Dunia Perpustakaan | Abad XXI bagi Bangsa Indonesia adalah abad industri yang disangga dengan teknologi informasi yang semakin canggih. Kemajuan tersebut menuntut dukungan budaya baca dan tulis, yaitu perwujudan perilaku yang mencakup kemampuan, kebiasaan, kegemaran, dan kebutuhan baca tulis.
Namun budaya tersebut sampai penggal pertama dekade terakhir abad ke-20 belum berkembang di masyarakat Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mulai kapan kemampuan baca dan tulis itu mulai diajarkan?
Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa membaca dan menulis baru diajarkan pada saat anak sudah di SD, tetapi banyak juga para ahli yang menyatakan bahwa membaca dan menulis harus diajarkan sejak dini.
Apalagi di jaman yang semakin modern ini, kecanggihan smartphone tidak hanya memberikan dampak positif tapi juga memberikan dampak negatif yang cukup signifikan. Kecanggihan smartphone membuat sebagian besar generasi muda kita lebih memilih untuk terus-menerus memainkan smartphone-nya dibandingkan harus membaca buku.
Buku seharga Rp50.000,00 pun dianggap lebih mahal dibandingkan harga paket internet Rp70.000,00. Mereka pasti lebih memilih membeli paket internet daripada membeli buku yang harganya Rp50.000,00 tersebut.
Mirisnya lagi kini sudah terlahir generasi copy paste ( kopas ). Generasi kopas adalah generasi yang benar-benar malas untuk membaca buku. Mereka lebih memilih mencari sebuah materi di Google lalu meng-copy paste materi tersebut di lembar kerja mereka dibandingkan harus mencari materi di buku dan mengetiknya sendiri di lembar kerja mereka.
Hilangnya generasi muda yang gemar membaca kini benar–benar sudah terlihat.
Di Zaman sekarang ini harusnya menjadi pemicu generasi muda kita untuk menjadi pribadi yang cerdas dengan cara gemar membaca buku justru hanya dianggap ancaman yang tak berarti.