Dunia Perpustakaan | Kompetisi dalam semua profesi sudah pasti akan selamanya ada. Namun tentunya, kompetisi yang dimaksud harus dalam hal yang positif.
Diskusi terkait dengan Kompetisi di kalangan pustakawan sudah banyak dibicarakan baik dalam ruang seminar, maupun obrolan antar pustakawan, hingga dalam sebuah karya tulisan, seperti tulisan berjudul “Budaya Kompetisi Pustakawan di Era Ekonomi Kreatif yang ditulis oleh Wanda Listiani ini.
Tulisan ini juga sudah pernah di muat di Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 11 No. 1 – April 2009.
Abstrak
Globalisasi memberi dorongan pada setiap individu untuk berkompetisi termasuk pustakawan. Perkembangan library 1.0 menjadi library 2.0 memungkinkan pustakawan membangun kemampuan kompetitif didalam memanfaatkan potensi pasar online.
Pasar online adalah pasar informasi yang menuntut kualitas layanan pustakawan di dunia maya. Pasar dimana inovasi layanan perpustakaan menjadi salah satu cara untuk mengatasi dominasi relasi dan kompetisi pasar informasi di era ekonomi kreatif saat ini.
Pendahuluan
Berkembangnya library 1.0 menjadi library 2.0 memberikan usaha baru bagi non pustakawan melalui internet. Usaha yang memberikan keuntungan (profit) yang tidak sedikit. Mereka melakukan pekerjaan pustakawan selama ini seperti mengumpulkan koleksi, mengindeks, temukembali tema-tema yang diinginkan oleh pengguna via online.
ilustrasi: uclmyanmar.org |
Usaha yang membuka ruang kompetisi antar individu (pustakawan dan pekerja kreatif lainnya) untuk memenangkan pasar. Pengertian pasar menurut Geertz (Listiani, 2008) merupakan suatu pranata ekonomi sekaligus cara hidup. Sudut pandang Geertz tentang pasar adalah pertama, sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu.
Kedua, sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa. Ketiga, sebagai sistem sosial dan kebudayaan di mana mekanisme tertanam. Sedangkan secara umum, pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya penawaran dan permintaan, yang kemudian terwujud dalam aktivitas jual-beli.
Pemahaman Jennifer Alexander mengenai pasar didasarkan pada tiga pendekatan yaitu: pertama, pendekatan sistem (perdagangan), pasar sebagai sebuah aliran informasi yang terstruktur berdasarkan budaya; memuat cara-cara yang digunakan oleh pedagang untuk menghidupi diri mereka.
Kedua, pendekatan aktivitas (dagang), pasar sebagai sistem tukar-menukar barang. Ketiga, pendekatan pelaku (pedagang), pasar sebagai sistem sosial yang melibatkan pelaku-pelaku yang dihubungkan oleh hubungan yang melembaga bersifat ekonomi dan sosial. Menurut Arthur Macewan (1999: 113) persaingan (competition) merupakan bagian yang melengkapi pasar. Ketika dominasi relasi pasar terjadi pula dominasi persaingan.
Sehingga dalam sistem pasar bebas, pekerja kreatif tidak tergantung pada bagaimana sebaiknya mereka membuat produk tertentu melainkan bagaimana yang mereka kerjakan relevansinya dengan kompetisi pasar. Kompetisi yang terjadi akibat dominasi ekonomi dunia oleh kapitalisme dan homogenisasi ekonomi (Macewan, 1999: 28). Kemampuan kompetisi yang dikondisikan oleh lingkungan dan dipengaruhi oleh rutinitas tindakan pustakawan.
Era Ekonomi Kreatif
Pasar dan produksi merupakan sumber kehidupan di era ekonomi kreatif. Jason Potts dan Stuart Cunningham dalam Four Models Of The Creative Industries, menjelaskan kompetisi (competition) sebagai salah satu dari empat model relasi industri kreatif dengan ekonomi selain : kesejahteraan (welfare), pertumbuhan (growth), dan inovasi (innovation).
