Dunia Perpustakaan | Kritik Terhadap Organisasi Kepustakawanan | Tulisan ini sebenernya ingin saya tulis agak panjang dengan judul “Kritik Terhadap Organisasi Kepustakawanan di Indonesia: Antara Norma, Profesionalisme, dan Realita”. Namun karena adanya penyesuaian Optimasi judul, saya singkat hanya dengan judul awalnya saja “Kritik Terhadap Organisasi Kepustakawanan di Indonesia”.
Dari awal saya teramat sangat menekankan kepada pembaca, untuk tidak terjebak pada kontroversi debat kusir yang tak berguna. Jika memang kritik saya dilihat dari sudut pandang yang berbeda, silahkan saja, semua berhak mengeluarkan opini dan pendapat masing-masing.
Tulisan ini saya tujukan untuk pihak yang memang masuk kriteria mendapatkan kritik dan masukan ini. Bagi organisasi kepustakawanan atau anggotanya yang sudah MERASA PROFESIONAL dan sudah sangat hebat dan PERFECT dalam menjalankan organisasi kepustakawananya, mohon ABAIKAN saja tulisan ini.
Saya SANGAT gregetan untuk menuliskan ini karena kebetulan saya sedang mengingat-ingat saat masih jadi Mahasiswa Ilmu Perpustakaan hingga sekarang yang memang tak pernah henti mengamati, melihat, bahkan jadi bagian langsung yang semuanya tak lepas dari bidang dunia perpustakaan.
Saya sangat ingat, bagaimana orang-orang yang dahulu saat jadi mahasiswa, hingga saat menjadi pustakawan yang belum menjadi bagian dari organisasi kepustakawanan tertentu, mereka sangat IDEALIS dan KRITIS. Namun ternyata, setelah mereka masuk ke bagian dari beberapa organisasi kepustakawanan, ternyata sama saja, dan justru menurut pendapat saya sudah sangat jauh dari saat awal-awal kenal mereka.
Harapan saya, setelah membaca tulisan ini, mereka kembali menjadi orang-orang IDEALIS yang saya kenal dan mampu MENGUBAH dan MEMPERBAIKI dari dalam organisasi kepustakawanan yang mereka terlibat didalamnya.
Melihat Realita Organisasi Kepustakawanan di Indonesia
Organisasi kepustakawanan di Indonesia kerap menampilkan diri sebagai entitas yang normatif dan profesional. Mereka mengadakan seminar, workshop, dan berbagai kegiatan yang tampak membanggakan. Namun, ketika kita menggali lebih dalam, muncul kenyataan bahwa organisasi-organisasi ini masih gagal memberikan solusi konkret atas persoalan mendasar yang dihadapi dunia perpustakaan di Indonesia.
Kalaupun masih tidak mau disebut gagal, minimal mereka memang masih jauh kata berhasil untuk membantu memecahkan masalah di bidang dunia mereka sendiri.
Contoh hal yang sangat mendasar misalnya; mereka bilang organisasi yang berjuang memajukan literasi masyarakat di Indonesia. Namun faktanya, tidak ada yang berani menjamin kalau mereka adalah sekelompok yang suka membaca?
Bahkan mungkin mereka akan malu melihat hasil jika dilakukan penelitian secara JUJUR, ternyata minat baca para pejuang literasi ini sangat rendah?
Tiga persoalan tersebut diatas hanyalah salah satu masalah yang akan saya bahas bersama dengan masalah-masalah lainya.
Setidaknya ada beberapa masalah substansial dan mendasar yang menurut saya belum terselesaikan dan jauh dari kata terselesaikan oleh organisasi kepustakawanan di Indonesia.
Pertama adalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, kedua rendahnya gaji pengelola perpustakaan sekolah, dan yang ketiga adalah minimnya anggaran untuk perpustakaan.
Secara singkat akan saya berikan ulasanya.
Apakah Semua Anggota Suka Membaca?
Salah satu ironi besar dalam organisasi kepustakawanan adalah pertanyaan sederhana: apakah semua anggota organisasi tersebut adalah orang yang suka membaca? Jawabannya sering kali mengecewakan. Tidak jarang ditemukan bahwa anggota organisasi yang seharusnya menjadi teladan justru tidak memiliki kebiasaan membaca yang kuat. Bagaimana mungkin mereka dapat mendorong masyarakat untuk gemar membaca jika mereka sendiri tidak menunjukkan minat yang sama?
Rendahnya Minat Baca: Problematika yang Tak Terselesaikan
Rendahnya minat baca di Indonesia bukanlah isu baru. Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Ironisnya, organisasi kepustakawanan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan masalah ini, sering kali hanya terjebak dalam kegiatan yang bersifat seremonial dan normatif. Bahkan untuk meningkatkan Minat Baca pada diri mereka sendiri sampai sekarang juga masih tak mampu mereka atasi. Tapi tetap saja mereka masih sok percaya diri kalau mereka adalah para pejuang literasi?
Sebenernya mereka sedang berjuang untuk meningkatkan literasi atau berjuang untuk nasib diri mereka sendiri?
Normatif dan Sok Profesional: Realita di Balik Layar
Kegiatan organisasi kepustakawanan sering kali dihiasi dengan jargon-jargon yang terkesan canggih dan profesional. Mereka mengundang pembicara dari pakar dan ahli yang mereka seleksi dari dalam hingga luar negeri. Biasanya biar terlihat punya kegiatan, mereka mengadakan pelatihan berbiaya mahal, dan memproduksi berbagai publikasi. Namun, substansi dari kegiatan-kegiatan tersebut kerap kali tidak menyentuh akar permasalahan. Banyak kegiatan yang hanya berfokus pada teori dan konsep tanpa implementasi yang jelas dan terukur.
