Budaya Baca di Australia, Dari Mahasiswa hingga Tukang Ojek Rajin Membaca

Dunia Perpustakaan | Jika pada beberapa tulisan sebelumnya kita sudah belajar dari budaya baca masyarakat Jepang dan Gila Baca Orang Rusia, kini kita coba menengok dan belajar dari Budaya Baca di Australia.

Seorang WNI yang sedang di Australia bernama Saidiman Ahmad, yang sedang melanjutkan pendidikan di Australia National University di Canberra memberikan kisah pengalamanya melalui tulisan yang dimuat di radioaustralia.net.au (26/3/14). Apa yang dia tulis terkait pengalamanya melihat Budaya Baca di Australia.

Mari kita simak kisahnya yang semoga bisa memotivasi pembaca untuk terus bersemangat rajin membaca dan mengajak teman dan siapapun untuk terus suka membaca.

Hari masih sangat pagi untuk musim gugur yang datang terlalu cepat. Orang-orang berjaket tipis bertebaran di muka gedung perpustakaan. Ada yang duduk di tangga. Ada yang berdiri bicara pelan. Beberapa lainnya membuka laptop, iPad, atau buku catatan. Ada juga yang mulai membaca.

Waktu di ponsel menunjukkan angka 08.30 pagi. Setengah jam lagi perpustakaan buka. Orang-orang berdatangan dari berbagai arah. Lima menit menjelang buka, orang-orang semakin ramai dan mulai berjejer di muka pintu. Mereka menunggu pintu terkuak untuk kemudian menyerbu buku di dalam sana.

Ini bukan kali pertama terjadi, tapi hampir setiap hari. Gairah untuk mendatangi perpustakaan begitu tinggi. Tak perlu aku ceritakan terlalu jauh tentang isi perpustakaan. Cukuplah aku katakan bahwa perpustakaan-perpustakaan di kampus ini begitu lengkap. Semua buku yang mampu engkau ingat mungkin akan kau dapatkan di perpustakaan-perpustakaan ini.

Para petualang buku akan betah berlama-lama di dalamnya. Dalam rimba buku yang melenakan itu, tak jarang ada pengunjung yang memilih tersesat atau sengaja melupakan jalan keluar. Membiarkan dirinya ditemukan oleh penjaga perpustakaan di sudut ruang baca. Dan sang penjaga perpus memberi tahu bahwa malam sudah terlalu larut. Waktu berkunjung sudah habis. Saatnya untuk pulang.

Aku sering mendengar cemoohan pada anak-anak muda yang gemar membaca. Seringpula kulihat gambaran yang sangat tidak menarik dari para kutu buku di film-film dan drama serial. Tentang rambut mereka yang terlalu rapi dan kaku. Gaya bertutur mereka yang kikuk. Tidak punya pacar. Kacamata tebal. Baju kemeja yang dikancing penuh sampai batas leher. Suatu kesan bahwa para penggemar buku adalah orang-orang tolol yang menghabiskan waktunya menyendiri. Tak punya teman. Tak punya pergaulan. Kuper.

Tapi itu hanya terjadi di negeri-negeri terbelakang. Itu tidak terjadi di sini, di negeri terkemuka ini, Australia. Orang-orang bergairah menenteng buku ke mana-mana. Orang-orang menghabiskan waktu di bus-bus kota dengan membaca. Orang-orang di kafe tidak membiarkan waktunya berlalu begitu saja hanya bersama kopi tanpa bahan bacaan. Di ruang-ruang kerja, di sela-sela waktu sibuk, mereka suka membaca. Di rumah, menjelang lelap, mereka membaca.

Pemerintah dengan sangat serius memfasilitasi hobi warganya ini dengan membangun perpustakaan-perpustakaan umum. Hampir semua sub-district memiliki perpustakaan umum. Perpustakaan-perpustakaan umum itu tidak hanya berisi buku-buku untuk para akademisi, tapi juga buku-buku cerita anak. Sebenarnya tidak hanya berisi buku, tapi juga permainan anak-anak. Separuh badan perpustakaan adalah untuk anak-anak.

Setiap hari perpustakaan merancang acara untuk anak-anak seperti mendongeng, bernyanyi bersama, menggambar, dan bahkan sekedar ketawa-ketawaan bersama. Juga dibuat acara untuk orang-orang dewasa dari luar negeri yang ingin memperlancar bahasa Inggris. Pada pokoknya, anak-anak sampai orang dewasa akrab dan mencintai perpustakaan. Perpustakaan bukan sekedar tempat mencari ilmu, tapi juga tempat berinteraksi sesama warga, dan arena bermain yang mengasyikkan. Barangkali bahkan tidak sedikit remaja yang menemukan tambatan hati di ruang-ruang baca.

Dengan beragam fasilitas itu, perpustakaan menjadi bangunan utama kota. Ia tidak hanya menjadi salah satu bangunan terbesar, tapi juga termegah di kota. Ia adalah simbol peradaban kota. Melibatkan arsitek-arsitek terbaik, ia dirancang dengan sangat serius. Tidak terlalu mengejutkan jika pada suatu lomba foto media sosial dengan tema arsitektur di Canberra baru-baru ini, foto tentang Australian National Library keluar sebagai pemenang pertama. Perpustakaan dibangun sedemikian menarik sejak dari penampilan luarnya. Tidak sedikit orang datang ke perpustakan sekedar untuk mengambil gambar untuk diabadikan di media sosial.

Baru-baru ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia, M. Chatib Basri, berkunjung ke Canberra. Ia bercerita tentang Indonesia yang sedang galak-galaknya membangun untuk mencapai status sebagai negeri maju. Ia menyimpulkan bahwa untuk menjadi negara maju, tidak bisa tidak, pembangunan sumber daya manusia harus dikedepankan.

Human capital adalah kunci. Saya setuju dengan Pak Menteri. Barangkali itu bisa dimulai dengan membangun perpustakaan-perpustakaan yang bermutu dan menarik. Sehingga pada suatu ketika, orang-orang datang ke kota seperti Jakarta tidak hanya untuk mengunjungi Monas, Ancol, Taman Mini, dan Tanah Abang, tapi juga perpustakaan nasional dan perpustakaan-perpustakaan sampai ke tingkat kecamatan.

Lalu pada suatu waktu, tukang-tukang ojek, angkot, dan taksi memarkir kendaraan di luar gedung perpustakaan. Di bawah temaram lampu jalan, mereka membuka halaman demi halaman novel terbaru sastrawan idola sambil menunggu pengunjung perpustakaan bubar di larut malam.

profil penulis: Dunia Perpustakaan

duniaperpustakaan.com merupakan portal seputar bidang dunia perpustakaan yang merupakan bagian dari CV Dunia Perpustakaan GROUP. Membahas informasi seputar dunia perpustakaan, mulai dari berita seputar perpustakaan, lowongan kerja untuk pustakawan, artikel, makalah, jurnal, yang terkait bidang perpustakaan, literasi, arsip, dan sejenisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *