Strategi Peningkatan Mutu Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi

Strategi Peningkatan Mutu Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi

Dunia Perpustakaan | Perpustakaan Perguruan Tinggi | Tulisan ini membahas terkait dengan Strategi Peningkatan Mutu Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi, yang didalamnya dibahas mulai dengan strategi hingga soal pendanaan dan terkait lainya.

Abstrak

Artikel ini membahas tentang bagaimana meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi. Mutu perpustakaan dapat diartikan sebagai sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses, baik dalam kegiatan jangka pendek mauapun jangka panjang. Adapun serangkaian proses menciptakan mutu perpustakaan dapat di spesifikasikan dalam tiga hal, yaitu memperhatikan mutu input, mutu proses dan konteks serta mutu outcome.

Artinya perncapaian mutu dilihat secara input memiliki kesiapan mental, adanya proses layanan yang didukung dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan outcomes yang berkualitas sebagai produk dari rangkaian sebelumnya.

(Baca juga: Penguatan Peran Perpustakaan Perguruan Tinggi)

Selanjutnya untuk meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi setidaknya memerlukan strategi khusus, dengan harapan agar tujuan yang direncanakan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Strategi khusus yang dimaksud antara lain: perencanaan strategis, penerapan prinsip learning organization, serta berorientasi kepada kepuasan dan kebutuhan pemustaka dengan mempersiapkan kualitas koleksi, SDM, layanan, komitmen petugas serta dukungan dana yang cukup.

Pendahuluan

Keberadaan perguruan tinggi sebagai salah satu ujung tombak peningkatan sumber daya manusia dibidang pendidikan adalah suatu kenyataan yang tidak terbantahkan. Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi yang berperan memajukan pembangunan bangsa memerlukan sebuah sarana pusat informasi dan dokumentasi sebagai sumber belajar yang dikelola secara baik, mudah, cepat dan tepat.

Keberadaan perpustakaan sebagai salah satu pusat sumber belajar pada perguruan tinggi merupakan amanah Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 butir 20, yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Pada sisi yang sama, peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 juga dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki antara lain buku dan sumber belajar lainnya.

Dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat dimaknai bahwa disetiap satuan pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan pusat sumber belajar berupa perpustakaan sebagai pendukung proses pembelajaran sekaligus sebagai pusat informasi akademik.

Apalagi perpustakaan sebagai jantung sekaligus pusat sumber belajar pada perguruan tinggi mutlak diperlukan.

Dalam era informasi dan komunikasi, dimana antar negara yang satu dan yang lain seakan menjadi satu akibat begitu mudahnya transfer informasi dilakukan menuntut individu-individu masa kini dan institusi perguruan tinggi unggulan menerapkan strategi khusus dalam menghadapinya.

Berbagai macam strategi memang perlu dipakai, agar individu dan institusi perguruan tinggi tidak terlindas dan tertinggal jauh dibelakang individu-individu dan institusi perguruan tinggi lain.

Strategy

Banyak stretegi khusus yang dilakukan, misalnya penekanan terhadap pengembangan research bagi seluruh civitas akademika terutama staf pengajarnya sebagai upaya menuju research university.

Ada yang menekankan pada pengembangan particular skills keterampilan-keterampilan khusus bagi mahasiswanya agar sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Bahkan terdapat pula beberapa perguruan tinggi berlevel best universities in the world yang menerapkan gabungan dua penekanan strategi akademis tersebut, meskipun secara umum mereka terkenal dengan research universities.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa satu prasyarat utama yang tidak bisa dikesampingkan oleh institusi perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas dan mutu akademik, serta menuju perguruan tinggi berkelas dunia world class university adalah pengembangan library and information center.

Meningkatkan kualitas pepustakaan dan pusat informasi perguruan tinggi adalah penting karena salah satu yang dipakai untuk mengukur apakah perguruan tinggi itu maju atau tidak yaitu mutu perpustakaan (USNEWS Edisi 2006).

Bersandar dari pernyataan tersebut, maka sebuah pertanyaan penting adalah bagaimana meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi dilihat dari aspek manajemen pengelolaan perpustakaan. Untuk itu, tulisan ini secara khusus akan membahas strategi peningkatan mutu perpustakaan perguruan tinggi dalam perspektif manajemen.

Proses Pencapaian Mutu Perpustakaan

Mutu perpustakaan pada hakikatnya memang tidak bisa dirumuskan secara mutlak, karena rumusannya akan tergantung pada seberapa luasnya perspektif yang hendak dijangkau dan siapa yang hendak merumuskannya.

Namun mutu perpustakaan sering kali dirumuskan sebagai akhir dari sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses, baik dalam kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan dalam proses pencapaian tersebut melibatkan berbagai unsur lainnya secara internal dan eksternal.

Serangkaian proses pencapaian mutu perpustakaan dapat dispesifikasikan dalam tigal hal, diantaranya:

Pertama,

mutu input perpustakaan; meliputi kecakapan pustakawan, pengelola/kepala perpustakaan, staf layanan dan administrasi.

