Pustakawan di Era Digital

Pustakawan di Era Digital: Pilar Literasi, Inovasi, dan Transformasi Sosial


Dunia Perpustakaan | Pustakawan di Era Digital: Pilar Literasi, Inovasi, dan Transformasi Sosial | 

Pendahuluan

Peringatan Hari Lahir Pustakawan setiap 7 Juli bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan sebuah refleksi kolektif tentang makna, peran, dan tantangan profesi pustakawan di tengah perubahan zaman. Dalam era digital dan masyarakat 5.0, pustakawan dituntut untuk tidak hanya menjadi pengelola koleksi informasi, tetapi juga menjadi fasilitator literasi, edukator masyarakat, manajer pengetahuan, hingga agen transformasi sosial. Profesi ini berkembang dari “penjaga buku” menjadi aktor penting dalam ekosistem pendidikan, budaya, dan pembangunan nasional.

Namun, di balik tantangan yang kompleks, peran pustakawan semakin strategis. Maulidia Paryani (2018) menyatakan bahwa pustakawan dituntut menguasai dua kompetensi kunci: strategi penelusuran informasi dan evaluasi sumber informasi berbasis web, yang mencakup otoritas, akurasi, dan objektivitas. Hal ini menandai pergeseran dari pengelolaan fisik menjadi manajemen konten digital.

Pustakawan saat ini juga dihadapkan pada perubahan peran yang begitu cepat. Tidak lagi hanya duduk di balik meja referensi, pustakawan kini bergerak sebagai agen literasi digital, fasilitator pembelajaran sepanjang hayat, serta pendamping masyarakat dalam menghadapi derasnya arus informasi yang kerap kali menyesatkan. Di tengah kompleksitas era informasi, kehadiran pustakawan bukan hanya penting—melainkan sangat mendesak.

Transformasi Peran Pustakawan

Dari Penjaga Koleksi Menjadi Fasilitator Pengetahuan

Transformasi digital telah mengubah paradigma layanan perpustakaan dan pustakawan. Seorang pustakawan saat ini harus mampu menyusun metadata digital, mengelola e-resources, menggunakan perangkat lunak pengelola referensi, dan menjadi penghubung antara pengguna dan sumber pengetahuan yang kredibel. Fitriyani et al. (2023) menekankan bahwa pustakawan masa kini memiliki peran sebagai edukator digital dan pelatih literasi informasi di lingkungan akademik.

Di sekolah dan madrasah, peran pustakawan semakin signifikan. Nurul Intan Distianti, Gani Nur Pramudyo (2024) dalam studinya di SMA Negeri 2 Pati menunjukkan bahwa pustakawan berperan sebagai teacher-librarian, trainer literasi digital, dan pengelola perpustakaan digital. Pustakawan tidak hanya menunggu pengunjung, tetapi proaktif membimbing siswa memahami informasi secara kritis dan etis.
Selain itu, kemampuan pustakawan untuk beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat menjadi semakin penting. Di banyak wilayah, pustakawan kini menjalankan fungsi sebagai mediator informasi dalam bidang pertanian, kesehatan, hingga administrasi desa. Pustakawan yang peka terhadap kebutuhan komunitasnya dapat menjembatani kesenjangan informasi dan memperkuat daya saing lokal.

Literasi dan Ketahanan Informasi

Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia menjadi tantangan besar. Hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia di bawah rata-rata OECD dalam hal kemampuan membaca dan memahami informasi. Dalam konteks ini, pustakawan memiliki peran sentral dalam meningkatkan literasi dasar, informasi, dan digital.

Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga mencakup kecakapan memahami, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi secara kritis. Di sinilah peran pustakawan menjadi sangat vital. Pustakawan yang memiliki kompetensi literasi informasi dapat membantu masyarakat membedakan antara informasi valid dan hoaks, serta menumbuhkan budaya membaca dan berpikir reflektif.

Perpusnas RI menegaskan bahwa pustakawan harus mampu menjalankan peran sebagai penggerak literasi digital dan menjadikan perpustakaan sebagai “social space” yang memberdayakan masyarakat (Perpusnas, 2021). Pustakawan harus menjadi fasilitator informasi, edukator masyarakat, dan inovator layanan.

Literasi juga berkaitan dengan daya tahan masyarakat terhadap manipulasi informasi, ujaran kebencian, dan disinformasi politik. Maka, pustakawan harus menjadi pelindung masyarakat terhadap dampak negatif era pascakebenaran. Peran ini tidak dapat dipenuhi tanpa dukungan pelatihan literasi media dan teknologi informasi secara berkelanjutan.

Profesionalisme dan Kompetensi Pustakawan

Tuntutan Kompetensi Baru

Dalam era disrupsi informasi, pustakawan dituntut memiliki keterampilan lintas disiplin. Nada (2021) menyebutkan bahwa peran pustakawan berkembang menjadi “data librarian” yang mampu mendampingi peneliti dalam manajemen data penelitian, pelatihan open access, dan integritas ilmiah.