Ketidaksiapan dalam Menangani Masalah Dasar
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak organisasi kepustakawanan tidak siap menghadapi tantangan mendasar yang ada. Sebagai contoh, belum ada program atau inisiatif yang benar-benar efektif dalam meningkatkan minat baca masyarakat secara luas. Mereka lebih sering menggelar acara yang hanya diikuti oleh segelintir peserta yang sudah memiliki minat baca tinggi, sehingga dampaknya sangat terbatas.
Rendahnya Gaji Pengelola Perpustakaan Sekolah: Masalah yang Terabaikan
Selain masalah minat baca, rendahnya gaji pengelola perpustakaan sekolah merupakan persoalan lain yang belum mendapat perhatian serius dari organisasi kepustakawanan. Pengelola perpustakaan, terutama di sekolah-sekolah, sering kali mendapat gaji yang jauh dari layak. Mereka bekerja dengan dedikasi tinggi namun tidak mendapatkan imbalan yang sesuai.
[Baca juga: Gaji Pustakawan di Perpustakaan Sekolah Lebih Rendah dari Kuli Bangunan]
Kondisi ini mencerminkan kurangnya apresiasi terhadap peran penting yang dimainkan oleh pengelola perpustakaan dalam memajukan literasi dan pendidikan. Hingga kini, belum ada gerakan nyata dari organisasi kepustakawanan yang mampu memberikan solusi atas masalah ini. Mereka lebih sibuk dengan kegiatan formal dan normatif daripada memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan pengelola perpustakaan.
Minimnya Anggaran untuk Perpustakaan: Realita yang Memprihatinkan
Meski aturan dan undang-undang mengenai anggaran perpustakaan sudah ada, kenyataannya banyak perpustakaan di Indonesia masih kekurangan dana. Anggaran yang minim ini berimbas pada kualitas layanan perpustakaan, ketersediaan koleksi buku yang terbaru, fasilitas yang memadai, serta program-program yang inovatif untuk menarik minat baca masyarakat. Organisasi kepustakawanan seharusnya berperan aktif dalam mendorong peningkatan anggaran perpustakaan melalui advokasi dan lobi kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Solusi yang Diperlukan
Organisasi kepustakawanan harus segera melakukan introspeksi dan transformasi yang nyata. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
#1. Membuat Program yang Berfokus pada Aksi Nyata
Alih-alih terus berkutat dengan kegiatan normatif, organisasi harus mulai menyusun program yang langsung berdampak pada peningkatan minat baca masyarakat.
#2. Mengukur dan Mengevaluasi Dampak Program
Setiap program yang dijalankan harus memiliki mekanisme evaluasi yang jelas untuk mengukur efektivitasnya. Data ini kemudian harus digunakan untuk melakukan perbaikan berkelanjutan.
#3. Menggerakkan Seluruh Anggota
Organisasi harus memastikan bahwa semua anggotanya memiliki kecintaan pada membaca. Ini bisa dimulai dengan program internal yang mendorong anggota untuk membaca dan berdiskusi tentang buku secara rutin.
#4. Memperjuangkan Kesejahteraan Pengelola Perpustakaan
Organisasi harus aktif memperjuangkan kenaikan gaji dan perbaikan kesejahteraan bagi pengelola perpustakaan sekolah. Ini bisa dilakukan melalui advokasi kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait.
#5. Mendorong Peningkatan Anggaran Perpustakaan
Organisasi kepustakawanan harus lebih vokal dalam menuntut peningkatan anggaran perpustakaan. Ini termasuk mengadakan kampanye publik, lobi kepada pembuat kebijakan, dan berkolaborasi dengan media untuk menyuarakan pentingnya investasi yang lebih besar di sektor perpustakaan.
#6. Kolaborasi dengan Berbagai Pihak
Masalah rendahnya minat baca, kesejahteraan pengelola perpustakaan, dan minimnya anggaran bukanlah isu yang bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk sekolah, pemerintah, dan sektor swasta.
#7. Pemanfaatan Teknologi
Di era digital ini, organisasi kepustakawanan harus mampu memanfaatkan teknologi untuk menarik minat baca. Misalnya, dengan mengembangkan aplikasi perpustakaan digital yang user-friendly dan menarik bagi generasi muda.
Kesimpulan
Organisasi kepustakawanan di Indonesia perlu bergerak dari zona nyaman yang normatif dan sok profesional menuju tindakan nyata yang berdampak. Mereka harus mampu menghadirkan solusi atas persoalan rendahnya minat baca, kesejahteraan pengelola perpustakaan, dan minimnya anggaran perpustakaan dengan program yang terukur dan kolaboratif. Tanpa itu, organisasi-organisasi ini hanya akan menjadi simbol tanpa substansi, bergerak dalam lingkaran rutinitas tanpa mampu menghadirkan perubahan berarti bagi masyarakat. Semoga tulisan Kritik Terhadap Organisasi Kepustakawanan di Indonesia ini bisa diterima dengan bijak, bukan dengan EMOSI dan EGO personal karena sudah merasa menjadi organisasi yang tak butuh kritik.