Kedua,

mutu proses dan konteks; proses pencapaian mutu perpustakaan melalui mutu layanan, mutu koleksi dan mutu efektif serta efisiensi dalam proses penelusuran sebuah informasi, serta dukungan lembaga dan masyarakat.

Ketiga,

mutu outcome; layanan perpustakaan yang prima, memuaskan dan koleksi yang bermutu serta sangat menunjang terhadap proses pembelajaran civitas akademikanya. Secara konsep, kesemua unsur tersebut saling berinteraksi dan ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Ketiga dimensi penentu mutu perpustakaan secara fundamental merupakan suatu setting dari perpustakaan yang mencerminkan kualitas proses dan outcomes. Oleh karena itu rangkaian logis (logical sequence) proses pencapaian mutu perpustakaan adalah adanya input yang memiliki kesiapan mental, adanya proses layanan yang didukung dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna serta menghasilkan outcomes yang berkualitas sebagai produk dari rangkaian proses sebelumnya.

Apakah mutu perpustakaan bisa dirumuskan seperti itu? Jawabnya bisa. Mengingat bahwa mutu perpustakaan perguruan tinggi dipahami dan diinterpretasikan secara beragam.

Namun secara konkret, mutu perpustakaan dapat dipakai dan diinterpretasikan dengan beberapa hal;
Pertama, sebuah perpustakaan perguruan tinggi harus merencanakan dan memiliki tujuan yang jelas, pasti dan berpandangan secara luas.

Kedua adanya suatu pendekatan pengukuran atau pelaksanaan evaluasi secara rutin yang memungkinkan variabel penting dapat diidentifikasi, dipertimbangkan dan diukur.

Ketiga adanya suatu kerangka kerja untuk proses penyempurnaan, yang secara komprehensif meliputi komponen-komponen yang berkaitan dengan sistem perpustakaan dan memberikan peluang bagi perubahan.

Dengan demikian, maka sebagai langkah awal dalam meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi harus diupayakan suatu strategi agar tujuan-tujuan yang direncanakan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Beberapa strategi berikut kiranya dapat diaplikasikan yaitu: perencanaan strategis dengan pendekatan analisis SWOT, penerapan prinsip learning organization sebagai bentuk pembelajaran institusi sekaligus evaluasi menuju perubahan dan perbaikan, serta berorientasi kepada kepuasan dan kebutuhan pemustaka dengan mempersiapkan kualitas koleksi, kualitas SDM, kualitas layanan, komitmen petugas serta dukungan dana yang cukup.

Perencanaan Strategis

Perencanaan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat masa depan yang diinginkan lebih baik dari masa sekarang. Menurut Bryson perencanaan memiliki tiga tahapan: pertama, pemikiran strategis untuk menemukan aspek visi, misi, strategi yang akan digunakan.

Kedua, perencanaan jangka panjang untuk mengkombinasikan pemikiran intuitif dan pemikiran analitis sehingga menghasilkan proyeksi pemikiran masa depan dalam upaya mewujudkan visi, misi dan strategi. Ketiga, tahap perencanaan taktis yang merupakan langkah operasional sehari-hari dari suatu organisasi (Bryson. 1998: 98).

Setelah selesai analisa visi, misi maupun mandat, langkah selanjutnya menurut Bryson adalah analisa SWOT untuk menganalisa lingkungan internal dan eksternal.

Lingkungan internal

Lingkungan internal dapat dikelompokan menjadi:

  1. sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya dana, dan sumber daya teknologi.
  2. proses,
  3. output. Sedangkan lingkungan eksternal adalah perubahan lingkungan dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun teknologi dan lingkungan pelanggan, pesaing, dan kerjasama (Bryson, 1998: 95-103).

Analisis SWOT merupakan instrumen perencanaan strategi yang biasa dipergunakan pada dunia pendidikan, termasuk juga perpustakaan didalamnya.

Dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan perpustakan, akan didapatkan peluang untuk mengatasi ancaman dan meminimalkan kelemahan. Dalam hal ini sekedar sebagai pandangan, untuk kasus perpustakaan perguruan tinggi misalnya, faktor kekuatan, kelemahan dan peluang bisa digambarkan antara lain sebagai berikut:

a. Kekuatan

  • Kepemilikan koleksi yang banyak
  • Sistem otomasi perpustakaan (dapat diperoleh secara gratis, seperti : program Senayan).
  • Pustakawan dan pengelola berijazah ilmu perpustakaan dan informasi.

b. Kelemahan

  • Kualitas pelayanan belum optimal
  • Minimnya upaya pemasaran jasa perpustakaan.
  • Anggaran perpustakaan kurang dari standar (kurang dari 5%) dari anggaran perguruan tinggi.
  • Rendahnya kemampuan berbahasa asing bagi pustakawan
  • Rendahnya kemampuan menulis dan meneliti bagi pustakawan
  • Respon pada kebutuhan user masih rendah
  • Sarana dan prasarana yang terbatas.

c. Tantangan

  • Pimpinan dan pengambil kebijakan yang tidak memahami pentingnya perpustakaan
  • Jumlah anggota yang banyak, yakni seluruh civitas akademika perguruan tinggi yang bersangkutan.
  • Petugas layanan yang berpenampilan kaku, serta tidak ramah.
  • Beragamnya pemustaka yang terdiri atas mahasiswa, dosen, peneliti, guru besar dan sebagainya.

d. Peluang

  • Dana bantuan dari pemerintah dan luar negeri
  • Melimpahnya jumlah anggota perpustakaan perguruan tinggi
  • Pustakawan yang berpengalaman dan berijazah ilmu perpustakaan
  • Kerja sama dengan perpustakaan lain, atau pusat sumber belajar, pusat penjaminan mutu akademik dilingkungan kampus.
  • Kepemilikan sistem otomasi perpustakaan secara online.
  • Adanya pusat badan kerja sama (Pusbangker) pada tiap-tiap perguruan tinggi sebagai fasilitator dalam melakukan hubungan kerjasama antar pusat informasi, dokumentasi dan perpustakaan.

Kelemahan-kelemahan yang secara umum terdapat pada perpustakaan perguruan tinggi haruslah segera diupayakan jalan keluarnya. Upaya memasarkan produk perpustakaan perguruan tinggi bisa lebih gencar dilakukan dengan cara yang lebih kreatif dan menarik.

Pencarian dana juga harus dilakukan dengan lebih kreatif tidak semata-mata mengandalkan bantuan dari pemerintah. Pelayanan lebih ditingkatkan disemua segmen dan lini. Koleksi yang ada lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka utama atau civitas akademika.

Kemampuan meneliti, menulis dan berbahasa asing dapat ditingkatkan dengan diklat ataupun kursus jurnalistik dan bahasa asing. Serta keterbatasan sarana dan prasarana diupayakan dengan mencari bantuan hibah, dan sebagainya.

Peluang yang ada diperpustakaan perguruan tinggi hendaknya dioptimalkan untuk mengatasi kelemahan. Apa yang menjadi penyebab meningkatnya animo mahasiswa ataupun masyarakat berkunjung dan mempergunakan jasa perpustakaan bisa dijadikan bahan evaluasi.

Peluang dana bantuan dan kerjasama dengan lembaga lain baik dalam maupun luar negeri harus diapresiasi dan dimanfaatkan se-efektif mungkin. Kekuatan yang sudah ada di perpustakaan perguruan tinggi haruslah dipertahankan bahkan ditingkatkan lagi. Tantangan juga harus diantisipasi dengan berbagai usaha.

Learning Organization

Perpustakaan perguruan tinggi haruslah mau belajar terus menerus berkelanjutan dan tidak takut dengan perubahan dan persaingan, seperti kata pepatah If you don?t change you die. Oleh karena itu dibutuhkan kejelian dalam mengelola perpustakaan perguruan tinggi.

Peluang harus diditangkap dengan cermat, strategi harus dicanangkan, dan promosi perpustakaan harus dilakukan dengan cepat dan teliti. Untuk itu institusi perpustakaan perguruan tinggi harus dikondisikan untuk siap menghadapi berbagai tantangan.

Tantangan dijadikan sebuah peluang. Inovasi harus terus berjalan karena belajar atau learning bagi suatu institusi adalah syarat mutlak untuk mempertahankan eksistensi dan menaikan mutu organisasi perpustakaan.

Peter M. Senge berteori tentang disiplin kelima (The Fifth Discipline), yaitu:

  1. Pertama, keahlian pribadi (personal mastery), yaitu belajar untuk meningkatkan kualitas pribadi yang mendorong semua anggota untuk mengembangkan diri mereka ke arah sasaran dan tujuan yang mereka pilih serta senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (change).
  2. Kedua, model mental, yang dilakukan dengan terus melakukan perenungan, mengklarifikasi, memperbaiki gambaran dan senantiasa menyenangkan pihak lain.
  3. Ketiga, membangun visi bersama, yaitu komitmen dalam kelompok tentang masa depan yang direncanakan bersama.
  4. Keempat, learning organization, yaitu mengubah keahlian berkata dan berfikir secara kolektif sehingga kelompok manusia dapat lebih mengembangkan kecerdasan dan kemampuannya.
  5. Kelima, berfikir sistemik (system thinking), yaitu suatu kekuatan berfikir untuk menguraikan atau memahami kekuatan antar hubungan yang membentuk perilaku sistem (Peter M Senge. 2002: 10-11).

Para ahli manajemen modern melihat learning organization sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan, dan transfer pengetahuan yang selanjutnya diharapkan mampu memperbaiki perilaku sebagai penjabaran dari wawasan dan pengetahuan yang baru serta dapat membawa perubahan perilaku yang akan menuntun pada perbaikan dan peningkatan kinerja

(Slater, S.F.&Narver J.C. 1995: 63-74). Dalam hal ini perpustakaan perguruan tinggi harus melakukan perubahan paradigama dan cultural transformation yakni menjadi center information yang prima.

