Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan
ilustrasi

Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan

Dunia Perpustakaan | Di setiap negara maju, bisa dipastikan tingkat pendidikan mereka sangat baik, yang diantaranya karena ditopang oleh generasi yang tingkat literasinya baik juga. Bagaimana kita bisa menciptakan generasi literat melalui perpustakaan?

Untuk mendapatkan atas jawaban tersebut, ada tulisan menarik dari Kalarensi Naibaho berjudul “Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan” yang kami kutip dari eprints.rclis.org

A. Pengantar

Pada pertandingan final Piala Dunia 2006 lalu, para penikmat olah raga sepak bola di Indonesia dan seluruh pemirsa televisi di dunia menyaksikan sebuah insiden di mana Zinadine Zidane melakukan pelanggaran  keras dengan menanduk dada Materazzi.

Insiden tersebut mengakibatkan Zidane harus keluar dari lapangan dan tim nasional Perancis akhirnya kalah dari tim nasional Italia. Besok paginya, banyak media cetak dan media elektronik di negeri ini menjadikan  kejadian tersebut sebagai headline dengan berbagai sudut pandang. Sebagian besar membela Zidane dengan asumsi bahwa Materazzi pastilah telah mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan Zidane.  Salah satu ‘tuduhan’ media adalah bahwa Materazzi telah mengatai Zidane sebagai teroris. Di luar media, kasus ini menjadi perbincangan hangat. Bahkan di beberapa milis terjadi perang opini, makian dan sumpah  serapah untuk Materazzi karena telah menyebut Zidane sebagai ‘teroris’. Ironisnya, saat itu Zidane sendiri belum mengatakan apa-apa tentang insiden yang menimpa dirinya. Dan ketika akhirnya Zidane mengadakan  konperensi pers bahwa Materazzi tidak menyebutnya ‘teroris’ masyarakat seolah-olah tetap percaya bahwa Materazzi pastilah telah menyebut Zidane ‘teroris’.

Di tempat lain, seorang konsumen membeli telepon genggam model terbaru. Seperti biasa, konsumen tersebut langsung mengaktifkan telepon genggamnya dan mengutak-atik semua menu yang ada. Di tengah keasikan  mengutak-atik itu, tiba-tiba layar monitor telepon genggam tersebut mati. Si konsumen panik dan membolak-balik teleponnya, sebelum akhirnya membuka kotak pembungkus telepon dan mencari-cari buku  petunjuk penggunaan telepon genggam tersebut. Idealnya, konsumen harus membaca terlebih dahulu petunjuk penggunaan buku telepon tersebut sebelum menggunakannya.

Kejadian di atas tentu tak ada hubungannya dengan perpustakaan, tapi erat kaitaannya dengan literasi. Pada kasus seperti yang menimpa Zidane, masyarakat lebih percaya pada yang diyakininya daripada kenyataan. Keyakinan tersebut umumnya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor subjektif, seperti kesukaan pada Zidane sebagai pemain sepak bola berprestasi atau karena mengidolakan Zidane. Masyarakat tidak begitu perduli pada  sumber informasi yang dibacanya, tapi lebih peduli pada perasaannya. Bahkan seringkali dalam kasus seperti ini pembaca sengaja mencari informasi yang sesuai dengan apa yang diyakininya. Misalnya, kalau koran ‘A’ lebih membela Zidane, pembaca akan percaya pada Koran ‘A’. Begitu pula sebaliknya. Jadi bukan pada kenyataan apakah Zidane yang bersalah atau Materazzi. Seharusnya masyarakat atau media menunggu  konfirmasi dari Zidane sebagai sumber utama tentang apa yang sebenarnya terjadi, barulah bereaksi dan bersikap siapa yang layak dibela. Sedangkan pada kasus ke dua, si konsumen terbiasa melakukan hal seperti itu :  tidak perduli dengan informasi di buku petunjuk produk apapun. Padahal. semestinya konsumen harus membaca petunjuk penggunaan sebuah produk sebelum menggunakannya. Walau berbeda kasus, kedua kejadian  di atas mengakibatkan dua hal : kesalahan persepsi dan bertindakl! Keduanya diakibatkan oleh rendahnya daya berpikir kritis dan analisis terhadap informasi yang diterima.

Ke dua contoh di atas hanyalah sebagian kecil kasus-kasus yang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang berdampak pada kesalahan dalam menginterpretasi sesuatu dan mengambil keputusan. Tak jarang   pula kesalahan tersebut mengakibatkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan oleh siapapun. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan literasi masyarakat, khususnya literasi informasi. Mengingat informasi  merupakan rana perpustakaan, maka tulisan ini hanya akan membahas bagaimana kaitan antara literasi informasi dengan masyarakat berpikir kritis dan apa yang dapat dilakukan perpustakaan, khususnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk menciptakan generasi literat.

B. Masyarakat Informasi

Banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society) yaitu peradaban di mana informasi sudah menjadi komoditas utama dan  interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Dengan teknologi saat ini informasi dapat diperoleh dan dipublikasikan dengan mudah. Di sisi lain, kemudahan ini membuat masyarakat  mengalami kebingungan dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya, atau siapa sumber yang layak dikutip.

Masyarakat informasi juga memunculkan adanya kekuatiran akan pemanfaatan informasi itu sendiri. Kita tentu masih ingat peristiwa seorang anak di luar negeri yang setiap harinya berkutat dengan buku dan internet  di kamarnya. Ibunya begitu bangga dan bahagia melihat anaknya mendapat julukan ’si kutu buku’. Sampai akhirnya di satu pagi, anak itu meledakkan sebuah bom di sekolahnya. Ternyata, selama ini ’si kutu buku’  telah membaca buku dan mengakses informasi dari internet mengenai cara merakit bom! Informasi bukan lagi sebatas kata-kata atau kalimat. Informasi bagaikan pisau bermata tajam di mana jika sampai ke pembaca  yang salah dapat berakibat fatal. Tak dapat dipungkiri informasi apapun, kini dengan mudah dapat diakses oleh siapa saja dan dengan mudah pula dipergunakan untuk tujuan apa saja.

Teknologi informasi yang  berkembang demikian pesat telah menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang rakus informasi. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar warga masyarakat di dunia ini telah tersentuh oleh yang namanya teknologi  informasi. Entah itu dalam bentuk elektronik, multimedia, atau virtual. Radio, telepon, faksimili, televisi, internet merupakan media yang jamak sekali ditemukan di tengah-tengah masyarakat desa maupun kota.  Masalahnya adalah sulit sekali membendung arus informasi. Yang dapat dan harus dilakukan adalah meningkatkan literasi masyarakat dengan mendidik berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.

C. Budaya Literasi

Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga  keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi , misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media  (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat  diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.

Kepekaan atau literasi pada seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah literat sejak lahir. Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana yang kondusif. Proses ini  dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan pekerjaan. Budaya literasi juga sangat terkait dengan pola pemelajaran di sekolah  dan ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan. Tapi kita juga menyadari bahwa literasi tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau pendidikan yang tinggi. Kemampuan akademis yang tinggi tidak menjamin  seseorang akan literat.

Pada dasarnya kepekaan dan daya kritis akan lingkungan sekitar lebih diutamakan sebagai jembatan menuju generasi literat, yakni generasi yang memiliki ketrampilan berpikir kritis terhadap segala informasi untuk  mencegah reaksi yang bersifat emosional. Budaya inilah yang nampaknya belum dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang bersumber pada kesalahan komunikasi, salah pengertian, dan ledakan emosi sesaat. Masyarakat kita tergolong mudah diadu domba, cepat bertindak tanpa berusaha mencari tahu duduk persoalan suatu  masalah, cepat menghakimi tanpa mengetahui apa penyebab dan akibatnya.

Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab rendahnya budaya literasi, namun kebiasaan membaca dianggap sebagai faktor utama dan mendasar. Padahal, salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia agar  cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan global yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia adalah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca (reading society). Kenyataannya masyarakat masih menganggap aktifitas membaca untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan (habit) tapi lebih kepada kegiatan ’iseng’.

Menurut Kimbey (1975, 662) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Kebiasaan bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil  proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Karena itu kebiasaan dapat dibina dan ditumbuhkembangkan. Sedangkan membaca (Wijono 1981, 44 dan Nurhadi 1978, 24) merupakan suatu  proses komunikasi ide antara pengarang dengan pembaca, di mana dalam proses ini pembaca berusaha menginterpretasikan makna dari lambang-lambang atau bahasa pengarang untuk menangkap dan memahami ide  pengarang. Maka kebiasaan membaca adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada unsur paksaan. Kebiasaan membaca mencakup waktu untuk membaca, jenis bahan bacaan, cara  mendapatkan bahan bacaan, dan banyaknya buku/bahan bacaan yang dibaca. Kemampuan membaca merupakan dasar bagi terciptanya kebiasaan membaca. Namun demikian kemampuan membaca pada diri seseorang  bukan jaminan bagi terciptanya kebiasaaan membaca karena kebiasaan membaca juga dipengaruhi oleh faktor lainnya (Winoto, 1994 : 151), seperti ketersediaan bahan bacaan.

Perkembangan kebiasaan melakukan kegiatan merupakan proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Gould (1991, 27) menyatakan bahwa dalam setiap proses belajar, kemampuan mendapatkan  ketrampilan-ketrampilan baru tergantung dari dua faktor, yaitu faktor internal dalam hal ini kematangan individu dan ekternal seperti stimulasi dari lingkungan. Faktor eksternal yang seringkali disorot berpengaruh  terhadap perkembangan minat dan kebiasaan membaca seseorang adalah lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan, dalam hal ini guru dan perpustakaan. Perpustakaan menjadi fokus sentral dalam hal akses ke  bahan bacaan karena masyarakat menaruh harapan besar pada lembaga ini untuk menyediakan informasi yang mereka butuhkan.

D. Literasi Informasi

Literasi informasi (information literacy) telah menjadi fokus perhatian utama dunia pendidikan, khususnya perpustakaan Amerika sejak era delapan puluhan. Menurut American Library Association (ALA), information literacy merupakan salah satukomponen penting yang harus dimiliki setiap warga dan berkontribusi dalam mencapai pemelajaran seumur hidup. Kompetensi dalam information literacy  bukanhanya sekedar  pengetahuan di kelas formal, tetapi juga praktek langsung pada diri sendiri dalam lingkungan masyarakatnya. Literasi informasi juga sangat diperlukan dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan itu berlangsung  seumur hidup. Literasi  informasi menambah kompetensi masyarakat dengan mengevaluasi, mengorganisir dan menggunakan informasi.

Di negara maju, seperti Amerika, beberapa disiplin ilmu mempertimbangkan literasi informasi sebagai hasil utama siswa di perguruan tinggi (American Library Association, 2000 : 4) sebab membangun pemelajar  seumur hidup merupakan misi pendidikan tinggi. Literasi informasi memastikan setiap individu memiliki kemampuan intelektual untuk berpikir kritis dan berargumentasi, serta belajar bagaimana cara belajar. Itu  sebabnya literasi informasi selalu dikaitkan dengan pemelajaran seumur hidup (life long learning). Menurut Chan Yuen Chin (2001 : 1) :

  • a. Literasi informasi sangat penting untuk kesuksesan belajar seumur hidup.
  • b. Literasi informasi merupakan kompetensi utama dalam era informasi.
  • c. Literasi informasi memberi kontribusi pada perkembangan pengajaran dan pembelajaran.

Zurkowski, orang pertama yang menggunakan konsep literasi informasi menyatakan bahwa orang yang terlatih untuk menggunakan sumber-sumber informasi dalam menyelesaikan tugas mereka disebut orang yang  melek informasi (information literate). Mereka telah mempelajari teknik dan kemampuan menggunakan alat-alat dan sumber utama informasi dalam pemecahan masalah mereka (Behrens, 1994 : 310).

Konsep ini didukung oleh Burchinal dengan mengatakan : “Untuk menjadi orang yang melek informasi, dibutuhkan serangkaian keahlian, antara lain bagaimana cara mencari dan menggunakan informasi yang  diperlukan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan secara efektif dan efisien (Burchinal dalam Diane Lee, 2002 :1).

Di pertengahan 1980an pemanfaatan teknologi informasi (TI) mulai berdampak pada kebutuhan penanganan informasi. Sebagaimana dikatakan Demo dalam Behrens (1994 : 312) bahwa literasi informasi merupakan  awal dari proses pemelajaran seumur hidup. Kuhlthau (1987 : 2) memberikan sudut pandang yang tidak jauh berbeda, yaitu bahwa literasi informasi lebih mengarah ke functional literacy, yang mencakup kemampuan   membaca dan menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mengetahui suatu informasi yang diperlukan dan menelusuri informasi untuk mengambil keputusan yang tepat.

Sedangkan Jan Olsen dan Coons dalam Behrens (1994 : 313) memandang literasi informasi dengan cakupan yang lebih luas. Mereka mendefinisikan lietrasi informasi sebagai pemahaman peran dan kekuatan  informasi, yakni : memiliki kemampuan untuk menemukan, memanggil ulang informasi; mempergunakannya dalam pengambilan keputusan; serta memiliki kemampuan untuk menghasilkan serta memanipulasi  informasi dengan menggunakan proses elektronik.

Pandangan dan pemahaman terhadap literasi informasi terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Para peneliti dan komunitas ilmiah memandang literasi informasi dengan berbagai cara. Beberapa dari  cara tersebut merupakan hasil penelitian dan yang lainnya didapatkan dari pengalaman ilmiah yang mereka alami. Misalnya literasi informasi dapat dilihat sebagai suatu proses; sebagai kombinasi antara keahlian,  sikap dan pengetahuan; sebagai kemampuan belajar; atau sebagai cara yang kompleks dalam penggunaan informasi (Bruce, 1997 : 1-5). Deskripsi yang paling luas diterima adalah pandangan bahwa literasi informasi   adalah suatu kombinasi antara keahlian, sikap dan pengetahuan.

Di awal tahun 1990an, pengertian literasi informasi yang diusulkan oleh ALA, secara umum, diterima. Menurut ALA (1989 : 10) : “information literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when  information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effective needed information”. Artinya, literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi seara efektif dan etis.

Dari uraian di atas, literasi informasi sangat berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis dan kepekaan terhadap semua aspek kehidupan. Literasi informasi menuntut kemampuan menganalisis suatu informasi  untuk digunakan secara tepat untuk memecahkan masalah. Literasi informasi tidak hanya berkaitan dengan mengakses informasi, namun lebih kepada proses pembentukan seseorang menjadi pemelajar seumur hidup.

E. Peran Perpustakaan dalam Pengajaran Literasi Informasi

Para ahli di bidang literasi informasi sepakat bahwa perpustakaan memiliki peran sangat penting dalam menciptakan masyarakat literat. Perpustakaan memiliki kontribusi besar untuk membentuk masyarakat informasi  yang berpikir kritis dan menjadi pemelajar seumur hidup. Paruh waktu dekade 80-an, pustakawan akademis melakukan tinjauan terhadap program pendidikan pengguna dengan fokus pengembangan untuk masa depan.  Di akhir dekade tersebut, beberapa program pendidikan pengguna digantikan oleh program-program yang bertujuan mencapai lieterasi informasi (Behrens, 1994 : 313). Pada saat yang sama perpustakaan di  Amerika juga memberi perhatian khusus pada peran mereka terhadap proses pembelajaran. Tindakan ini merupakan rekomendasi dari beberapa laporan mengenai pentingnya reformasi pendidikan di negara tersebut,  seperti yang tertuang dalam A Nation at Risk and College. Pustakawan mulai memperhatikan hubungan antara pendidikan pengguna, literasi informasi, dan pembelajaran seumur hidup. Pemikiran lebih lanjut adalah  bahwa pustakawan harus mengajarkan pengguna mengelola informasi (bekerja sama dengan aplikasi teknologi baru), dan untuk mencapai hasil optimal sebaiknya materi tersebut terintegrasi dengan kurikulum di  sekolah atau di pendidikan tinggi.

Ada catatan penting di tahun 1980an dalam dua dokumen penting di Amerika, yang berisi penekanan pada peran perpustakaan dalam pengajaran lietrasi informasi yaitu sebuah buku karya Patricia Breivik dan E. Gordon Gee yang memfokuskan pada peran perpustakaan dalam mencapai kemajuan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi; dan sebuah laporan dari American Library Association pada tahun 1989. Kedua dokumen  tersebut secara tegas menempatkan lietrasi informasi sebagai kombinasi antara perpustakaan dan isu pendidikan (Breivik, 1989 : 227). Breivik dan Gee yakin sekali bahwa kualitas pendidikan harus membantu  mahasiswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup, dan syarat yang harus dipenuhi adalah mahasiswa harus menjadi konsumen informasi secara efektif, mampu mendapatkan informasi secara tepat untuk segala  kebutuhan dalam kehidupan pribadi maupun profesi mereka.

Untuk itu mahasiswa harus melek informasi. Filosofi Breivik dan Gee adalah bahwa dalam sebuah masyarakat informasi, pengukuran yang paling tepat dari lulusan pendidikan tinggi adalah apakah mahasiswa mampu  mengarahkan diri menjadi pemelajar mandiri. Mereka yakin bahwa perpustakaan mempunyai peran penting dalam pendidikan. Menurut mereka, perpustakaan adalah tempat pengetahuan dimana semua disiplin ilmu  berhubungan. Perpustakaan juga merupakan lingkungan informasi yang dibutuhkan oleh para lulusan dalam hidup mereka dan untuk bekerja. Bahkan perpustakaan dianggap sebagai lingkungan alami untuk pemecahan  masalah Perpustakaan dan pustakawan dapat membantu mengajar kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

Bagaimana dengan di Indonesia?

F. Pendidikan Pemakai Perpustakaan di Indonesia

Harus diakui bahwa belum banyak perpustakaan di Indonesia yang telah mengembangkan program pendidikan pemakai ke arah pencapaian literasi informasi pengguna. Namun kepedulian pustakawan terhadap literasi  informasi cukup tinggi. Hal ini terbukti dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan tertentu atau lembaga-lembaga tertentu yang membahas tentang literasi informasi. Dari beberapa literatur yang penulis  baca, bahkan lembaga lain juga sangat menaruh perhatian pada peningkatan literasi informasi masyarakat, antara lain Departemen Komunikasi dan Informasi. Penelitian atau survei tentang literasi informasi juga tidak  banyak yang terpublikasikan sehingga sulit sekali mengukur atau memperkirakan literasi masyarakat Indonesia. Namun secara kasat mata, dari kondisi masyarakat saat inidapat dikatakan bahwa literasi informasi belum menjadi fokus perhatian pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Selain faktor ekonomi, di mana untuk membeli buku atau mengakses informasi melalui internet  masih merupakan barang mahal bagi sebagian besar masyarakat, faktor keperdulian masyarakat terhadap literasi mereka sendiri kurang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pola pemelajaran di sekolah atau di  lembaga pendidikan yang masih berpola teacher centered, di mana yang aktif justru guru atau dosen, bukan siswanya. Lalu persepsi mengenai lulusan sekolah juga masih mengutamakan prestasi akademis semata,  padahal aspek paling penting dari literasi informasi adalah aspek non akademis, seperti kepekaan terhadap lingkungan, pemahaman dan empati terhadap sesuatu, serta kemauan untuk terus belajar dan menerima hal-hal  baru dalam hidupnya.

Kembali ke masalah pendidikan pengguna di perpustakaan, pengelola perpustakaan dituntut lebih ‘berani’ melakukan terobosan baru untuk membantu masyarakat meningkatkan literasinya. Integrasi dengan kurikulum  bukanlah persoalan mudah karena menyangkut berbagai pihak, namun bukan alasan pula untuk mengabaikannya. Sinergi antara berbagai jenis perpustakaan yang ada merupakan satu solusi efektif, mengingat  pengguna perpustakaan juga memiliki perilaku berbeda. Dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sebagai lembaga yang memiliki otoritas dapat mengambil posisi strategis dalam konteks ini. Lalu apa  yang dapat dilakukan?

G. Berbagai Alternatif Solusi bagi PNRI

Untuk konteks masyarakat Indonesia, perpustakaan perlu mempunyai pemahaman bahwa tiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana  masyarakat mencari dan menggunakan informasi serta bagaimana mereka memaknai sebuah informasi. Satu hal yang sangat penting disadari adalah bahwa perpustakaan sendiri belum begitu populer di tengah-tengah  masyarakat kita. Kebutuhan orang ke perpustakaan tidak sama dengan kebutuhan orang akan informasi. Artinya, dalam mencari informasi, perpustakaan bukanlah satu-satunya tempat yang dituju masyarakat. Malah  mungkin sebaliknya : perpustakaan merupakan pilihan terakhir jika sebuah informasi tidak berhasil ditemukan di tempat lain. Padahal, sebagaimana diuraikan di atas, salah satupenyebab ketidakliteratan masyarakat adalah rendahnya budaya membaca.

Permasalahannya  adalah dimanakah masyarakat mencari informasi selain di perpustakaan? Pertanyaan ini menjadi sangat penting sehingga perpustakaan dapat menciptakan kegiatan atau program yang relevan  meningkatkan literasi informasi masyarakat. Satu hal yang perlu dipahami juga adalah bahwa mustahil meliteratkan masyarakat dalam waktu singkat. Persoalan literasi adalah bagian dari proses kematangan dan  kedewasaan seseorang atau individu. Proses ini merupakan proses kognitif yang tidak mungkin dapat diintervensi perpustakaan secara total. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga  pemerintah non departemen yang memiliki fungsi mengkaji dan menyusun kebijakan nasional dibidang perpustakaan dapat melakukan berbagai terobosan yang bertujuan meningkatkan literasi masyarakat. Beberapa  pemikiran dasar yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut:

Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan

Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan2

 

H. Penutup

Literasi informasi merupakan kompetensi mutlak yang harus dimiliki setiap anggota masyarakat di era informasi. Literasi informasi menuntut kemampuan berpikir kritis masyarakat dan kemauan untuk terus menjadi  pemelajar seumur hidup. Proses ini tidak pernah berhenti pada suatu titik. Artinya, dibutuhkan kesadaran mendalam dari tiap warga masyarakat untuk perduli pada literasi mereka.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat tidak selalu membawa kemudahan bagi masyarakat. Membludaknya informasi yang dapat diakses melalui internet justru menimbulkan  kebingungan tersendiri bagi pengguna. Salah satu cara yang dapat dilakukan perpustakaan adalah dengan memberikan pendidikan pemakai dengan fokus pada pengembangan literasi informasi pengguna. Pustakawan  dapat mengambil peran dalam pengajaran literasi informasi melalui pendidikan pemakai perpustakaan.

Program pendidikan pemakai di perpustakaan harus diarahkan pada pencapaian literasi informasi penggunanya.  Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dapat melakukan banyak hal yang bersifat mendasar, antara lain dalam bentuk dukungan dana, fasilitas, program dan kerjasama dengan berbagai pihak. Literasi informasi  masyarakat tidak dapat dicapai hanya dengan jargon, iklan, promosi, seminar, atau kegiatan lain yang bersifat teori. PNRI juga harus melihat kenyataan bahwa tidak mungkin menjangkau seluruh masyarakat. Salah  satu cara yang paling efektif adalah dengan memberdayakan lembaga-lembaga yang ada di komunitas atau kelompok masyarakat dengan berbagai upaya. Mengingat tugas dan tanggungjawab PNRI yang berskala nasional, maka sangat penting memiliki komitmen pengembangan program yang berkesinambungan. Literasi apapun, termasuk literasi informasi pada hakikatnya adalah tanggungjawab setiap warganegara, dan  perpustakaan hanyalah salah satu media atau lingkungan yang dapat mendukung pencapaian literasi tersebut.

profil penulis: Dunia Perpustakaan

duniaperpustakaan.com merupakan portal seputar bidang dunia perpustakaan yang merupakan bagian dari CV Dunia Perpustakaan GROUP. Membahas informasi seputar dunia perpustakaan, mulai dari berita seputar perpustakaan, lowongan kerja untuk pustakawan, artikel, makalah, jurnal, yang terkait bidang perpustakaan, literasi, arsip, dan sejenisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *