Dunia Perpustakaan | Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah yaitu hanya pada angka 0,01 persen. Rendahnya minat baca yang dibarengi dengan ekonomi masyarakat yang masih belum stabil membuat membaca menjadi sebuah hal mewah yang dimiliki masyarakat.
Namun hasil yang mengenaskan mengenai berbagai angka minat serta keterampilan baca yang rendah di Indonesia ini ditampik oleh #PejuangMerdeka kita, Eko Cahyono.
“Sebenarnya minat baca orang Indonesia itu sangat tinggi, yang kurang itu hanya bahan bacaannya saja,” jelas Eko.
“Lha bagaimana mau membaca kalau secara ekonomi mereka masih kesulitan untuk makan serta pemerintah belum menyediakan buku-buku yang mudah diakses untuk dibaca,” sambungnya.
Dikutip dari malang.merdeka.com, [17/08/16]. Eko Cahyono merupakan salah satu pejuang literasi di Indonesia, dari perpustakaannya di desa Sukopuro, kecamatan Jabung dia aktif mendengungkan semangat cinta terhadap buku hingga ke berbagai daerah lain. Tak pelak berbagai penghargaan pernah diraih oleh pendiri Perpustakaan Anak Bangsa tersebut.
Saat ini, perpustakaan yang telah dirintisnya sejak 1998 itu telah memiliki sebuah ruang permanen dengan koleksi sekitar 57.000 buku yang hampir seluruhnya didapat melalui sumbangan. Ruang perpustakaannya juga seakan menjadi sebuah surga tersembunyi bagi penggemar buku untuk menghanyutkan diri mencari berbagai bahan bacaan dan bertukar ide.
Kecintaan Eko yang luar biasa terhadap buku tidak hanya terjadi dalam waktu satu malam saja. Pria kelahiran 28 maret 1980 ini mengakui telah mencintai buku sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di masa sekolah ini lah, hampir setiap waktu istirahat pelajaran selalu dimanfaatkannya untuk membaca di perpustakaan.
Bahkan dia dapat menjelaskan bacaan pertama yang menggiringnya hingga menjadi cinta mati terhadap buku hingga saat ini.
Eko Cahyono saat Perpustakaanya masih di samping makam jauh sebelum perpustakaanya sebesar sperti sekaraang ini. |
“Saya ingat waktu SD dulu yang pertama saya baca itu adalah majalah Intisari. Jadi waktu buka pintu perpustakaan, pintu itu menyenggol rak buku dan jatuhlah majalah Intisari yang pertama saya baca waktu itu,” ujarnya.
Ketertarikan itu terbentuk berkat berbagai kata-kata mutiara yang ada di majalah Intisari. berawal dari situ lah, Eko mulai gemar membaca dan terus dilakukannya semasa SMP dan SMA. Selepas lulus SMA, dengan bermodal setumpuk koran bekas dan 400 majalah bekas, Eko mulai mendirikan perpustakaannya sendiri.
“Waktu itu perpustakaan saya masih ngemper, jadi koran dan majalah bekas itu saya pajang mulai pagi hari dan kalau sudah mulai sore saya bereskan,” jelasnya.
Jauhnya jarak rumah Eko ke pusat kota Malang untuk mendapat sumber bacaan merupakan alasannya membuat perpustakaan di kampungnya ini. Majalah bekas yang menjadi modal awalnya membuka perpustakaan merupakan koleksi pribadinya yang didapat dengan membeli ke penjual buku bekas.
Setelah itu dia mulai berusaha untuk memperbanyak koleksi buku-bukunya. Cara yang dipilihnya adalah mengetuk dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta buku. Hingga saat ini Eko mengaku telah mendatangi sekitar 1.700 rumah dan kini dia tidak perlu datang ke rumah-rumah untuk meminta karena sudah ada penyumbang buku yang terus menerus mengiriminya.
Seluruh koleksi buku yang dimiliki Eko itu dianggapnya hanyalah sebagai sebuah titipan dari pemilik buku sebenarnya. Dia hanya memposisikan dirinya sebagai makelar yang bertindak menyalurkan satu buku kepada orang lain yang lebih membutuhkannya.
Untuk menjalankan seluruh hal tersebut, Eko mengaku hanya bermodal kesenangan semata untuk menjalaninya.
“Saya buat perpustakaan ini ya hanya berdasar kesenangan saja, tidak ada visi, misi dan tujuan yang harus dipatok,” ungkapnya.
Itu lah yang membuat Eko terus menjalaninya dengan senang dan merasa tidak memiliki beban. Walaupun berada di lokasi yang cukup jauh dari jalan besar, perpustakaan Eko memiliki cukup banyak anggota yang tidak hanya dari wilayah Malang saja namun hingga Kalimantan dan Jakarta. Hingga saat ini, terdapat 17.042 nama yang tercatat sebagai anggota dari Perpustakaan Anak Bangsa.
Hal yang unik dari perpustakaan ini adalah karena hubungan yang saling percaya serta bentuk perpustakaan yang tidak kaku. Tidak ada syarat berupa jaminan atau uang pendaftaran untuk dapat meminjam buku. Selain itu juga tidak ada batasan waktu dan jumlah untuk peminjaman buku. Selain itu, Eko juga tidak selalu mengawasi peminjaman di perpustakaannya, peminjaman buku dapat dilakukan secara mandiri dengan mencatat buku yang dipinjam.
Hal-hal tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan terhadap perpustakaan lain yang memiliki berbagai batasan. Bentuk yang bebas ini sengaja dilakukan Eko agar masyarakat senang membaca dan tidak terbebani dengan berbagai hal-hal administratif yang dianggapnya menyebalkan.