Berorientasi Pengguna

Dalam rangka menciptakan keunggulan bersaing dalam strategi bersaing, David Osborne dan Ted Gaebler menandaskan bahwa kebiasaan yang harus dikembangkan pada pelanggan adalah:

(a) selalu tepat waktu.

(b) selalu menindaklanjuti janji.

(c) tidak mengumbar janji.

(d) selalu berusaha berbuat baik lagi.

(e) memberikan pilihan.

(f) memperlakukan pelanggan dengan baik, serta

(g) kontak langsung secara ramah

(O?hara B.S.&Bolesand Johnston, M.W. 1991: 1). Konsep berorientasi kepada pelanggan menurut Lovelock, Wirtz dan Keh harus senantiasa memberikan informasi kepada pelanggan, memberikan penawaran yang terbaik, dan mampu menyelesaikan permasalahan pelanggan yang berhubungan dengan pelayanan (Christoper Lovelock dkk. 2002 :157).

Kepuasan pengguna

Untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna perpustakaan bisa melakukan survey dan mendata semua keluhan yang dirasakan pelanggan. Masukan-masukan dari pelanggan juga bisa dilakukan dengan survey. Menurut prinsip-prinsip Total Quality Management, definisi kualitas yang paling bermakna adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas.

Menurut Sallis tujuan dari setiap anggota dalam manajemen ini adalah menciptakan budaya mutu untuk kepuasan pelanggannya.

Sedangkan Peter dan Warman menyatakan bahwa dalam Total Quality Management budaya organisasi yang didukung dan ditentukan oleh pencapaian kepuasan pelanggan secara terus menerus melalui sistem terintegrasi yang terdiri dari bermacam alat, teknik dan pelatihan-pelatihan

(Husaini Usman, 2006: 462-467). Jadi esensi TQM ialah cara pengorganisasian dan keterlibatan seluruh anggota organisasi, yakni setiap bagian, setiap aktifitas, setiap orang di semua level yang memiliki seperangkat prinsip, seperangkat komponen, seperangkat keuntungan dari Total Quality Management.

Diantara prinsip dari TQM adalah: mengutamakan kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta dan perbaikan secara terus menerus (Lasa HS. 2005: 24). Sedangkan Andrew Taylor & Frances Hill mengungkapkan bahwa prinsip TQM mencakup antara lain:

TQM membutuhkan komitmen dan keterlibatan semua anggota organisasi secara terus menerus, TQM membutuhkan sistem informasi yang akurat, makna pelanggan disini adalah pelanggan internal dan eksternal serta mendukung pentingnya hubungan internal para pegawai (Husaini Usman. 2006: 43-49).

Keuntungan TQM

Dari seperangkat prinsip di atas, TQM memiliki keuntungan:

  1. Pertama, memfokuskan pada pentingnya tim antar bidang dengan kombinasi staf akademik dan administrasi.
  2. Kedua, menyokong perbaikan pengorganisasian secara berkelanjutan.
  3. Ketiga, meningkatkan tingkat kepuasan eksternal pelanggan.
  4. Keempat, Menghemat biaya operasional secara nyata.
  5. Kelima, memperbaiki komitmen, moral, dan motivasi pegawai.
  6. Keenam, sebuah cara baru dalam memenej organisasi yang mengunggulkan tujuan kesamaan yang luas, akuntabel, dan keterlibatan seluruh anggota organisasi ((Husaini Usman. 2006: 45).

Misi utama manajemen ini adalah kepuasan pelanggan. Semua organisasi yang ingin mempertahankan keberadaannya harus berobsesi pada mutu. Mutu harus sesuai dengan yang dipersyaratkan pelanggan. Mutu adalah keinginan pelanggan bukan keinginan institusi perpustakaan.

Tanpa layanan dan penyediaan informasi yang bermutu serta sesuai dengan keinginan pemustaka, maka perpustakaan perguruan tinggi boleh jadi hanya tinggal namanya saja.

Jadi institusi perpustakaan perguruan tinggi harus mempunyai mekanisme tentang tempat yang umumnya menentukan kebutuhan dan persepsi pemustaka. Kemudian institusi perpustakaan perguruan tinggi harus mampu merespon informasi ini dalam satu kerangka waktu (time-frime) yang tepat.

Pemustaka adalah raja

Karena pemustaka adalah raja yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Meskipun suatu perpustakaan perguruan tinggi sudah berfokus kepada pemustaka atau pengguna, hal itu bukan berarti institusi tersebut tidak membutuhkan strategi yang lengkap untuk menemukan persyaratan yang diinginkan pelanggan.

Dalam hal ini perpustakaan perguruan tinggi akan berhadapan dengan tantangan yang lebih berat dalam berhubungan dengan pemustaka eksternal karena harapan mereka bermacam-macam, dari latar belakang dan kepentingan yang berbeda, bisa jadi malah keinginan mereka saling berbenturan satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu pendekatan strategis harus dilakukan. Akan tetapi juga bukan berarti pemustaka internal dilupakan karena setiap orang dalam suatu perpustakaan bukan hanya seorang penyalur (suplier) tetapi juga seorang pemustaka bagi yang lainnya serta harus tetap diperhatikan.

Akar persoalan

Kegiatan mencari akar persoalan, dan memilih solusinya kemudian mengimplementasikan perbaikan-perbaikan dilakukan oleh semua pustakawan ini biasanya didukung oleh tim pengembangan yang memfokuskan kepada tujuan perpustakaan.

TQM mempunyai banyak arti, terutama berkaitan dengan perbaikan institusi perpustakaan dengan memfokuskan kepada pelanggan berupa pemustaka yang dicapai melalui pengelompokan pustakawan dan staf perpustakaan dalam berbagai tingkatan di struktur organisasi perpustakaan.

TQM berpandangan bahwa semua pustakawan dan staf perpustakaan berdampak pada kualitas layanan dan penyediaan informasi yang disajikan. Sistem dan proses dari perpustakaan dianggap sama tingginya dengan informasi yang disediakan, layanan yang disajikan dan output-nya.

Agar pemustaka merasa puas, perpustakaan perguruan tinggi bekerja keras menjamin mutu layanan dan penyediaan informasi setidaknya dalam tiga hal, yaitu pustakawan, program kerja dan proses (fasilitas atau sarana dan prasarana penunjang kegiatan layanan, penyediaan informasi berbasis TI, sarana belajar bagi pemustaka yang nyaman dan sebagainya).

Pustakawan harus mempunyai kompetensi yang kuat dibidang perpustakaan dan pengembangannya. Program kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka, khususnya menunjang dan mendukung kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Kualitas Pelayanan

Parasuraman, et.al. dalam Fitzsimmons menyatakan bahwa kualitas pelayanan suatu organisasi bisa diukur dengan ukuran-ukuran yang baku, yaitu antara lain:

  • – Tangibles, yaitu bukti fisik kemampuan suatu organisasi dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan kemampuan suatu organisasi dalam sarana dan prasarana fisik dan keadaan lingkungan menjadi bukti nyata pelayanan yang meliputi fasilitas fisik seperti gedung, infrastruktur, sarana dan prasarana lainnya.
  • – Reliabilitas, atau keandalan organisasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja sesuai dengan yang diharapkan pelanggan seperti tepat waktu, simpatik, tidak berbuat kesalahan, dan sebagainya.
  • – Responsiveness, yaitu ketanggapan untuk memberikan pelayanan yang cepat dan tepat pada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
  • – Assurance, atau jaminan dan kepastian berupa pengetahuan maupun sikap sopan santun, dan menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Komponennya yaitu terdiri dari komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi dan sopan santun.
  • – Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka (James A. Fitzsimmons. 2001: 16).

6 Kriteria untuk mengukur kualitas

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gronroos, pada tahun 1990 menunjukan bahwa setidaknya terdapat enam kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas suatu pelayanan, yaitu:

  1. Pertama, profesionalisme dan keterampilan karyawan.
  2. Kedua, sikap dan perilaku.
  3. Ketiga, fleksibilitas dan kelenturan.
  4. Keempat, kehandalan dan kepercayaan.
  5. Kelima, pemulihan atau recovery, dan keenam, reputasi dan kredibilitas (Johnson Robert. 1995: 55).

Rogers menyatakan bahwa, faktor kunci pembentuk kapabilitas internal organisasi, dalam hal pelayanan jasa adalah sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam pelayanan kepada pelanggan (Rogers, et.al. 1994: 14).

Melihat beberapa pendapat di atas, maka dalam hal ini pustakawan adalah orang yang berperan sebagai frontliners yang melakukan kegiatan pelayanan langsung kepada pemustaka.

Peran kontributif pustakawan sangat menunjang keberhasilan pembelajaran pemustaka, khususnya dalam penelusuran informasi serta menunjukan alternatif jawaban dan solusi melalui berbagai koleksi yang ada.

1. Pustakawan

Penyelenggaraan perpustakaan perguruan tinggi yang baik tidak mungkin terlaksana jika tidak tersedia pustakawan yang memiliki perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang baik guna membantu suksesnya pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Artinya pustakawan yang profesional adalah pustakawan yang melaksanakan tugas kepustakawanannya dengan kemampuan tinggi (high proficiency) serta dituntut mempunyai keragaman kecakapan (various cempetencies) yang bersifat psikologis yang meliputi tiga dimensi, yaitu cognitive competence (kecakapan ranah cipta), affective competence (kecakapan ranah rasa) dan psychomotorik competence (kecakapan ranah karsa) (Dreher. 2001: 30).

