Dunia Perpustakaan | Dunia Tanpa Otak | Dunia Tanpa Berfikir | Kita hidup di zaman ketika berpikir perlahan-lahan menjadi aktivitas yang dianggap tidak penting. Orang lebih suka mencari “jawaban instan” daripada memahami persoalan secara mendalam. Di tengah gempuran kemudahan digital dan kecanduan terhadap kecepatan informasi, sebuah buku berjudul World Without Mind: The Existential Threat of Big Tech karya Franklin Foer hadir sebagai tamparan keras untuk kita semua.
Foer bukan sekadar mengkritik dominasi raksasa teknologi seperti Google, Facebook, dan Amazon. Ia menelanjangi bagaimana perusahaan-perusahaan ini perlahan-lahan mengambil alih cara kita berpikir, memilih, dan memutuskan. Mereka tidak hanya mengontrol pasar, tetapi juga mengontrol kesadaran. Dalam bahasa yang lebih tajam dan sesuai dengan realitas hari ini, buku ini sedang memperingatkan kita tentang lahirnya sebuah “dunia tanpa otak”— sebuah dunia di mana manusia berhenti menggunakan pikirannya sendiri, dan dengan sukarela menyerahkan kendali hidupnya pada algoritma.
Kecanduan AI di Berbagai negara
Para karyawan dan pelajar kini makin bergantung pada AI. Sebuah laporan terbaru menyebutkan:
- 58 % karyawan menggunakan AI dalam pekerjaan, dengan 1 dari 3 memakai alat-alat tersebut secara rutin.
- Di kalangan pelajar AS, penggunaan ChatGPT mengganda dari 2023 ke 2024.
- 86 % mahasiswa global dan 63 % remaja AS dilaporkan memakai AI untuk tugas sekolah.
- Survei KPMG-Univ. Melbourne menyebut 57 % pekerja menyembunyikan penggunaan AI dari atasan—menandakan ada ketidakpastian etik dan literasi.
Data dan Angka-angka diatas menunjukkan satu hal: kita sedang tidak hanya menggunakan teknologi; kita dikuasai olehnya.
Beberapa negara langsung mengeluarkan berbagai kebijakan agar masyarakatnya tidak menjadikan Ai sebagai alat utama untuk mengerjakan berbagai kerjaan dan tugas sekolah dan kuliah.
Sebagai reaksi, beberapa negara memilih kembali ke dasar pendidikan:
Swedia
Kembali memprioritaskan buku cetak, latihan menulis tangan, dan sesi membaca tenang di usia dini. Melalui investasi 60 juta euro, pemerintah menghapus penggunaan tablet untuk anak di bawah 6 tahun.
Polandia dan Jerman
Meskipun tak banyak mengecilkan penggunaan digital, kedua negara ini mempertahankan campuran metode—menghindari digitalisasi berlebihan dan mendukung pembelajaran berpandu guru.
Ketika Otak Ditarik ke Belakang, Layar Ditarik ke Depan
Hari ini, kita melihat bagaimana banyak orang tidak lagi membaca buku, tidak lagi menikmati proses berpikir, dan tidak lagi mau merenung. Semua harus cepat, semua harus ringkas, semua harus praktis. Ini bukan semata perubahan gaya hidup. Ini adalah pengikisan peradaban.
Big Tech sangat tahu bagaimana memikat manusia: tawarkan kenyamanan, tampilkan personalisasi, dan bungkus semua itu dengan keajaiban teknologi. Maka tak heran jika manusia modern semakin kehilangan kesadaran kritis. Kita bukan lagi manusia yang membaca buku dan merenung, tapi manusia yang menggulir layar dan menerima apa pun yang disodorkan.
Di sinilah benih-benih “dunia tanpa otak” mulai tumbuh. Kita berhenti bertanya, berhenti mendalami, dan berhenti menguji kebenaran. Karena kita sudah terlalu percaya pada mesin. Padahal, ketika teknologi menggantikan otak kita dalam berpikir, maka yang hilang bukan hanya daya nalar, tetapi juga kebebasan.
Membaca Buku adalah Tindakan Perlawanan
Sebagai pegiat literasi, saya melihat apa yang disampaikan Foer sangat relevan, bahkan urgen. Membaca buku bukan sekadar hobi atau gaya hidup, tapi bentuk perlawanan terhadap penyeragaman berpikir yang diproduksi oleh mesin pencari dan algoritma media sosial.
Buku melatih kesabaran, mengasah pemahaman, dan memperkuat daya refleksi. Tapi hari ini, membaca buku dianggap ketinggalan zaman. Bahkan di lingkungan pendidikan, budaya membaca kalah oleh budaya “copas” dan ringkasan instan.
Kalau dulu perpustakaan dianggap tempat belajar dan merenung, kini ia dianggap tidak relevan karena semua “sudah ada di internet.” Padahal internet bukan tempat berpikir, ia hanya tempat mencari. Otak yang belum dilatih berpikir akan tenggelam dalam lautan informasi, bukan tercerahkan.
Gunakan Otak Dulu, Baru Gunakan Teknologi
Teknologi bukan musuh. Ia adalah alat, bahkan bisa menjadi berkah jika digunakan secara cerdas dan sadar. Tapi masalahnya, kita terlalu sering menggunakan teknologi dalam posisi bodoh—tanpa pengetahuan, tanpa filter, tanpa daya kritis. Inilah mengapa justru sekarang kita butuh lebih banyak orang yang berpikir, bukan sekadar lebih banyak orang yang bisa mengoperasikan aplikasi.
Maka, sebelum kita berbicara soal literasi digital, kita harus mengembalikan dulu literasi berpikir. Sebelum mengajari orang menggunakan perangkat pintar, ajari dulu bagaimana berpikir cerdas. Karena teknologi yang digunakan oleh orang yang malas berpikir hanya akan memperkuat kebodohan. Sebaliknya, teknologi yang digunakan oleh manusia yang sudah cerdas dan bijak justru akan memperluas kemerdekaan.
Kita Masih Punya Pilihan
Buku World Without Mind adalah peringatan keras—bahwa jika kita terus berjalan seperti sekarang, kita sedang menuju zaman di mana manusia tak lagi berpikir sendiri. Dunia tanpa pikiran bukan lagi sekadar ancaman, tetapi realitas yang sedang kita masuki.
Namun kita masih punya pilihan. Dan itu dimulai dari langkah sederhana: membaca buku, melatih berpikir, dan menggunakan otak sebelum menekan tombol.
Rekomendasi untuk Pendidikan dan Literasi
- Integrasikan buku cetak ke dalam kurikulum—jadikan bacaan panjang sebagai dasar, bukan pelengkap.
- Latih pelajar berpikir kritis sebelum mengajari mereka menggunakan AI.
- Gunakan teknologi dalam posisi yang ditentukan oleh pikiran manusia, bukan sebaliknya.
Mari tidak menyerah pada kenyamanan palsu yang ditawarkan teknologi. Mari kembali ke buku, kembali ke ruang refleksi, kembali ke peran mulia sebagai manusia yang berpikir. Sebelum benar-benar terlambat.
Dunia Perpustakaan Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan

