Kepustakawanan Berbasis Inklusi Sosial
Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 4 No. 2 – Desember 2002
Abstrak
Kepustakawanan Indonesia adalah bagian dari proses merajut jaringan sosial, bagian dari upaya yang menciptakan inklusi sosial dan bermuara pada kesaling-pemahaman antar anggota masyarakat, kerukunan dan kesejahteraan bersama. Kepustakawanan Indonesia, dengan demikian, adalah bagian dari Indonesia yang beradab.
Tetapi, itulah celakanya! Semua itu adalah teori tentang kepustakawanan dan kepustakawanan Indonesia. Di tengah situasi krisis seperti sekarang ini, maka sangatlah sulit percaya bahwa semua teori itu telah diaplikasikan dalam praktik-praktik perpustakaan di Indonesia.
Artikel Lengkap
Untuk sebagian kecil orang para sosiolog, pekerja sosial, pengamat masyarakat, peneliti sosial istilah ekslusi sosial (social exclusion) adalah terminologi yang saat ini sedang sering dipakai menjelaskan berbagai gejala yang amat menggelisahkan di masyarakat.
Coba saja kita lihat : kemarahan yang mampu membumi-hanguskan sebuah kota, protes yang cepat memuncak menjadi pengerusakan, kekecewaan penonton sepakbola yang meletus menjadi amuk, main hakim sendiri yang menjelma jadi kesadisan mengerikan, tawuran yang selalu berisi pembantaian, mutilasi mayat yang semakin sering terjadi daftarnya bisa panjang sekali.
Jutaan manusia kita semua merasakan langsung fenomena itu sebagai sebuah teror berkepanjangan. Akibatnya, hidup kita sehari-hari dipenuhi rasa takut yang amat mencekam, hilang percaya diri, kecurigaan berlebihan kepada sesama, panik yang semakin sering datang, dan sebagainya.
Kita pun tak jarang ikut hanyut dalam keberingasan, menjadi orang yang mudah kalap, tidak peduli kepada keselamatan orang lain, gampang naik darah, suka melihat orang lain menderita, tidak sabar mengikuti peraturan keselamatan bersama, ikut mengutil dan menggerogoti yang bukan hak kita, dan sebagainya.
Ada juga di antara kita yang malang, menjadi korban dari kekerasan oleh orang lain: menjadi korban kapak merah, ditodong di atas angkutan kota, menjadi istri yang dipukuli suami, menjadi suami yang diperas istri, menjadi ABG yang diperjual-belikan, menjadi anak yang diperbudak, dan seterusnya.
Kalau tidak orang lain yang merusak, diri sendiri pun kini punya cara merusak yang semakin lama semakin canggih: menjadi pelacur terselubung lewat perselingkuhan, menghancurkan tubuh lewat narkotik dan obat bius, hidup secara hedonistik sehingga akhirnya menanggung berbagai penyakit, atau menjadi gila karena pertahanan mental kita runtuh total. Kita boleh saja membungkus semua ini dengan eufisme; kita menciptakan istilah stress, atau mengatakan semua itu adalah risiko hidup modern, atau bahkan menganggapnya adalah sebuah mode yang sedang in. Tetapi, lama kelamaan semua bungkus itu tak dapat menutupi kesengsaraan yang semakin kentara.
Social exclusion dipakai sebagai konsep yang merangkum semua kesengsaraan itu, sekaligus sebagai upaya menjelaskan sumber utamanya, yaitu terkoyaknya jaringan hubungan sosial. Telah lama para sosiolog yakin, landasan bagi kehidupan yang manusiawi adalah jaringan hubungan sosial yang erat dan hangat.
Manusia diyakini sebagai mahluk yang membutuhkan kedekatan satu sama lainnya agar dapat hidup dengan nyaman, tanpa harus mengorbankan keinginan dasarnya untuk bebas dari keterikatan. Social exclusion telah menyebabkan kita kehilangan kontak dengan tetangga di sebelah, apalagi dengan saudara-sebangsa di pulau lain, padahal transportasi dan telekomunikasi sudah semakin modern.
Ikatan-ikatan sosial yang inklusif dan bhineka telah diganti oleh pengelompokan ekslusif berdasarkan kaidah-kaidah yang dangkal dan untuk kepentingan sementara. Uang menggantikan salam yang kita sampaikan ketika berjumpa sesama. Fasilitas material menggantikan jabat tangan hangat antara orang-orang yang bekerja bersama. Keanggotaan sebuah klub eksklusif menjadi lebih penting daripada kewarga-negaraan (citizenry).
Social exclusion menggejala di Indonesia, dimulai sejak Orde Baru, dan mencapai puncaknya dalam bentuk berbagai krisis ekonomi, sosial, politik dan budaya. Saat ini, kita semua membutuhkan social inclusion (inklusi sosial) dalam sebuah suasana yang memungkinkan munculnya rasa saling percaya (trust), sehingga akan terbentuk modal bersama (social capital) bagi upaya membangun hidup yang lebih manusiawi, tidak beringas dan tidak menuju kemusnahan (apocalyptic).
Tetapi, apa hubungannya semua ini dengan kepustakawanan? Bagaimana pula mengaitkan keberingasan sosial di Indonesia dengan kepustakawanan Indonesia?
*****
Istilah kepustakawanan merupakan terjemahan langsung dari librarianship. Akhiran “-ship” dalam kata ini mengungkapkan berbagai pengertian mulai dari suatu kondisi, sampai ke lembaga, atau profesi, sehingga secara umum kepustakawanan diartikan sebagai institusi, tugas atau profesi yang dijalankan pustakawan. Dengan demikian, kita tak perlu mencampur-adukkan kepustakawanan dengan ilmu perpustakaan, jasa perpustakaan, atau ilmu informasi.
Kepustakawanan dapat saja berupa upaya penghimpunan rekaman-rekaman pemikiran manusia demi kelanjutan proses belajar seluruh anggota masyarakat, atau sebagai prinsip-prinsip filosofis yang mendasari pekerjaan di bidang perpustakaan, dan sebagai “isi intelektual” (intelectual content) dari para pustakawan, selain juga sebagai salah satu cara memajukan dunia yang demokratis. Kepustakawanan merupakan landasan bagi pelaksanaan pekerjaan di perpustakaan dan bukan semata-mata pekerjaan itu sendiri.
Kepustakawanan mencerminkan tempat dan masyarakatnya sebagaimana antara lain terungkap dalam salah satu hukum Ranganathan “perpustakaan adalah organisme yang tumbuh” (dan karena itu tergantung di mana tumbuhnya) . Kepustakawanan Indonesia, dengan demikian dapat dijelaskan dengan melihat tempat tumbuhnya, yakni masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan berisi dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Wujud kebudayaan misalnya berupa gagasan, konsep dan pikiran manusia, atau suatu rangkaian kegiatan, dan bahkan juga berupa benda, mulai dari sendok nasi sampai peluru kendali. Sedangkan isi kebudayaan ada bermacam-macam, mulai dari bahasa sampai teknologi, mulai dari sistem ekonomi sampai religi dan kesenian.
Di manakah kita bisa menempatkan perpustakaan dalam kebudayaan? Kita dapat melihatnya dari apa yang selama ini diurus oleh perpustakaan, yakni buku dan kegiatan membaca yang secara historis merupakan titik perhatian kegiatan perpustakaan. Buku adalah rekaman pengetahuan (records of knowledge) dalam pengertian yang sangat luas dan yang termasuk dalam kategori isi budaya.
Pengetahuan bisa direkam ketika semesta simbol, yang semula hanya bisa diwujudkan lewat bahasa lisan, berhasil dilestarikan dalam bentuk bahasa tulisan dan dipertahankan pada berbagai jenis media. Jadi, hampir pasti dapat dikatakan bahwa perpustakaan adalah isi atau wujud dari kebudayaan yang sudah mengenal tulisan dan
media. Kebudayaan yang demikian ini seringkali diberi nama kebudayaan yang sudah beradab sebagai lawan dari kebudayaan primitif.
*****
Sementara itu, dalam sosiologi dikenal istilah institusi dan sistem. Perpustakaan dan kepustakawanan adalah institusi sosial jika memiliki struktur yang telah bertahan sepanjang waktu tertentu di dalam wilayah yang luas (misalnya, negara Indonesia). Sedangkan sebagai sebuah sistem sosial, perpustakaan adalah interaksi antar anggota masyarakat yang dijalankan secara terus menerus sehingga terpola dan terlihat sebagai kegiatan rutin. Dalam interaksi ini, anggota-anggota masyarakat memanfaatkan tata-aturan dan sumberdaya yang adalah struktur sosial.
Perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia adalah sistem sosial yang mengandung di dalamnya interaksi antar berbagai pihak yang terus menerus. Untuk melakukan interaksi ini diperlukan kegiatan komunikasi, penggunaan kekuasaan/wewenang, serta penerapan sanksi-sanksi sosial. Semua kegiatan ini hanya dapat dilakukan jika ada skema interpretasi, alokasi fasilitas, dan norma-norma. Skema interpretasi memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perpustakaan berkomunikasi satu sama lainnya.
Alokasi sarana memungkinkan pihak-pihak yang berinteraksi mencapai tujuan masing-masing maupun tujuan bersama, sekaligus menentukan struktur hubungan dominasi antar mereka. Sedangkan norma-norma memungkinkan adanya kepastian tentang legitimasi berbagai pihak yang berinteraksi.
Kepustakawanan Indonesia jelas memerlukan legitimasi dalam wujud norma-norma tentang pengetahuan bersama dan pemanfaatannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara masyarakat Indonesia menetapkan serta menerapkan norma-norma tentang perpustakaan inilah yang menentukan seberapa tertanamnya struktur legitimasi perpustakaan Indonesia dalam rentang ruang dan waktu.
Sejalan dengan itu, diperlukan alokasi fasilitas yang memungkinkan pihak-pihak yang menggunakan perpustakaan mencapai tujuan-tujuannya. Termasuk di dalam fasilitas ini adalah tidak saja sarana-prasarana, tetapi juga kewenangan untuk mengalokasikan fasilitas itu pada kegiatan tertentu. Seberapa besar alokasi fasilitas dan keluasan wewenang yang diberikan kepada perpustakaan Indonesia menentukan seberapa pastinya dominasi perpustakaan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Legitimasi dan dominasi ini bersama-sama dengan tata-cara pemanfaatan perpustakaan untuk kegiatan komunikasi pengetahuan membentuk “struktur sosial perpustakaan Indonesia”.
*****
Dari uraian teoritis di atas, jelaslah bahwa kepustakawanan Indonesia adalah bagian dari proses merajut jaringan sosial, bagian dari upaya yang menciptakan inklusi sosial dan bermuara pada kesaling-pemahaman antar anggota masyarakat, kerukunan dan kesejahteraan bersama. Kepustakawanan Indonesia, dengan demikian, adalah bagian dari Indonesia yang beradab. Tetapi, itulah celakanya! Semua itu adalah teori tentang kepustakawanan dan kepustakawanan Indonesia. Di tengah situasi krisis seperti sekarang ini, maka sangatlah sulit percaya bahwa semua teori itu telah diaplikasikan dalam praktik-praktik perpustakaan di Indonesia.
Lebih mudah untuk kita berpikir bahwa teori tentang kepustakawanan Indonesia selama ini salah belaka, dan bahwa kepustakawanan Indonesia tidak perlu berkaitan dengan prinsip-prinsip kebudayaan dan struktur sosial Indonesia. Misalnya, logika ini akan mengatakan bahwa kepustakawanan Indonesia cukuplah dibangun dengan teknik-teknik pelaksanaan perpustakaan yang berlaku universal, seperti teknik pengatalogan, teknik klasifikasi, teknik peminjaman dan manajemen sumberdaya informasi yang telah dipakai di seluruh dunia secara terstandar. Logika ini lebih mudah dipakai, daripada kita menuduh kepustakawanan Indonesia telah ikut menciptakan kesenjangan yang mengarah kepada social exclusion.
Persoalannya bagi kita sekarang adalah: mau memilih di antara kedua logika di atas, ataukah menerima kenyataan bahwa belum ada kepustakawanan di Indonesia, sehingga memang belum ada kaitan antara semua yang terjadi di masyarakat kita dengan kepustakawanan di negeri ini.
Jika kita mau menerima kenyataan seperti ini, maka lebih mudah membuat kesepakatan untuk berbuat yang sebaliknya, yaitu membangun sebuah kepustakawanan baru yang adalah isi budaya bangsa Indonesia dan merupakan sistem sosial Indonesia. Jika tidak, maka semua teori tentang kepustakawanan yang berkaitan dengan budaya masyarakatnya boleh lah ditolak mentah-mentah dan tidaklah perlu mengaitkan kepustakawanan dengan keberingasan sosial segala!