Strategi peningkatan mutu pustakawan pada perpustakaan perguruan tinggi bisa dilakukan dengan:

  • Rekruitmen calon pustakawan yang berijazah ilmu perpustakaan dan informasi.
  • Memiliki keterampilan komputer
  • Pemberian izin studi lanjut S2 dan S3 di dalam dan luar negeri.
  • Pelatihan pustakawan yang bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional
  • Kunjungan atau studi banding ke perpustakaan perguruan tinggi yang lebih besar dan maju baik dalam maupun luar negeri.
  • Peningkatan kompetensi berbahasa asing, minimalnya bahasa inggris.
  • Memperhitungkan rasio pustakawan dan jumlah pemustaka yang dilayani.
  • Peningkatan jumlah dan kualitas terbitan ilmiah dan penelitian bagi pustakawan.

Perpustakaan perguruan tinggi sebagai organisasi jasa nirlaba yang bertugas membantu pelaksanaan Tri Dharma Perguruan tinggi sudah seharusnya menyediakan sumber daya manusia yang bekerja secara profesional.

2. Staf Perpustakaan

Selain pustakawan, perpustakaan perguruan tinggi juga memerlukan tenaga karyawan atau staf perpustakaan non fungsional yang profesional dan berkualitas.

Djoyonegoro dan Suryadi mengemukakan beberapa ciri individu yang berkualitas, yaitu apabila memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang dalam sektor pembangunan (Djoyonegoro&Suryadi. 1995: 32).

Kompetensi karyawan atau staf perpustakaan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar sesuai dengan tuntutan tugas dimasa depan. Oleh karena itu jika ada rekruitmen karyawan atau staf perpustakaan perlu antisipasi dengan memprediksi berbagai kecenderungan perkembangan dan perubahan.

Jabatan dan tugas yang menuntut pengembangan pengetahuan dan teknologi, perlu diimbangi dengan kemampuan SDM yang berkualitas. Adapun kompetensi karyawan atau staf perpustakaan ditingkatkan lagi kualitasnya dengan diklat atau upgrade.

3. Pimpinan/Kepala Perpustakaan

Peran kepemimpinan dalam membawa keberhasilan suatu perpustakaan perguruan tinggi sangatlah menentukan. Kualitas dan karakteristik pimpinan dalam lingkup akademik harus mendorong kepada tercapainya tujuan perpustakaan.

Menurut Ramsden, karakteristik pimpinan atau kepala diharapkan mempunyai visi, imajinasi, integritas akademik, inspirasi, jaringan kerja, percaya diri, dan kolaborasi (P. Ramsden, tt.: 82). Selain aspek di atas, untuk tercapainya keberhasilan perpustakaan perguruan tinggi diperlukan pula gaya kepemimpinan yang tepat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Disisi lain seorang kepala perpustakaan perguruan tinggi harus mempunyai pandangan kedepan (visioner) dan mampu menciptakan kerjasama kemitraan, saling mendukung dan sharing.

Untuk mengetahui lebih pasti pelayanan seperti apa yang harus diberikan kepada pemustaka maka setidaknya perpustakaan perguruan tinggi menggunakan metode atau pendekatan yang bisa mengukur secara langsung aspek-aspek:

  1. Pertama,  kualitas pelayanan yang diharapkan pemustaka.
  2. Kedua, pelayanan yang diharapkan pemustaka.
  3. Ketiga, tingkat kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan yang dihadapi pemustaka.

Pengukuran kepuasan pelanggan harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, karena dari waktu ke waktu dapat terjadi pergeseran dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pemustaka.

Kemampuan mendeteksi secara lebih dini perubahan tersebut merupakan keunggulan kompetitif yang harus diperjuangkan oleh perpustakaan perguruan tinggi. Akan tetapi pelayanan yang berkualitas bukanlah akhir segalanya, masih ada hal yang juga sangat penting untuk diupayakan, yaitu loyalitas pemustaka.

4. Loyalitas Pemustaka

Pemasaran adalah perang. Fakta yang mendukung pernyataan tersebut adalah makin maraknya aktifitas mata-mata (khususnya diperusahaan-perusahaan berskala besar) dan informasi pesaing (marketing intelligence).

Hermawan Kertajaya menyatakan bahwa di era of choices saat ini kepuasan hanyalah proses, bukan hasil akhir. Moving target dari setiap the marketing company adalah loyalitas pelanggan (Hermawan Kertajaya, et.al., 2002: 43).

Griffin Jill menyatakan bahwa tingkat loyalitas pelanggan dapat dikelompokan dalam tujuh tahapan, yaitu suspect, prospect, disqualified prospect, first time customer, repeat customers, clients, advocates (Griffin Jill. 1995: 34-35).

