Dunia Perpustakaan | Membaca merupakan salah satu perilaku yang senantiasa menjadi persoalan. Hampir setiap saat muncul kesan getir terkait budaya membaca masyarakat. Perilaku membaca belum menjadi tradisi positif masyarakat yang dijalankan dan dihayati. Budaya lisan lebih kentara ketimbang bergelut dengan teks-teks bacaan.
Persoalan rendahnya budaya membaca ini tentu tak bisa digeneralisir. Benarkah masyarakat tak memiliki budaya membaca? Anggota perpustakaan kota/kabupaten maupun perpustakaan daerah dari kalangan pelajar dan mahasiswa relatif ada, pun dari kalangan umum. Di meja perpustakaan, mereka asyik membaca. Fakta lainnya adalah kalangan masyarakat yang biasa membaca koran. Meskipun bukan buku, apa yang itu juga aktivitas membaca. Setiap pagi, masyarakat juga seringkali menuju papan-papan koran yang terletak di kampungnya.
Fakta-fakta di lapangan itu ternyata belum dianggap menggembirakan. Memang ada sebagian kelompok masyarakat yang suka membaca, tetapi tak sebanding dengan jumlah populasi penduduk. Taman bacaan masyarakat di kelurahan/desa belum menggairahkan masyarakat untuk membaca. Mahasiswa yang notabene merupakan bagian dari kalangan akademisi pun seringkali hanya mengandalkan catatan kuliah. Tidak ada yang dibaca mahasiswa kecuali apa yang dicatat dari keterangan dosen di depan kelas.
Paparan pentingnya budaya membaca telah banyak dikemukakan. Maka, upaya penumbuhan minat dan motivasi membaca harus terus-menerus dilakukan. Maraknya pendirian taman bacaan masyarakat dan penyelenggaraan pameran buku bisa menjadi solusi, tetapi bukan segalanya. Artinya, dibutuhkan upaya lain.
Satu hal penting adalah penumbuhan budaya membaca sejak dini agar menjadi perilaku yang melekat ketika remaja dan dewasa. Kalau mereka tidak dibiasakan gemar membaca sejak kecil, tidak dibiasakan akrab dengan buku, maka besar kemungkinan setelah dewasa pun tetap takkan gemar membaca. Kalaupun gemar membaca hanyalah memilih bacaan-bacaan hiburan belaka (Ajip Rosidi: 1983).
Lantas, kapankah anak ditanamkan kebiasaan membaca? Membaca, menulis, dan berhitung (calistung) yang dipraktikkan dalam pendidikan usia dini sebenarnya tak perlu menjadi masalah. Dengan metode yang sesuai dengan tahap perkembangan anak, calistung bukan hal yang memberatkan. Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar; dua hal tak terpisah. Anak melakukan calistung sembari bermain, atau bermain sambil mengasah kemampuan calistungnya.
Bahkan, pembentukan kemampuan membaca bisa dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Caranya, ibu membacakan bahan bacaan untuk janinnya. Ayah pun bisa memperdengarkan bacaan di hadapan janin dalam rahim ibu. Membacakan bahan bacaaan sejak anak dalam kandungan sampai duduk di bangku TK berdampak baik bagi pembentukan kemampuan membaca anak. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa 4.000-12.000 kosakata baru bisa didapatkan seorang anak dalam satu tahun melalui buku-buku yang dibacakan untuknya. Artinya, ada sekitar 24.000-72.000 kosakata dimiliki anak ketika menginjak usia 6 tahun.
Jika dikatakan usia dini merupakan masa emas (golden age), kemampuan membaca selayaknya juga diperhatikan. Beberapa pengalaman tokoh ternama pun menunjukkan hal demikian. Budaya membaca mereka tak datang seketika, namun dibentuk orangtuanya sejak dini. Sebut saja Frans Magnis Suseno yang mengaku pada usia 10 tahun sudah rakus membaca.
Sejak kecil ibunya selalu membacakan bahan bacaan setiap hari usai makan malam. Yang dibacakan bukan teori-teori yang berat, namun cerita-cerita. Ibunya juga memberikan buku, terutama buku-buku petualangan. Dari apa yang dibacakan atau buku-buku yang diberikan ibunya, tumbuhlah rasa ingin tahunya. Rasa ingin tahu dan aktivitas membaca Frans Magnis Suseno akhirnya terus terpupuk sampai tua.
Penumbuhan dan pembiasaan membaca sejak dini harus dimulai dari lingkungan keluarga. Orangtua berperan menumbuhkan kesukaan anak membaca. Adanya bahan-bahan bacaan atau perpustakaan di rumah dapat merangsang rasa ingin tahu anak untuk membaca.
Azyumardi Azra pernah memaparkan buku-buku yang ada di rumahnya ketika kecil. Karena ibunya adalah guru agama, buku-buku agama untuk mengajar tersedia di rumahnya. Selain itu, ada buku karya sastra seperti Salah Asuhan karya Abdul Moeis dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka. Sewaktu kecil, ia biasa membaca buku-buku cerita klasik.
Banyak tokoh lain yang tertanam kebiasaan membacanya sejak kecil. Kesadaran pentingnya membaca akhirnya semakin terbentuk sehingga dalam perjalanan pendidikan dan karirnya tak bisa lepas dari membaca. Dampak dari ketekunan dan tradisi membaca ini membentuk kemampuan menulis. Dari dua tokoh di atas, misalnya, karya-karya tulisnya telah banyak diterbitkan.
Membaca diakui sebagai salah satu kunci membangun bangsa. Kuatnya tradisi membaca berkait kelindan dengan peradaban sebuah bangsa, contohnya Jepang. Toeti Adhitama (2008) memaparkan bahwa ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang sampai sekarang. Seperti orang kehausan, mereka tak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan.
Untuk penduduk sekitar 120 juta orang lebih, di Jepang setiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, setiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan setiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan.
Dibutuhkan proses panjang untuk menumbuhkan tradisi membaca masyarakat. Upaya-upaya untuk melakukan hal tersebut harus terus dilakukan. Daoed Joesoef (2004) pun pernah berujar, “…budaya baca harus dimulai dari rumah, sedini mungkin.
Membaca harus dibiasakan oleh orang tua pada anak-anak begitu rupa sehingga hal itu lama-kelamaan dirasakan sebagai kebutuhan tersendiri yang perlu dipuaskan, sama halnya dengan kebutuhan akan makan dan minum.” Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama, sekaligus persemaian budaya membaca dan menulis.
(riaupos.co)