5 Buku yang Layak Dibaca di Bulan Juni.
Dunia Perpustakaan | Buat mengisi waktu liburan kamu, pergi mengunjungi perpustakaan nasional atau ke toko-toko buku fenomenal di kota kamu, merupakan alternatif bijak untuk menghabiskan waktu. Kadang, jalan-jalan ke kawasan barang-barang bekas buat nemuin buku lawas dan “bersejarah” banget, juga asyik.
Tapi untuk menghabiskan waktumu di bulan Juni ini, kamu bisa memanfaatkan waktumu untuk membaca buku yang sekiranya layak untuk bahan bacaan kamu.
Dikutip dari sumber hai-online.com. Berikut novel yang pas banget dibaca di bulan Juni.
#1. Homegoing – karya Yaa Gyasi
Novel pertama Gyasi ditulis dengan awalan yang cantik, dengan kisah dua perempuan bersaudara dari rahim ibu yang sama, namun lahir di dua desa berbeda di Gold Coast, Afrika.
“Dua bersaudara yang terpisah tak ubahnya seperti seorang perempuan dan bayangannya di permukaan danau. Akan selalu berada di posisi yang berseberangan,” tulis Gyasi.
Ini kisah tentang Effia, yang lahir pada 1744 di Fanteland dan kemudian menikah dengan Gubernur Inggris di Kastil Cape Coast. Anak laki-lakinya, Quey, mengenyam pendidikan di Inggris. Saudara perempuannya, Esi, anak perempuan pemimpin Asante, berhasil selamat dari perbudakan. Anak perempuan Esi, Ness, tinggal di satu perkebunan di Alabama, Amerika.
Gyasi berhasil menciptakan tokoh-tokoh yang sulit dilupakan ketika menuturkan kisah tentang tujuh generasi keluarga ini, sekaligus memotret migrasi dan akibat buruk perbudakan di benua Afrika dan Amerika.
#2. The Girls – karya Emma Cline
Ini nih, novel pertama yang terinspirasi oleh gadis-gadis kelompok sekte Charles Manson yang membunuh delapan orang pada 1969. Hiiii. serem!
Cline mengambil fokus cerita tentang kisah anak-anak muda yang membuat alur ceritanya menjadi segar. Misalnya, kisah tentang Evie, remaja berusia 14 tahun yang hidup dengan sang ibu yang telah bercerai dari suaminya.
Di sekte ini, Evie bertemu Suzanne, yang sedikit lebih tua dan lebih percaya diri. Atas pengaruh Suzanne, Evie akhirnya bergabung dengan satu kelompok di lahan pertanian Russell. Suzanne pula yang mengajari Evie soal seks, narkoba, dan cara mencuri di toko.
Jalan cerita berlanjut hingga Evier beranjak dewasa dan Eve terus-terusan dihantui kisah-kisah dari perjalanannya di masa lalu.
Initinya sih, Cline menggambarkan Evie seperti ‘pelarian tanpa tindak kejahatan’.
#3. Kingdoms in the Air – karya Bob Shacochis
Ada 13 esai dalam buku karya Shacochis, seorang novelis yang pernah merebut Penghargaan Buku Nasional Amerika Serikat.Dari situ, Kingdoms in the Air kembali menjadi bukti mengapa Shacochis menjadi salah seorang penulis terbaik di Amerika Serikat saat ini.
Shacochis mendasarkan tulisannya dari perjalanannya, antara lain di Argentina, Siberia, dan gugusan karang di Pasifik Selatan. Ia memancing dan berselancar ditemani fotografer Thomas Laird. Ia juga pergi ke Kerajaan Mustang di Nepal, 10 tahun setelah kawasan ini dibuka untuk orang luar.
Tekstur tulisan Shacochis seperti fiksi, tapi ia juga menggambungkannya dengan analisis ala wartawan investigatif. Seru!
#4. Sons and Daughters of Ease and Plenty – karya Ramona Ausubel
Novel kedua Ausubel mengeksplorasi apa yang kita warisi -uang, tradisi, status- dan bagaimana warisan ini berdampak terhadap kehidupan kita. Duileeeh!
Dalam konteks ini, maksudnya, adalah pengaruhnya terhadap kehidupan Fern dan Edgar, keturunan satu keluarga kaya di Chicago. Keduanya menikah pada 1966 dan mendapatkan tiga anak, punya rumah di Cambridge, dan vila peristirahatan di ladang anggur. Ketika kekayaan tiba-tiba menipis pada 1976, perkawinan mereka langsung goyah.
Ausubel menulis dengan empatik tiga generasi keluarga ini dan menunjukkan bagaimana cinta, secara mengejutkan, bisa bertahan.
#5. Chronicle of a Last Summer – karya Yasmine El Rashidi
Nama El Rashidi mulai dikenal sejak ia menulis tentang pergolakan politik di Timur Tengah yang lebih dikenal dengan sebutan Arab Spring atau Musim Semi Arab.
Novel ini bercerita tentang tiga musim panas yang bergolak di Kairo, seiring dengan terjadinya perkembangan yang mengubah Mesir. Pada 1984, ketika narator novel ini baru berusia enam tahun, ia melihat acara dokumenter bersama sang ibu tentang pembunuhan Anwar Sadat.
Ketika itu, listrik sering padam dan ayahnya menghilang begitu saja secara misterius.
Pada 1998, ia kuliah dan mulai berpikir bagaimana mengatasi represi politik melalui film-film dokumenter. Memang menjadi mimpinya untuk membuat film dokumenter.
Hampir empat tahun setelah jatuhnya Hosni Mubarak, ayahnya kembali ketika ia dan ibunya bersiap meninggalkan rumah.
Sang ayah berkata, “Saya tahu revolusi tak akan mengubah sesuatu.”