Tingkat loyalitas pelanggan

Untuk konteks perpustakaan perguruan tinggi bisa dijelaskan sebagai berikut:

  1. Suspects, meliputi semua mahasiswa baru sebagai calon yang akan mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Perpustakaan perguruan tinggi menyebut sebagai suspect karena yakin mereka akan menjadi anggota dan memanfaatkan sumber-sumber informasi perpustakaan. Namun belum tahu apapun mengenai perpustakaan ataupun jasa yang ditawarkan.
  2. Prospect adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan informasi ataupun jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk memperolehnya. Meskipun mereka belum melakukan transaksi dan proses pencarian informasi, mereka telah mengetahui keberadaan perpustakaan di kampusnya dan jenis jasa yang ditawarkan, karena rekomendasi dari orang lain.
  3. Disqualified prospect, yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang atau jasa tertentu, tetapi mereka tidak mempunyai kebutuhan akan hal itu, atau tidak mempunyai kemampuan untuk memperolehnya.
  4. First time customers, ialah mahasiswa baru yang mendaftar untuk pertama kalinya. Mereka menjadi pemustaka atau pengguna yang baru.
  5. Repeat customers, yaitu mahasiswa atau pemustaka yang telah melakukan registrasi pada perpustakaan sebanyak dua kali atau lebih.
  6. Clients adalah pemustaka yang mampu memperoleh semua jasa yang ditawarkan dan yang mereka butuhkan. Hubungan dengan pemustaka ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh daya tarik perpustakaan lain.
  7. Advocates adalah mereka yang mampu memperoleh seluruh informasi jasa yang ditawarkan. Mereka mendorong teman-temannya untuk mempergunakan dan memperoleh jasa dan informasi perpustakaan tersebut. Ia membicarakan, melakukan pemasaran dan membawa pengguna untuk menjadi anggota perpustakaan.

Melihat tahapan pengelompokan loyalitas pelanggan di atas, maka strategi yang perlu dilakukan perpustakaan perguruan tinggi dalam hal loyalitas adalah mengupayakan pemustaka:

Pertama,

dari suspect menjadi qualified prospect. Adapun hal yang perlu dilakukan oleh perpustakaan perguruan tinggi adalah menjawab pertanyaan: siapa sasaran perpustakaan perguruan tinggi?, bagaimana memposisikan produk berupa informasi dan jasa perpustakaan?, serta bagaimana menyaring prospect yang potensial?

Kedua,

qualified prospect menjadi fist time customers. Beberapa langkah yang perlu dilakukan perpustakaan perguruan tinggi ialah: mendengarkan segala keluhan pemustaka, mendiagnosis masalah yang dialami pemustaka, menawarkan solusi bagi permasalahan pemustaka, serta bagaimana belajar dari kegagalan masa lalu.

Ketiga,

dari repeat customers menjadi loyal clients. Strategi yang perlu dirumuskan ialah: 1) Menset pengguna, sehingga mengetahui siapa pengguna terbesar, jasa informasi dan jenis koleksi apa yang mereka perlukan, dan mengapa mereka loyal. 2) Membuat hambatan agar pengguna tidak berpindah. Hambatan tersebut bisa berupa hambatan fisik, psikologis, maupun ekonomis. 3) Melatih dan memotivasi pustakawan dan staf perpustakaan untuk loyal. 4) Promosi yang mempunyai nilai tambah untuk perpustakaan perguruan tinggi.

Perpustakaan perguruan tinggi harus senantiasa membangun keunggulan kompetitifnya dengan upaya-upaya yang kreatif dan inovatif sehingga akan menjadi pilihan bagi banyak pemustaka yang akhirnya mereka diharapkan menjadi loyal.

Oleh karena itu, perpustakaan perguruan tinggi perlu melakukan identifikasi prioritas kepentingan dan keinginan pemustaka secara tepat. Di era persaingan bebas ini customer satisfaction lebih merupakan suatu proses, bukan tujuan akhir.

Sebab moving target dari Perpustakaan Perguruan tinggi adalah customer loyalty. Maka perpustakaan perguruan tinggi sepatutnya menyusun kerangka berfikir yang kuat untuk membangun pemustaka yang loyal.

5. Bersikap Enterpreneurship

Semua upaya dalam strategi yang sudah dikemukakan sebelumnya akan lebih mantap apabila semua yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi mampu bersikap enterpreneurship.

Sebuah sikap yang biasanya hanya dipakai didunia usaha ini sangat mendukung untuk diterapkan sebagai upaya memajukan dan meningkatkan daya saing perpustakaan perguruan tinggi yang bersangkutan.

Adapun sikap yang berhubungan dengan seorang enterpreneur di bagi dalam tiga kemampuan, yaitu:

kemampuan berinovasi dan terbuka dengan hal-hal yang baru,  sikap proaktif, berwawasan kedepan sehingga menjadi penggerak pertama, serta berani mengambil resiko (Sheila Slauter&Lary L. Laslie, 1997: 178).

Sikap dan jiwa enterpreneurship harus dimiliki semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi. Spirit enterpreneurship sangat dibutuhkan dalam kondisi perubahan lingkungan yang cepat dan serba tidak menentu seperti saat ini.

Pendanaan

Dukungan dana untuk sektor pengembangan perpustakaan perguruan tinggi sangatlah penting. Tampak jelas bahwa sebagian sumber dana pengelolaan dan pengembangan perpustakaan perguruan tinggi berasal dari mahasiswa (pendaftaran anggota, wakaf, hadiah, hibah dan sebagainya).

Adapun anggaran dana dari pemerintah bukan rahasia lagi jumlahnya, yaitu belum setara dengan alokasi standar pengembangan dan pengelolaan perpustakaan (5% dari anggaran operasional perguruan tinggi tersebut).

Oleh karena itu dalam hal pendanaan, perpustakaan perguruan tinggi memang harus lebih kreatif. Artinya perpustakaan perguruan tinggi harus banyak bekerja sama dengan banyak kalangan untuk memenuhi kekurangan dana.

Misalnya mengembangkan kewirausahaan (entrepreneurial) dan kemampuan mencari sumber-sumber penerimaan.

Komitmen

Untuk mencapai keberhasilan tujuan organisasi, berbagai strategi di atas masih memerlukan komitmen yang kuat dari pustakawan, kepala perpustakaan, maupun staf atau karyawan perpustakaan. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyatakan berdasarkan teori tujuan (goal theory), komitmen berpengaruh secara langsung terhadap pencapaian tujuan maupun efektivitasnya (Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel. 1999: 186).

Kenneth Schatz dan Linda Schatz menyatakan sebagian besar keberhasilan suatu perusahaan disebabkan adanya komitmen dari orang-orang yang ada di perusahaan tersebut (companies attribute largerly their success largerly to the commitment of their people) (Kenneth Schatz&Linda Schatz. 1986: 134).

Semakin kuat komitmen orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan maka akan semakin lapang dan mudah aplikasi serta pencapaian mutu sebuah perpustakaan perguruan tinggi, begitu juga sebaliknya.

Kesimpulan

Mutu perpustakaan merupakan sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses baik dalam kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang.

Bahkan dalam proses pencapaian tersebut melibatkan berbagai unsur lainnya secara internal dan eksternal. Dilihat dari dimensi proses pencapaian mutu, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh sebuah perpustakaan perguruan tinggi, yaitu: mutu input, mutu proses dan konteks, serta mutu outcome.

Pada sisi lain, perpustakaan dalam meningkatkan mutu layanan memerlukan strategi khusus, diantaranya adalah:

pertama, perencanaan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan untuk membuat masa depan yang diinginkan lebih baik dari masa sekarang.

Kedua, learning organization sebagai prinsip untuk tetap belajar secara terus menerus berkelanjutan serta tidak takut dengan perubahan dan persaingan.

Serta ketiga, senantiasa berorientasi terhadap kebutuhan pengguna melalui pendekatan TQM dengan berbekal menyediakan SDM, koleksi, dan layanan yang berkualityas serta didukung oleh komitmen petugas dan dana yang cukup.

Dengan upaya dan usaha tersebut, maka perpustakaan perguruan tinggi akan tampak bermutu dan melakukan perubahan kedepan guna mensukseskan kegiatan pendidikan dan penelitian di tiap-tiap perguruan tinggi.

Sumber Rujukan

  • Bryson, John M.  1998. Strategic Planning For Public and Nonprofit organizations. San Fransisco: Jossey Bass.
  • Djoyonegoro dan Suryadi. 1995. Peningkatan Kualitas SDM untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud.
  • Dreher. 2001. Human Resource Strategy, A Behavioral Perspective for the General Manager. Mc Graww-Hill international Edition.
  • Fitzsimmons, James A. 2001. Service Management: Operations, Strategy, and Information Technology. McGraww-Hill International Edition.
  • Hoy, Wayne K.  and Miskel, Cecil G. 1999. Educational Administration. New York: Mc Graww Hill Inc.
  • Jill, Griffin. 1995. Customer Loyalty, How to Earn; How to Keep It. Lexington Books, an Imprint of the Free Press.
  • Kertajaya, Hermawan et.al. 2002. Mark Plus on Strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Lasa HS. 2005. Manajemen Perpustakaan. Yogyakarta: Gama Media.
  • Lovelock, Christoper., Wirtz, Jochen., and Keh, Hean Tat. 2002. Service Marketing in Asia: Managing People, Technology and Strategy.
  • O?hara B.S., Johnston, Bolesand M.W. 1991. The Influence of Personal Variables on Salesperson Selling Orientation. Journal of Perdonal Selling and Sales Management. Vol. XI No. 1.
  • P. Ramsden. tt. Leading Academics. Buckingham: Society for Research Into Higher Education and the Open University Press.
  • Robert, Johnson. 1995. The Determinant of Service Quality: Satisfies and Dissatisfiers. International Journal of Service Industry Management. Vol.6, no. 5, h. 55.

Penulis: Safrudin Aziz [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 12 No. 2 – Agustus 2010]

profil penulis: Dunia Perpustakaan

duniaperpustakaan.com merupakan portal seputar bidang dunia perpustakaan yang merupakan bagian dari CV Dunia Perpustakaan GROUP. Membahas informasi seputar dunia perpustakaan, mulai dari berita seputar perpustakaan, lowongan kerja untuk pustakawan, artikel, makalah, jurnal, yang terkait bidang perpustakaan, literasi, arsip, dan sejenisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *