Dunia Perpustakaan | Saat ini beredar sebuah petisi online yang ditujukan kepada Perpustakaan Nasional Australia (NLA). Penyebab dari dibuatnya petisi tersebut yaitu terkait dengan rencana akan ditutupnya koleksi dari sejumlah negara Asia.
Petisi ini dibuat oleh Prof Dr Jon von Kowallis yang ditujukan untuk Dr Marie-Louise Ayres selaku Direktur Jenderal NLA di Canberra, ibukota Australia.
Inti dari isi petisi ini yaitu supaya rencana penutupan koleksi Jepang dan Korea serta akan dilakukanya pengurangan dana untuk koleksi Indonesia dan Mandarin segera dibatalkan.
Tidak hanya itu, dalam petisi yang dipublikasikan melalui www.megaphone.org.au ini juga meminta supaya membatalkan rencana penutupan ‘Asian Reading Room’ yang ada di perpustakaan terbesar di Australia tersebut.
Hingga saat ini (7/6/2020), petisi ini sudah mendapatkan 1.712 tandatangan dari target 2.000 tanda tangan.
ilustrasi |
Dalam petisi ini disebutkan juga bahwa selama ini ‘National Library of Australia’ memiliki posisi yang sangat kuat dan strategis dalam menyediakan referensi dan literatus terkait sumber-sumber studi di kawasan Asia, dimana sudah sejak lama dijadikan tujuan bagi para akademisi dan peneliti.
“NLA telah menempatkan Australia dalam peta secara internasional sebagai pusat utama studi Asia,” demikian disebut dalam petisi tersebut.
Masih dalam petisi yang sama, disebutkan juga jika dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak perguruan tinggi di Australia tak lagi mengumpulkan koleksi dalam bahasa Asia.
“Karena pengurangan dana, dalam beberapa tahun terakhir kebanyakan perpustakaan di universitas di seluruh Australia tidak lagi mengumpulkan bahan dalam bahasa Asia, karena merasa NLA masih akan menjadi pusat pengumpulan bahan-bahan tersebut.”
“Bila ini tidak dilakukan lagi, studi soal Asia dan peran penting yang dimiliki Australia untuk menjadi jembatan negara-negara Timur dan Barat tidak akan ada lagi,” demikian pernyataan petisi tersebut.
Pemotongan dana untuk koleksi dari Indonesia dan China
Koleksi yang berasal dari Asia seolah yang paling terkena dampak dalam kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan rencananya pihak Perpustakaan Nasional Australia tidak akan lagi melengkapi koleksinya dengan berbahasa Jepang dan Korea, namun begitu mereka menyebut akan masih tetap mengkosentrasikan diri pada bahasa Indonesia, Mandarin dan Timor Leste.
Walaupun masih akan mengoleksi koleksi berbahasa Indonesia, yang disayangkan yaitu rencana untuk tidak lagi mempekerjakan tenaga ahli perpustakaan khusus tentang Indonesia di Canberra.
Perlu diketahui juga, selama ini Jabatan yang sangat penting ini dipercayakan kepada Tieke Atikah, yang berasal dari Indonesia, yang selama ini sudah lebih dari 30 tahun bekerja disana.
Tieke sendiri diketahui akan pensiun pada bulan Juni 2020 tahun ini, namun selama setahun terakhir dirinya sudah tidak aktif lagi dikarenakan sedang cuti panjang, hal tersebut sudah menjadi bagian dari haknya setelah bekerja puluhan tahun disana.
Saat dihubungi pihak ABC Indonesia, (29/5/2020), Tieke Atikah menyampaikan kekecewaanya terkait dengan rencana Perpustakaan Nasional Australia tersebut.
“Saya sangat tidak senang dengan kebijakan NLA ini. Berita mengenai apa yang akan dilakukan oleh NLA membuat saya merasa marah,” kata Tieke.
Lebih lanjut Tieke juga menyampaikan kekecewaanya terkait kebijakan pemerintah Australia pada umumnya yang secara terus menerus mengurangi dana untuk institusi budaya di negeri ini termasuk untuk perpustakaan.
Menurut Tieke, kehadiran fisik seorang pustakawan dari Indonesia selama ini sangat membantu mereka yang memerlukan informasi mengenai Indonesia di Perpustakaan Nasional Australia.
Saat ini Indonesia menduduki posisi kedua setelah Belanda terkait dengan jumlah koleksi di Perpustakaan Nasional Australia.
“NLA memiliki koleksi soal Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Universitas Leiden di Belanda,” kata Tieke.
Selama ini pihak Perpustakaan Nasional Australia diketahui juga memiliki kantor perwakilan di Jakarta dengan empat orang staff yang akan tetap mengumpulkan bahan-bahan berkenaan dengan Indonesia yang dianggap penting untuk Australia.
Reaksi Orang Indonesia di Australia
Salah seorang yang ikut menandatangani petisi online adalah Monika Swasti Minarnita yang sekarang mengajar di Deakin University di Melbourne.
Monika pernah tinggal di Canberra, sejak SMP sampai dia menyelesaikan PhD di Australia National University (ANU) di Canberra.
Ia mengatakan sudah sejak remaja ia berhubungan dengan NLA sebagai bagian dari kehidupannya.
“Saya tinggal di Canberra sejak umur 12 tahun dan NLA itu termasuk bagian pengalaman saya besar di Canberra mencari buku untuk esai, tugas sekolah dan juga nonton film,” katanya, seperti dikutip dari ABC Indonesia (7/6/2020).
“Film Indonesia pertama yang saya tonton adalah Cut Nyak Dien di acara NLA kalau tidak salah,” tambahnya.
Monika juga mengatakan thesis doktoralnya di ANU dan juga semua koleksi tulisan akademiknya mengenai orang Indonesia di Australia didapatkan dari koleksi Indonesia di NLA, termasuk penelitiannya mengenai warga keturunan Melayu di Pulau Kokos.
Karenya Monika mengaku sepenuhnya mendukung petisi agar NLA membatalkan rencana mereka mengurangi pendanaan bagi studi Asia di sana.
“Jangan potong koleksi Bahasa Indonesia dan publikasi Studi Indonesia di NLA, ini penting karena termasuk sejarah hubungan antara Australia dengan Indonesia dan juga mengenai orang Indonesia yang di Australia.”
“Koleksi ini penting untuk mahasiswa, generasi muda, akademis di masa depan dan juga pengetahuan untuk masyarakat mengenai pentingnya hubungan ini, sejarah ini, Australia dengan Indonesia juga Asia, dan komunitas warga Asia di Australia,” kata Monika.
“Menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan”
Eva Fahrun Nisa Amrullah sekarang mengajar di Australian National University di Canberra. (Foto: ABC Indonesia Supplied)
Eva Fahrun Nisa Amrullah yang sekarang mengajar Antropolgi di School of Culture, History dan Language di Australian National University di Canberra juga merupakan akademisi yang merasakan manfaat dari koleksi berbahasa Indonesia di NLA
“Secara umum berita ini berita ini sangat menyedihkan apalagi untuk akademisi, mahasiswa dan juga publik secara keseluruhan yang sudah mengambil manfaat banyak sekali dari koleksi NLA yang berkaitan dengan Asia dan juga penggunaan Asian Reading Room,” kata Eva dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Eva yang pernah mengajar di Selandia Baru punya pengalaman pribadi ketika dia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di ANU.
“Saya ingat waktu saya menyelesaikan S3 saya bisa duduk berjam-jam di sana sampai perpustakaan tutup, karena NLA banyak punya koleksi yang tidak bisa kita dapatkan dari perpustakaan kampus,” tambahnya lagi.
Menurut Eva belum diketahui apakah nantinya Perpustakaan Nasional Australia akan mengurangi pengumpulan bahan-bahan berkenaan dengan Indonesia, selain tidak mempekerjakan lagi ahli perpustakaan penuh berkenaan dengan Indonesia di Perpustakaan Nasional Australia.
“Kita sebagai akademisi sedih kalau melihat koleksi fisik di perpustakaan semakin berkurang,” katanya.
“Saya menikmati melihat dan memegang langung fisik buku baru.”
Menurut Eva, di jaman teknologi digital seperti sekarang ini, ketersediaan bahan dalam bentuk e-book juga membantu para peneliti dan mungkin menjadi salah satu yang harus diterima sebagai bagian dari perkembangan teknologi.
“Sekarang banyak yang sudah dalam bentuk e-book,” katanya.
“Manfaat dari e-book banyak sekali tentunya. Salah satunya sekarang lebih mudah mencari buku untuk yang tidak punya waktu ke perpustakaan,” tambahnya.
“Sekarang banyak juga koleksi yang sudah dalam bentuk digital yang memudahkan kita mengakses arsip-arsip lama,”
ABC Indonesia sudah menghubungi NLA namun ketika artikel ini diterbitkan, namun belum mendapatkan tanggapan