lain, di samping akan mengurangi penyakit-penyakit sosial yang ada, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kriminilitas.
Di dalam buku “Centred on Learning” dijelaskan bahwa perubahan terjadi sangat berpengaruh kebutuhan SDM di dunia usaha. Kondisi ini menimbulkan ekspektasi tinggi dari dunia usaha untuk mempekerjakan SDM yang berkualitas tinggi dan sejumlah syarat ketat lainnya agar dapat memasuki dunia kerja. Implikasi dari ekspektasi semacam itu terhadap institusi pendidikan adalah peserta didik harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan baru yang diperlukan di dalam tatanan ekonomi global, sehingga mereka harus memiliki sejumlah keunggulan untuk dapat bersaing, survive, dan berhasil.
Selanjutnya, Harvey dan Mason (1996) menyatakan bahwa ada lima hal penting yang harus dimiliki oleh setiap SDM di dalam persaingan global ini, yakni (1) pengetahuan, (2) kemampuan intelektual, (3) kemampuan bekerja dalam organisasi modern, (4) interpersonal skills, dan (5) ketrampilan komunikasi. Persyaratan-persyaratan seperti itu, sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang sangat kompleks dan kemudian membawa kita kepada intraksi global yang semakin meningkat dan berdampak pada adanya “keharusan” setiap peserta didik memiliki sejumlah keunggulan sehingga menjadi SDM yang produktif di dunia kerja.
Berangkat dari isu pengembangan SDM Indonesia itu, maka literasi informasi harus segera dimasyarakatkan (disosialisasikan), kemudian diterapkan di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tujuannya, agar kita dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban yang memungkinkan kita dapat hidup setara dan sejajar dengan negara-bangsa lain.
C. Literasi Informasi dan Lifelong Learning
Paradigma dunia pendidikan pada abad 21 tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan perkembangan ICTs. Dunia virtual telah membuka sejumlah peluang baru bagi pustakawan untuk memberikan kontribusi lebih optimal terhadap proses pendidikan yang ada. Dalam hal ini, pustakawan menyandang predikat sebagai information professional yang berkewajiban membuka akses seluas-luasnya terhadap sumber-sumber informasi kepada seluruh pemakai perpustakaan.
Informasi sangat diperlukan untuk membangun learning society sebagai sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan literasi informasi dan proses pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). Karenanya, isu tentang literasi informasi dan lifelong learning menjadi isu yang sangat penting tidak hanya bagi perpustakaan, tetapi juga dunia pendidikan pada era informasi ini.
1. Literasi Informasi
Konsep literasi informasi dan peranan pentingnya dalam pembelajaran formal telah menjadi kajian utama, terutama di negera-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Concern mereka terhadap hal tersebut disebabkan adanya ledakan informasi (information explosion) di samping kemampuan ICTs dalam menyimpan dan menyebarkan informasi.
Akibatnya, informasi yang tersedia begitu banyak, baik sumbernya maupun formatnya. Keadaan ini akan mempersulit pengguna informasi – bila ia tidak memiliki skill yang cukup sebagaimana orang yang information literate miliki. Skill itu akan membantu pengguna informasi untuk memilih informasi yang lebih spesifik dan pas dengan kebutuhannya. Di samping itu, dibutuhkan pula kemampuan untuk melakukan evaluasi akan keotentikan, kesahihan (validitas), dan realibilitas dari informasi yang didapatkan.
Kondisi tersebut mendorong sejumlah kalangan memberikan komentar terhadap pentingnya seseorang memahami hakikat dan tujuan literasi informasi di dalam kehidupan setiap individu.
Literasi informasi dianggap sebagai ketrampilan penting dan utama dalam menyelesaikan berbagai masalah atau dikenal dengan istilah “problem solving and decision making skills”. Kemampuan ini teramat sangat diperlukan dan menjadi salah satu kebutuhan dasar agar dapat tetap survive di era informasi seperti sekarang ini. Untuk itu, kita harus meredefinisi peran informasi yang sesungguhnya di dalam kehidupan kita – di rumah, di tempat kerja, dan di dalam kehidupan masyarakat.
Literasi informasi menurut Association of College and Reseach Libraries (ACRL) adalah “a set of abilities to recognize when information is needed and have the abilitiy to locate, evaluate, and use needed information effectively”. Seseorang yang trampil dalam literasi informasi tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk mengenal kapan ia membutuhkan informasi, tetapi ia juga memiliki kemampuan untuk menemukan informasi, dan mengevaluasinya, serta mampu mengeksploitasi informasi untuk mengambil berbagai keputusan yang tepat sasaran.
Individu yang information literate, akan memiliki rasa percaya diri, kemandirian, penuh inisiatif, dan memiliki motivasi tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas. Di samping itu, ia adalah individu yang tahu bagaimana cara belajar dan terus melakukan upaya untuk melakukan lifelong learning yang menjadi misi utama dari penyelenggaraan pendidikan. Literasi informasi, pada hakikatnya merupakan prasyarat, inti (core), dan dasar atau fondasi dari lifelong learning. Sehingga, kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan, satu dengan lainnya.
Di dalam buku “Australian and New Zealand Information Framework” dinyatakan bahwa orang yang information literate adalah mereka yang dapat:
- Recognize a need for information
- Determine the extend of information needed
- Access information efficiently
- Critically evaluate information and its sources
- Classify, store, manipulate and redraft information collected or generated
- Incorporate selected information into their knowledge base
- Use information effectively to learn, create new knowledge, solve problems and make decisions
- Understand economic, legal, social, political and cultural issues in the use of information
- Access and use information ethically and legally
- Use information and knowledge for participative citizenship and social responsibility
- Experience information literacy as part of independent learning and lifelong learning
Dari sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang information literate, maka hal itu bermakna bahwa literasi informasi adalah suatu proses pemberdayaan seseorang di dalam setiap tahap perjalanan hidupnya guna mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan menciptakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan pribadi, sosial, pekerjaan, tujuan pendidikan, dan tujuan-tujuan lainnya. Dengan demikian, literasi informasi merupakan hak asasi manusia di dalam era informasi ini.
Peran signifikan literasi informasi semakin penting bila kita mencermati dan menelaah apa yang dinyatakan dalam dokumen “The Alexandria Proclamation on Information Literacy and Lifelong Learner”. Di situ ada statement yang menyatakan bahwa:
“Information literacy is crucial to the competitive advantage of individuals, enterprises (especially small and medium enterprises), region and nations (and) provides the key to effective access, use and creation of content to support economic development, education, health and human services, and all other aspects of contemporary societies.”
Dari kutipan itu jelas sekali bahwa setiap aspek kehidupan manusia tercakup dalam konsep literasi informasi. Namun, untuk sampai pada tahap implementasi diperlukan rumusan yang intergral dan komprehensif yang melibatkan berbagai komponen di dalam sistem pendidikan dan perpustakaan serta komponen masyarakat lainnya yang memiliki perhatian terhadap kemajuan dunia pendidikan dan juga pengembangan SDM Indonesia.
2. Lifelong Learning
Sebagai salah satu bagian terpenting dari paradigma dunia pendidikan abad 21 (era informasi), lifelong learning harus menjadi salah satu concern perpustakaan guna memberikan kontribusi optimal di dalam proses pendidikan. Lifelong learning telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa konsep lifelong learning telah menjadi embrio lahirnya budaya belajar (termasuk budaya baca) yang kuat di dalam kehidupan masyarakatnya.
Memang, lifelong learning merupakan fondasi dasar untuk membangun masyarakat pembelajar (learner society) yang juga menjadi harapan dan cita-cita negara – bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis, agenda ini sesungguhnya telah lama menjadi agenda dunia perpustakaan Indonesia – yang salah satunya lewat kegiatan ‘kampanye gemar membaca’ dengan tujuan utama adalah untuk membangun budaya belajar masyarakat.
Menurut Brophy, Fisher, dan Craven (1998), lifelong learning diartikan sebagai: “a deliberate progression throughout the life of an individual, where the initial acquisition of knowledge and skills is reviewed and upgraded continuously, to meet challenges set by an ever-changing society”
Konsep pembelajaran sepanjang hayat yang disampaikan oleh Brophy, Fisher, dan Craven itu mengindikasikan adanya proses yang berlangsung dinamis dan terus menerus, kemudian melahirkan pembaharuan di dalam diri lifelong learner – yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan, tentu saja secara kualitatif, lifelong learning berbeda dengan konsep pembelajaran konvensional (tradisional) yang lebih terstruktur sebagaimana yang ada di dalam sistem sekolah dan atau pendidikan tinggi.
Sejumlah karakteristik dari proses lifelong learning, seperti: aktivitas pembelajaran yang berlangsung terus menerus, berintikan pada pengembangan skill, berlangsung informal, tidak terpusat, dapat berlangsung kapan dan di mana saja, modul pembelajaran yang tidak terstruktur, mandiri (independent), pembelajaran kelompok sebagai kegiatan sosial, dan tidak bersifat eksklusif. Dengan kata lain, kunci lifelong learning ini adalah kemampuan untuk mengembangkan proses belajar melampaui batas ruang kelas, menciptakan kesempatan belajar sendiri dan mandiri, menyediakan sarana praktek dan bertanggung jawab secara profesional dalam berbagai bidang kehidupan.
Karakteristik lifelong learning di atas sangat sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Cropley (Wooliscroft, 1997) bahwa lifelong learning meliputi “the conviction that all individual ought to have organized and systematic opportunities for instruction, study and learning at any times throughout their lives”
Konsep lifelong learning ini juga sangat relevan dengan keberadaan perpustakaan sebagai institusi pendidikan informal. Sebab, perpustakaan dalam era informasi ini akan menjadi agen yang memungkinkan setiap orang pada berbagai tingkat usia, pendidikan, dan status sosial untuk dapat memperoleh keberhasilan.
Perpustakaan membantu masyarakat pemakainya mendapatkan skill yang diperlukan untuk dunia kerja. Pemakai perpustakaan dapat menggunakan informasi secara kreatif sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka. Artinya, perpustakaan memainkan peran yang utama guna mendukung pengembangan diri pemakai perpustakaan yang merupakan bagian inti dari konsep lifelong learning.
Bila konsep lifelong learning dapat diperankan dan dilaksanakan dengan baik oleh perpustakaan (melalui pelaksanaan program literasi informasi), maka pengembangan SDM Indonesia dalam rangka peningkatan daya saing negara-bangsa dapat diwujudkan. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Candy, Crebert dan O’Leary (Wooliscroft, 1997) “Access to, and critical use of information and of information technology is absolutely vital to lifelong learning, and accordingly no graduate – can be judged educated unless he or she is information literate”.
Mereka secara tegas menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan lulus, bilamana ia belum menyandang status sebagai information literate person. Artinya, untuk melakukan hal yang demikian, lembaga pendidikan tinggi harus menetapkan literasi informasi sebagai sebuah standar kompetensi (sebagai syarat) yang wajib dimiliki oleh setiap peserta didik sebelum meninggalkan universitas.
D. Perpustakaan Nasional dan Literasi Informasi
Mencermati perkembangan ICTs dan pembangunan SDM Indonesia yang pada era globalisasi ini, maka program literasi informasi harus mendapatkan perhatian serius. Program ini perlu dijadikan sebagai salah satu agenda nasional yang harus dilaksanakan segera. Karena, literasi informasi sesungguhnya bukan sekedar isu perpustakaan atau pendidikan saja, akan tetapi literasi informasi adalah isu penting dalam pengembangan ekonomi, kesehatan, kemasyarakatan, dan peningkatan kualitas hidup manusia. Sehingga, literasi informasi itu dapat dikatakan sebagai ketrampilan yang harus dimiliki dan dipraktekkan secara nasional.
Literasi informasi sebagai “a key skill nationally” makin mengukuhkan peran perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk mengambil porsi yang lebih besar dalam pemasyarakatkan dan penerapkan literasi informasi secara nasional. Perpustakaan Nasional dan juga jenis perpustakaan lainnya sebagai bagian dari sistem nasional perpustakaan memiliki kedudukan sebagai infrastruktur pendidikan dan kebudayaan.
Untuk itu, perpustakaan harus dipertahankan agar tetap menjadi pusat informasi di tengah perkembangan dan tantangan ICTs. Sebab, ketersediaan dan akses sumber-sumber informasi elektronik (internet) yang dapat diakses dengan lebih mudah, cepat, dan menarik dapat berakibat pada berkurangnya jumlah kunjungan pemakai (secara fisik) dan penurunan akses sumber-sumber informasi tercetak/terekam di perpustakaan. Sehingga, dari keadaan ini menuntut peran perpustakaan untuk memberdayakan pemakainya memanfaatkan informasi secara efektif dan efisien lewat program literasi informasi.
Di samping, dasar-dasar pemikiran seperti tersebut di atas, literasi informasi sangat layak untuk diangkat sebagai salah satu agenda nasional. Sebab, pengembangan dan penerapannya sangat relevan dengan sasaran pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan daya saing (national competitiveness). Sasaran ini hanya akan dicapai bilamana SDM yang dilahirkan institusi pendidikan kita, adalah orang-orang yang information literate dan menjadi lifelong learner.
Untuk mengimplementasikan literasi informasi di Indonesia, maka kita perlu belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil mengembangkan literasi informasi. Di Amerika Serikat, ada Association of College and Reseach Libraries (ACRL) yang disponsori oleh American Library Association (ALA). Organisasi tersebut telah memberikan kontribusi berharga di dalam menetapkan landasan teoritis, rumusan, standar, dan hal lain yang berkenaan dengan pelaksanaan literasi informasi di Amerika Serikat.
Sementara, di Australia dan Selandia Baru melakukan pengembangan literasinya dengan membentuk gugus tugas (taskforce) yang dinamakan Australian and New Zealand Institute for Information Literacy. Gugus tugas ini telah menetapkan model dan framework literasi informasi. Lain halnya dengan yang dilakukan oleh United Kingdom (UK), di mana perumusan literasi informasi lewat Society of College, National, and University Libraries (SCONUL).
Untuk pengembangan literasi informasi di Indonesia, paling realistis kalau hal ini kembali dilakoni oleh Perpustakaan Nasional sebagai pemain utama untuk pengembangannya di tingkat nasional. Tentu, kita tidak dapat mengabaikan peran organisasi semacam Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi (FPPTI), seperti halnya ACRL di Amerika Serikat, yang telah melakukan pengembangan literasi informasi hingga menetapkan sejumlah standar.
Tetapi, untuk saat sekarang, sepertinya FPPTI dan juga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) belum siap karena sejumlah agenda mendesak, seperti konsolidasi internal organisasi agar kedudukannya lebih kokoh di tingkat nasional (Salmubi, 2006). Hal ini tidak berarti bahwa SDM yang ada di dua organisasi tersebut tidak dapat terlibat atau dinihilkan perannya untuk menyusun pengembangan literasi informasi di Indonesia.
Idealnya, pengembangan literasi informasi secara nasional melibatkan berbagai komponen bangsa dan komponen masyarakat serta public figure. Sebab, literasi informasi bukan terbatas pada isu perpustakaan dan pendidikan saja, tetapi program ini menyangkut berbagai aspek kehidupan mulai dari pembangunan ekonomi sampai kepada persoalan kesehatan.
Pokoknya, sangat luas cakupannya. Untuk itu, kita harus melibatkan unsur-unsur, seperti dari Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Pendidikan, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah, Pustakawan, dosen, guru (sebagai praktisi), Perpustakaan Umum (termasuk Perpustakaan Daerah Provinsi), Perpustakaan Nasional, pelaku bisnis, LSM, dan pihak-pihak lain yang memiliki concern terhadap dunia pendidikan dan pengembangan SDM di Indonesia.
Tentu saja, untuk sampai pada pelaksanaan yang ideal dari program literasi informasi membutuhkan kerja keras. Bukan hanya pada aspek yang menyangkut hal-hal yang bersifat strategis, tetapi juga meliputi aspek-aspek yang bersifat teknis dan operasional. Meskipun ada sejumlah pengembangan literasi informasi yang dapat kita contoh dan adopsi dari negara lain, tetapi kita harus tetap melakukan sejumlah penyesuaian. Karena, ada berbagai kondisi ril (kondisi lapangan) yang sangat berbeda dengan keadaan kita, seperti keadaan perpustakaan, pustakawan, dan kualifikasi tenaga pengajar (guru atau dosen).
Untuk tahap awal dari pengembangan literasi informasi tingkat nasional, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebaiknya membentuk taskforce yang tugas utamanya adalah akan melibatkan organisasi kepustakawanan Indonesia (IPI dan FPPTI), para pemerhati dunia pendidikan, baik yang berasal dari kalangan pemerintahan, legislatif, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan komponen masyarakat lainnya untuk terlibat dalam rencana awal pengembangan literasi informasi.
Pada saat yang bersamaan taskforce yang terbentuk dapat merumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk memulai inisiatif pengembangan literasi informasi. Bagi Perpustakaan Nasional adalah penting untuk meneliti, mengkaji, dan menelaah sejumlah dokumen tentang literasi informasi yang khas Indonesia plus dokumen dari negara lain yang telah mengembangkan program tersebut sehingga menjadi acuan untuk dilaksanakan di Indonesia. Di samping itu, dokumen-dokumen dari sejumlah perpustakaan perguruan tinggi di tanah air yang telah mengimplementasikan literasi informasi dapat menjadi bahan berharga untuk memperkaya konsep-konsep pengembangan literasi informasi yang sedang dikembangkan.
Dalam tataran yang lebih praktis, Perpustakaan Nasional perlu memikirkan dan mempersiapkan sejumlah langka antisipasi terhadap berbagai kendala yang akan muncul dalam penerapan literasi informasi di perpustakaan. Bukan hanya karena kita minim pengalaman dalam melaksanakan program itu, tetapi kompetensi kita dalam literasi informasi masih harus ditingkatkan. Jangankan di Indonesia, di negara-negara yang sudah lama mengimplementasikan literasi informasi, juga mengalami sejumlah kendala sebagaimana yang dinyatakan oleh Godwin (Martin dan Rader, 2003).
Ia mencatat sejumlah kendala yang berkaitan dengan pelaksanaan literasi informasi, yakni (1) kurangnya apresiasi yang ditunjukkan oleh staf pengajar, (2) kurangnya pengetahuan staf pengajar (3) kurangnya komitmen institusi untuk mengintegrasikan literasi informasi dengan kurikulum dan alokasi waktu pelaksanaan literasi informasi (4) ada persepsi yang salah dari staf pengajar dan mahasiswa yang beranggapan bahwa information skills (literasi informasi) sama saja dengan information technology skills.
Selanjutnya, Perpustakaan Nasional perlu menyusun sejumlah program kerja tentang pemasyarakatan (sosialisasi) literasi informasi kepada semua jenis perpustakaan dan institusi pendidikan secara bertahap dan membatasi dulu pada wilayah tertentu sebagai semacam proyek percontohan. Di samping itu, program penting untuk segera dilakukan adalah sosialisasi dan pelatihan bagi pustakawan dan tenaga pengajar (guru dan dosen) tentang literasi informasi. Kedua kelompok ini merupakan ‘lokomotif’ utama dalam melaksanakan program literasi informasi.
Keberhasilan program ini, salah satunya ditentukan oleh kemampuan kita menjalin kolaborasi dan kemitraan antara pihak perpustakaan dengan para guru dan dosen agar program literasi informasi dapat diintegrasikan di dalam kurikulum dan ditetapkan alokasi waktu pengajaran. Bahkan, bila perlu literasi informasi dijadikan sebagai salah satu komponen penentuan kelulusan dari suatu sistem lembaga pendidikan. Wujud kolaborasi dan kemitraan antara pustakawan dan tenaga pengajar dapat tercermin dari keterlibatan pihak-pihak tersebut dalam proses mendisain kurikulum, pengajaran, evaluasi, dan assessment terhadap pelaksanaan literasi informasi.
Kesimpulan
Keberadaan kita pada era informasi ini membawa kita ke dalam suatu paradigma baru yang mengharuskan melakukan pendekatan-pendekatan baru di dalam merespon sejumlah isu penting yang berhubungan dengan penyelenggaraan perpustakaan sebagai bagian penting dari sistem pendidikan di Indonesia. Perkembangan ICTs telah menciptakan sejumlah peluang dan tantangan bagi perpustakaan. Implementasi ICTs di perpustakaan telah membuka kesempatan besar bagi perpustakaan untuk ikut serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan SDM yang berkualitas lewat berbagai layanan dan program pendidikan yang diselenggarakan di perpustakaan.
Literasi informasi dan konsep lifelong learning (pembelajaran sepanjang hayat) sebagai bagian dari paradigama baru dunia pendidikan sepatutnya diangkat sebagai salah satu agenda nasional. Karena itu, seluruh sistem nasional perpustakaan harus mengambil peran penting untuk mengimplementasikan kedua konsep tersebut di dalam penyelenggaraan perpustakaan secara khusus dan pendidikan pada umumnya.
Literasi informasi dan lifelong learning bukan hanya sebagai isu perpustakaan dan pendidikan saja, tetapi keduanya memiliki keterkaitan dengan isu-isu pembangunan ekonomi, kesehatan, layanan publik, dan aspek-aspek lainnya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai bagian utama dari sistem nasional perpustakaan diharapkan mengambil peran yang lebih besar dalam berbagai upaya memasyarakatkan dan mengimplementasikan literasi inforamasi di dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Peran Perpustakaan Nasional lewat pengembangan literasi informasi di Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap berbagai upaya peningkatan daya saing bangsa sebagai salah satu arah dan sasaran pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025. Karena itu, saatnya sekarang mengubah slogan “Information for All” menjadi “Information Literasi for All”.