Budaya kompetisi yang mungkin saja tidak lagi sama dengan budaya lokal milik masyarakat kita yang terbiasa dengan sikap nrima, sungkan, ewuh pakewuh. Kompetisi ini terjadi di antara individu maupun antara entitas teritorial baik wilayah kota, nasional dan kelompok regional.
Ekonomi kreatif tidak hanya dimengerti sebagai deretan angka atau data statistik, jumlah rupiah dan tenaga kerja dari kegiatan industri kreatif. Perhatian ekonomi kreatif ditujukan pada penyediaan barang dan jasa dikaitkan dengan budaya, artistik dan nilai lokal suatu daerah.
Kegiatan yang pada mulanya dilakukan atas dasar kebutuhan dan kesenangan kemudian berkembang dalam komunitas sehingga berpotensi ekonomi seperti penerbitan buku dan majalah, seni visual (lukis, patung), seni pertunjukan (teater, konser, tari), rekaman suara, film dan TV, fashion, perangkat lunak dan permainan anak (game, edugame, animasi, komik dll).
Ekonomi kreatif
John Howkins (2001 : xiv) menyatakan ekonomi kreatif suatu negara (creative economy atau CE) sama dengan nilai produk kreatif (creative product atau CP) dikalikan dengan jumlah transaksi (transaction atau T) atau dengan kata lain CE = CP x T.
Dimana hak paten, hak cipta, merk dagang, kekayaan intelektual dan desain tumbuh dengan subur. Sedangkan menurut Simatupang (Simatupang, 2008:21) ekonomi kreatif yang dimaksud adalah sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, pertukaran, konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik, estetika, intelektual, emosional bagi para pelanggan di pasar online.
Pasar online merupakan tempat produk lokal dengan target pasar global terus tumbuh subur mengikuti nilai ekonomi kreatif yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena para wirausaha, seniman, desainer dan berbagai pelaku ekonomi kreatif lainnya mempunyai akses langsung pada pasar global dengan bantuan teknologi internet. Mereka bersaing dengan perusahaan multinasional atau bahkan menjadi bagian dari perpanjangan tangan perusahaan.
Riccardo Petrella dalam Smiers (2003: 15-16) menjelaskan bahwa kondisi ini terjadi selama dekade terakhir ini seperti
Pertama,
banyak perusahaan yang go internasional.
Kedua,
semua mode produksi merupakan hasil teknologi baru yang didasarkan pada digitalisasi.
Ketiga,
kondisi dimana hanya ada yang menang dan yang kalah.Setiap orang selalu berkompetisi dengan yang lain.
Keempat,
negara menjadikan pasar online dimana tidak ada proteksi bagi barang yang dijual.
Kelima,
semua peraturan hanya sebagai pendukung dan negara bertindak sebagai pengawas.
Keenam,
privatisasi wilayah publik sehingga kepemilikan pribadi merupakan bentuk mekanisme yang lebih baik daripada intervensi publik.
Transaksi pasar online tidak lagi mempertemukan antara penjual dan pembeli di pasar riil melainkan mereka mempunyai cara yang unik dan berbeda yang biasanya di mediasi oleh internet atau teknologi komunikasi lainnya. Kemudahan, kecepatan dan keunikan pasar online meningkatkan pendapatan nilai ekonomi kreatif di Indonesia dan beberapa negara lainnya lewat penjualan produk kreatif.
Produk yang indah, unik dan bermakna personal menjadi ciri produk kreatif. Ciri-ciri yang disebut Virgina Postre sebagai ¿imperatif estetika¿. Produksi barang yang berlimpah pada era informasi tidak lagi relevan. Produk kreatif hanya diproduksi dalam jumlah terbatas.
Karakteristik penting dari sebuah produk kreatif adalah hasil dari kreativitas dan mempunyai nilai ekonomi. Kreativitas menurut John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Monye From Ideas (2001: ix) adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu yang baru.
Hal ini berarti produksi oleh satu atau lebih ide seseorang atau penemuan seseorang akan sesuatu yang baru, asli dan bermakna. Sesuatu dari yang bukan apa-apa atau pemberian karakter baru pada sesuatu. Semangat dasar dari era kreatif adalah jiwa kreatif yaitu semangat yang membentuk kreativitas dalam berbagai dimensi.
3 Hal Mendasar tentang Kreativitas
Tiga hal mendasar tentang kreativitas (Florida, 2004: 21) antara lain:
Pertama,
kreativitas merupakan esensi dari sebuah cara dimana kita hidup dan bekerja. Selama beberapa periode dari revolusi industri menuju zaman modern, terjadi pertumbuhan produktivitas dan kesejahteraan negara industri berasal dari penemuan kreatif seperti mesin uap. Sejak itu kreativitas tumbuh dan menggeser faktor ekonomi tradisional seperti tanah, sumber alam, pekerja dan modal.
Kedua,
kreativitas manusia berbentuk multi dimensional dan multifacet. Sesuatu yang tidak terbatas oleh inovasi teknologi atau model bisnis baru. Kreativitas termasuk cara berpikir anak dan perilaku yang diperkuat oleh individu dan masyarakat.
Ketiga,
Proses kreatif bernilai sosial, tidak hanya pada individu melainkan dibentuk dalam organisasi.
Kreativitas bukanlah sebuah proses melainkan lebih pada ide pikiran yang timbul untuk melakukan sesuatu. Kreativitas dalam kegiatan ekonomi terjadi ketika suatu kegiatan kreatif dilakukan baik dalam bentuk ide menjadi produk atau jasa yang mempunyai implikasi ekonomi.
Implikasi ekonomi ini diidentifikasi menurut model bisnis dengan pola kepemilikan menurut persediaan (supply), penawaran (demand), nilai (value) dan harga (price) suatu barang atau jasa tersebut. Pembuatan produk, layanan, pengalaman atau gaya hidup tidak lagi terpaku pada sebuah fungsi semata.
Pentingnya nilai ekonomi dan nilai personal seperti keindahan, unik/aneh, atau menarik emosi konsumen. Esensi dari informasi adalah persuasi, komunikasi dan pemahaman pribadi menjadi cerita (narasi) dibalik sebuah produk kreatif. Produk seni kreatif menjadi penting dalam debat demokrasi ekonomi.
Ekonomi dimengerti sebagai sebuah sistem produksi, pertukaran dan konsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi berhubungan dengan masalah bagaimana individu dan masyarakat memenuhi keinginan mereka yang tidak terbatas dengan sumber-sumber terbatas; terutama tentang persediaan sumber yang jarang ditemukan.
Karakteristik demokrasi ekonomi (Smiers, 2003: vii) adalah banyaknya perbedaan suara yang dapat didengar dan kebebasan untuk mengekspresikan opini yang berbeda. Wilayah publik dalam masyarakat demokrasi merupakan ruang mental dan fisik dimana pertukaran ide dan debat terbuka tentang segala sesuatu terjadi tanpa campurtangan negara atau kekuatan komersial yang mempunyai tujuan untuk menjual sebanyak mungkin yang mereka bisa.
Kontribusi dari demokrasi ekonomi kreatif
Kontribusi dari demokrasi ekonomi kreatif untuk mencapai,
Pertama, pengurangan kemiskinan ekonomi dan akses. Unit bisnis dan industri kreatif berskala kecil dengan produk beragam dan jumlah sedikit memungkinkan individu terlibat. Industri kreatif tidak hanya menawarkan kemungkinan memiliki pendapatan namun juga menyediakan kesempatan untuk pekerjaan yang lebih mudah bersinergi bagi pustakawan.
Kedua, kesetaraan gender, produksi barang dan layanan kreatif menyediakan banyak kesempatan bagi pustakawan untuk berpartisipasi.
Ketiga, keterlibatan semua pihak terutama pustakawan untuk meningkatkan percaya diri dan kesadaran sosial.
Keempat, memperluas akses, pengetahuan dan pemanfaatan teknologi komunikasi oleh pustakawan.
Teknologi Perpustakaan dan Internet
Berlimpahnya informasi, pengaruh globalisasi dan kekuatan teknologi informasi mengantar kita pada bentuk pikiran dan pendekatan berbeda yang dikenal dengan istilah “high concept” dan “high touch”. High concept memberikan kemampuan untuk mendeteksi pola, artistik dan keindahan emosi, narasi pada karya kerajinan, dan kombinasi ide yang tidak saling berhubungan menjadi sesuatu yang baru.
High touch adalah kemampuan untuk ikut merasakan atau empati dengan yang lain, memahami interaksi antar manusia, kesenangan pada diri sendiri dan yang lain menjadi bagian dari sebuah tujuan dan maknanya. Penggunaan otak kanan untuk melatih daya cipta, empati dan memaknai hidup merupakan ciri dari era kreatif. Situasi yang digambarkan oleh M. Mead (Tabrani, 2006: 117) sebagai “irama bekerja dan bermain” (Rhythm of work and play).
Bagi masyarakat tradisional, selamatan atau festival, adalah perayaan yang merupakan bagian yang integral dari kehidupan, karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritual-ritual keagamaan, bagi masyarakat industri perayaan berarti pesta atau rekreasi, sesuatu yang terpisah dari kehidupan nyata, bagi masyarakat kreatif, perayaan adalah wujud kebebasan kreativitas.
Kreativitas dengan teknologi internet mendukung produktivitas dan inovasi pustakawan yang tidak terbatas pada definisi tempat (place) melainkan pada ruang (space). Teknologi internet menjadi sangat dominan dalam perkembangan produktivitas pustakawan.
Kegiatan produksi yang menggunakan teknologi digital dan fleksibilitas lembaga untuk mendukung perluasan kinerja pustakawan baik inovasi, pembedaan produk dan layanan personal. Pustakawan dan pekerja kreatif lainnya dapat mengirimkan hasil pekerjaan dalam waktu yang bersamaan ke beberapa industri atau pun mendapatkan ide dan bahan dengan cepat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Internet
Teknologi internet ini juga menjadi medium bagi pustakawan untuk melakukan tindakan komunikasi (interaksi). Maka tercipta ruang sosial baru yang disebut komunitas online. Hal ini memungkinkan pustakawan bekerja pada dua atau lebih industri dengan budaya yang berbeda (different cultural industries) dalam waktu bersamaan atau berkelanjutan. Pekerjaan yang menuntut kemampuan kompetisi, interaksi dalam jejaring relasi dan kemampuan negosiasi (strategy).
Prinsip kompetisi menurut Karl Marx (Harvey, 1999: 28) menjelaskan kenapa sesuatu dijual atau dinilai bukan dari nilai alami yang dibawa produk itu sendiri. Kompetisi menginternalisasi motif mencari keuntungan dan individualisasi. Internalisasi motif dengan cara melalukan kegiatan kerja yang lebih keras atau melakukan usaha-usaha agar “sama seperti” atau “lebih dari dan berbeda dengan yang lain”.
Keputusan pustakawan untuk ikut berkompetisi dan terlibat dalam kegiatan ekonomi kapitalis atau sistem hubungan pasar merupakan proses “survival of the fittest” (Weber, 2000: 83).
Kemungkinan untuk memperoleh keuntungan besar dan kepuasaan pemenuhan kebutuhan personal melalui produk atau hasil karya yang dihasilkan. Pustakawan dan pekerja kreatif lainnya (Lauer, 1993: 137; Florida, 2004: 272) tidak hanya didorong oleh motif mencari keuntungan, tetapi oleh hasrat yang kuat untuk berprestasi atau mengerjakan pekerjaan dengan lebih baik.
Budaya Kompetisi Pustakawan
Perpustakaan berkompetisi dalam hal komputerisasi, database jaringan dan layanan informasi (Duran, 1998: 8. Dimensi kualitas layanan baik tersedianya koleksi, keramahan pustakawan, kecepatan akses internet dan ketepatan informasi serta keunikan pelayanan menjadi indikator budaya kompetisi pustakawan.
Pada lingkungan kompetitif diperlukan inovasi, perubahan dan kepemimpinan yang relevan bagi pengguna perpustakaan.
Pengertian kompetisi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Pertama, kompetisi sebagai mekanisme strategi. Kedua, kompetisi sebagai tindakan yaitu kontrol atas produksi dari pengetahuan produk yang dimiliki. Ketiga, kompetisi sebagai budaya yaitu cara atau perilaku yang dilakukan untuk merespon pengaruh sistem pasar.
Menurut Wendy Carlin (2001 : 67-68) ada dua cara utama dimana kompetisi bekerja. Pertama melalui insentif (incentives) harapan kemajuan dalam teknologi, organisasi dan upaya yang dilakukan perusahaan dengan memberikan tambahan penghasilan atau pengembangan kapasitas pustakawan. Kedua melalui seleksi (selection), melakukan ujian kompetensi pustakawan dalam periode tertentu.
Di Indonesia, budaya kompetisi pustakawan masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari praktek pustakawan yang berlangsung di hampir seluruh perpustakaan, hanya beberapa pesan saja yang membawa pengguna dari kesadaran (awareness) ke pembelian, belum pada pemuasan kebutuhan pengguna.
Pustakawan masih sangat sederhana dan selalu mendasarkan diri hanya pada kepentingan pribadi bahkan lupa bahwa perpustakaan sebagai sumber informasi. Misalnya sikap ketidakpeduliaan, berperilaku seenaknya, tidak berperan aktif dalam pendayagunaan informasi yang tersedia di perpustakaan.
Penelitian Loehoer Widjajanto dkk (Listiani, 2004: 4) menemukan hanya 29% pustakawan yang melakukan penelusuran ke perpustakaan lain demi kepuasaan penggunanya.
Kualitas Layanan Pustakawan
Kualitas layanan sebagai kelangsungan hidup perpustakaan tergantung atas kemampuan pustakawan melakukan inovasi produk maupun layanan sesuai kebutuhan pengguna. Inovasi produk dan layanan perpustakaan seperti pengembangan profil perpustakaan, membuka kursus pendidikan paruh waktu, menambah fasilitas internet gratis dan akses perpustakaan.
Fleksibilitas layanan untuk merespon kebutuhan pengguna, kenyamanan, keamanan, kebersihan juga menjadi bagian dari peningkatan kualitas layanan perpustakaan tersebut. Masing-masing jenis perpustakaan mempunyai layanan yang khas dan unik untuk penggunanya.
Beragam pengguna memerlukan informasi yang berbeda, mengharuskan pustakawan meningkatkan kemampuan kompetitifnya dengan menguasai berbagai macam pengetahuan (Listiani, 2007: 81) antara lain :
- Pengetahuan buku sumber informasi (bibliograpic control)
- Pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media)
- Pengetahuan isi koleksi
Ketiga pengetahuan diatas menurut Bernard Vavrek (Listiani, 2004: 2) merupakan suatu sarana atau prasarat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjembatani dunia pengetahuan dengan para pengguna perpustakaan.
Kualitas pustakawan diukur dari pemahaman yang dimiliki mengenai visi dan misi, kemampuan menjabarkan program, kemampuan identifikasi kebutuhan pengguna, kemampuan memilih dan memilah berbagai jenis informasi aktual, kemampuan mengolah informasi secara sistematis sehingga mudah ditemukan serta kemampuan mengkomunikasikan sumber-sumber informasi yang dimiliki.
Pustakawan sebagai profesi semestinya memiliki keinginan tinggi meningkatkan produktivitas dan kinerjanya untuk memberikan manfaat bagi yang membutuhkan. Keinginan yang tidak terlepas dari kebutuhan dan harapan individu dimana dia bekerja. Oleh sebab itu perilaku kompetisi menjadi salah satu cara untuk mencapai keinginan tersebut.