Perpustakaan S.14, Suami Istri ini Ubah Rumahnya Jadi Perpustakaan untuk Umum.
Dunia Perpustakaan | Mengabdi, Tulus, dan berbagi…
Tiga kata itu sepertinya cukup mewakili kisah seorang sepasang Suami-Istri Ucok dan Hera yang merelakan rumahnya sekaligus perpustakaan pribadi mereka untuk bisa dibuka untuk umum.
Berdasarkan liputan dari pikiran-rakyat [3/4/16] yang ditulis oleh Muhammad Fasha Rouf dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, kita bisa mendapatkan banyak pesan moral dan inspirasi dari yang sudah dilakukan oleh Ucok dan Hera.
Ketika banyak orang membangun rumahnya dengan pagar yang semakin tinggi, pertanda perlindungan terhadap kehidupan privasi, Ucokdan Hera menjadikan dinding rumahnya tinggi dengan buku-buku, dan ruang tengahnya menjadi galeri seni.
Siapapun boleh bertandang, tidak seorang pun dilarang. Ucok dan Hera memang memutuskan menjadikan rumah mereka sebagai laboratorium sosial.
“Awalnya kami merasa rumah ini terlalu besar, ada ruang tengah yang tidak terpakai. Hera menyulapnya jadi galeri seni,” ceritaUcok sambil mengelap kacamatanya.
Pada permulaannya, ruang seni itu khusus untuk menampilkan berbagai karya seniman perempuan. Lama-kelamaan, hal itu dirasa terlalu spesifik dan akhirnya ruang seni tersebut menjadi galeri bagi seniman yang membutuhkan tempat eksebisi.
Rumah mereka pun mulai diberi identitas dan dipromosikan dengan nama S.14 karena terletak di Jalan Sosiologi Nomor 14, Cigadung, Kota Bandung.
Tidak mudah untuk langsung menggabungkan antara kehidupan keluarga dan rumah yang terbuka bagi umum. “Tetapi lambat laun kami tidak terganggu dengan ruang privasi yang diintervensi publik. Hal itu akhirnya membuat kami nyaman. Kalau ada yang kami miliki, mengapa sulit untuk berbagi? Hal ini kami harapkan dapatmenjadi inspirasi bagi keluarga di sekitar kita,” ujar Ucok.
Kota Kembang yang disesaki dengan lembaga pendidikan tinggi, khususnya program studi seni, akan menghasilkan ratusan seniman setiap tahunnya. Hal itu menjadi argumentasi Ucok dan Hera bahwa ruang seni memang sangat dibutuhkan di kotaBandung. Selain itu, persaingan untuk menampilkan karya semakin sulit.
“Satu tesis kami ialah, semakin banyak ruang seni di kota ini, semakin baik pula bagi kehidupan keseniannya,” tutur Ucok.
Dinamika karya yang tampil di S.14 semakin beragam tetapi fokus S.14 saat ini adalah untuk memamerkan karya bagi seniman yang mampu merespons barang-barang bekas menjadi karya seni.
“Hal ini dirasa berkaitan dengan isu masyarakat Kota Bandung yang seringberhadapan dengan sampah setiap harinya. Selain itu, selama ini produk seni selalu dihasilkan dari sumber bahan baku yang baru. Misalnya kita membeli kanvas ke tukang kanvas,” tutur Ucok menjelaskan focus galeri seni S.14 dalam perekmbangannya.
Intergrasi Ruang Pamer dan Perpustakaan
Relasi antara kesenian dan barang bekas memang tidak sekadar wacana dari S.14. Pada 11 Maret 2016 lalu misalnya, di sana berlangsung pameran “Yume no Machine” karya Evan danAttina. Pameran itu banyak mengolah bahan dari kain bekas. Ide utama mereka adalah romantika pernikahan sepasang robot.
Warna-warni yang melekat di kaleng yang telah diolah dengan berbagai bentuk robot cantik pun memesona mata dan sarat akan makna. Apalagi, ketika tahu bahwa “Yume no Machine” adalah karya Evan danAttina yang merupakan pengantin baru. Betapa romantisnya, bulan madu dijalani dengan pameran karya.
Sebagai laboratorium sosial, buku-buku pun semakin melengkapi wacana karya seni. “Karena saya dan Hera memiliki banyak buku, terutama berkaitan dengan seni rupa, Dimas dan Lia pustakawan dari Unpad menyarankan agar kami membuka akses buku-buku ini. Kami memang memiliki buku langka, semisal majalah-majalah tahun 50-an,” ucap Ucok.
Pada2011, galeri seni S.14 mengintegrasikan diri dengan perpustakaan S.14, menjadikan S.14 sebagai ruang kreatif penting di Kota Bandung.
Fokus perpustakaan S.14 ialah menyediakan berbagai referensi mengenai seni, budaya, dan sejarah Indonesia. Menurut Ucok, buku dengan topik Indonesia sulit ditemukan di pasaran, begitu pun di banyak perpustakaan.
“Berbeda dengan berbagai referensi luar, di amazon.com saja misalnya, banyak sekali tersedia,” tutur Ucok dengan ekspresi cemas.
Kegelisahannya itu menciptakan obsesi tersendiri. Ucok meyakini bahwa di luar sana masih ada ribuan buku yang membahas betapa kayanya produk pemikiran dan kerja bangsa Indonesia.
“Pendeknya, saya ingin memiliki uang satu milyar, dan saya belanjakan semuanya untuk melengkapi koleksi pustaka kami.”
Independensi
Meskipun memilliki obsesi demikian, S.14 sama sekali tidak membangun relasi dengan pemerintah dalam bentuk kerja sama atau sumbangan dana. Independensi S.14 dalam membangun wacana di ruang public ingin dijaga.
“Jangankan dengan pemerintah, sampai saat ini pun kami masih tidak menerima sumbangan dari lembaga donator manapun, apalagi luar negeri. Bukannya kami tak bias tetapi kami paham bahwa nantinya setiap anggaran yang digunakan mesti dilaporkan penggunaannya dan pada akhirnya kami akandikontrol oleh donatur,” tuturnya.
Ucok menegaskan konsep pengelolaan swadaya yang digunakan. Sebagai seniman dan juga akademisi, Ucok dan Hera terus membaca permasalahan sosial di masyarakat Indonesia.
Menurut Ucok, masyarakat yang sehat ialah masyarakat yang mampu menjalankan komunikasi yang baik, tanpa distorsi makna dan mispersepsi yang terlalu banyak.
“Memang, permasalahan itu kompleks, tetapi salah satu variabel yang memengaruhinya ialah dengan membaca. Kalau dalam ilmu hadist, harus jelas sanadnya. Pun di ruang public itu harus jelas kita berpikir memakai landasan pikiran siapa, jangan asal ngomong dalam sebuah permusyawarahan,” kata Ucok menjelaskan dengan semangat.
Ucok menutup perbincangan dengan mengajak masyarakat agar meningkatkan minat baca dan apresiasinya terhadap seni, budaya, dan sejarah Indonesia.
“Persuasi ini memang klise, tapi lebih klise lagi kalau pemerintah yang membicarakannya,” ujar Ucok menyindir.
Memang, kata-kata yang berbunyi ialah kata-kata yang keluar dari orang yang berjuang pada apa yang dikatakannya.