Selain itu, literasi data menjadi keahlian baru yang penting. Pustakawan tidak hanya mengelola data bibliografis, tetapi juga membantu menganalisis, memvisualisasikan, dan menginterpretasi data untuk pengambilan keputusan. Kompetensi ini selaras dengan agenda pengembangan SDM digital nasional.
Kemampuan kolaborasi juga menjadi krusial. Pustakawan dituntut bekerja lintas bidang, menjalin kemitraan dengan peneliti, dosen, guru, komunitas, bahkan pemangku kebijakan. Pendekatan kolaboratif ini memperluas peran pustakawan tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi juga dalam konteks sosial dan pembangunan.

Tantangan Struktural dan Kelembagaan

Sayangnya, tantangan kelembagaan masih menjadi penghambat profesionalisme pustakawan. Banyak perpustakaan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) belum memiliki pustakawan profesional, infrastruktur TIK minim, serta keterbatasan dukungan anggaran dan pelatihan.

Rizki Nurislaminingsih (2020) mengkritik bahwa pustakawan masih sering diposisikan sebagai pelengkap lembaga, bukan mitra strategis dalam proses pendidikan dan pengambilan kebijakan. Hal ini harus diubah melalui regulasi yang berpihak pada peningkatan kapasitas, insentif, dan penguatan organisasi profesi.
Kondisi ini diperparah dengan belum meratanya kurikulum pendidikan perpustakaan di berbagai perguruan tinggi. Diperlukan pembaruan kurikulum yang menyeluruh dan adaptif terhadap tantangan masa depan, termasuk integrasi teknologi informasi, sosiologi informasi, etika digital, hingga pendekatan pelayanan publik berbasis komunitas.

Inovasi dan Masa Depan Profesi Pustakawan

Pustakawan sebagai Agen Inovasi Sosial

Berbagai inisiatif pustakawan di tingkat akar rumput menunjukkan wajah baru profesi ini. Program literasi berbasis komunitas, perpustakaan keliling, taman bacaan digital, hingga pemanfaatan media sosial untuk promosi literasi menunjukkan bahwa pustakawan tidak kaku di balik meja sirkulasi, melainkan aktif sebagai motor perubahan.

Contoh seperti Pustaka Bergerak di berbagai pelosok Indonesia membuktikan bahwa pustakawan bisa menjangkau mereka yang terpinggirkan secara geografis dan sosial. Ini memperkuat pendapat Jesse D. Mann (2017) bahwa pustakawan adalah “the last guardians of intellectual freedom”—penjaga terakhir kebebasan berpikir.

Dalam masyarakat digital, pustakawan juga mulai menjelma sebagai konten kreator. Mereka membuat podcast literasi, video edukatif, tutorial penggunaan database, hingga kelas daring tentang keterampilan literasi digital. Ini menjadi bentuk adaptasi yang menghubungkan perpustakaan dengan generasi digital native.

Menyongsong Profesi Masa Depan

Di masa depan, pustakawan akan semakin terintegrasi dalam ekosistem riset, pendidikan, dan layanan publik digital. Keterampilan seperti pemrograman dasar, kurasi konten digital, keamanan data, hingga pemahaman etika algoritma akan menjadi bagian dari kompetensi profesional pustakawan.

Kurikulum pendidikan ilmu perpustakaan pun harus adaptif terhadap perkembangan ini. Integrasi antara teori informasi, keterampilan teknologi, dan pendekatan humanistik perlu diperkuat agar lulusan tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga tangguh secara etis dan komunikatif.

Pustakawan masa depan bukan hanya penjaga informasi, tetapi penjaga kepercayaan. Mereka akan menjadi mitra strategis dalam mewujudkan masyarakat yang cerdas, kritis, dan bermartabat.

Penutup

Hari Lahir Pustakawan bukan sekadar momen simbolik, tetapi panggilan untuk memperkuat eksistensi dan visi profesi pustakawan. Di tengah arus informasi yang melimpah dan tantangan literasi yang mendesak, pustakawan tampil sebagai jembatan antara pengetahuan dan masyarakat. Mereka adalah fasilitator perubahan, penjaga integritas informasi, dan pembangun peradaban berbasis literasi.

Sudah saatnya kebijakan, anggaran, dan pengakuan publik diarahkan untuk memperkuat kapasitas dan peran pustakawan. Pendidikan pustakawan harus menjawab kebutuhan zaman, dan organisasi profesi harus menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak serta martabat pustakawan.

Dengan semangat Hari Lahir Pustakawan, mari kita bangun profesi ini sebagai kekuatan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, bangsa yang besar bukan hanya yang memiliki banyak buku, tetapi yang memiliki pustakawan hebat untuk membacakan dan menghidupkannya kembali kepada masyarakat.


profil penulis: Rhoni Rodin

Penulis adalah Dosen/Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Perpustakaan di IAIN Curup, UT Palembang dan UIN RF Palembang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *